jalan kembali
buat i.
siasia belaka rasa yang telah tertampung ini,
kini sekarang tumpah, deras, merembes pada katakata.
apalagi yang bisa dilakukan selain tertegun memandang
kau yang tenggelam di dalam bulan? hanya getar degup
yang tersisa, juga sekalian abu yang sangat kotor telah
berserak pada dindingdinding jantung.
tangan ini pun hanya sanggup menadah gerimis,
dan merasakan angin lewat, beserta waktu, yang
di dalamnya telah menelan siang juga malam.
ada juga yang bertahan dari segala yang menyusut ini,
yaitu kenangan yang merimbun banyak daun dan
burungburung tinggal di dalamnya.
apa yang tertinggal di pekarangan ini cuma ilalang
serta rumputrumput mati. dan bungabunga
tak sanggup lagi untuk bermekaran di sana.
kini, cuaca gugur
telah meluntur bersama mimpi penghabisan.
–
i’m confessin’
buat i.
meskipun pada suatu waktu
kita tak lagi mengenal, tetapi
ada bayang yang telah tercetak:
bekas jejak dan langkah yang telah
kita lalui saat mengarungi matahari.
dan angin musim mungkin telah
membawa pergi bekas suaraku kepadamu.
(saat itu,
hari itu,
ketika kita bertemu)
kejatuhanku padamu, telah mengeringkan
seluruh muara di dalam diriku. dan aku
tak mampu lagi mengisinya kembali.
(katakata itu mungkin tenggelam
di dalam benakmu. kini, katakata itu
telah menjelma dalam sajak kecil ini)
–
pada akhirnya
buat i.
biar susah
aku akan tetap terjaga,
bertahan seluruhnya
dari derita.
walau tinggal terumbu,
walau rembulan pun hanyut,
namamu tak akan kuseka
dan akan kubiarkan,
tercetak penuh
di dalam degup,
hingga tertutup
debudebu.
–
tanda untuk berhenti
buat i.
perasaanku terguncang dan melepas, memisah jauh menuju kesunyian. aku masih mengakar, lalu tunas tumbuh pada kedalaman degup ini. perlahan, pertemuan itu masih mematut pada kenangan, menolak menghapus bekas jejak yang tertanam di atas tanah: langkah kita semula. segalanya meripuh, dan suara terpecah rapuh, menelangsakan katakata yang menunggu. ada rupamu, mencuat pada setiap batik yang kulihat, menghampar segala penjuru ruang, terbayang sedikit demi sedikit sehingga menampakkan matamu yang indah … dan aku, pada akhirnya, tak mampu lagi menciptakan bungabunga untukmu.
–
suara yang sampai
buat i.
dari jauh, aku pernah memandangmu dengan penuh gelisah—sebagian rambut merahmu yang mungkin kering karena cuaca, membuat kerling mataku tertahan di udara. saat itu, siang itu, aku gamang dan gugup, takut mengacaukan suara yang nanti akan sampai padamu. pada wajahmu, katakata jadi tenggelam. sebelum sempat, sebelum terdengar, aku harus memungut kata per kata di dalam ceceran puisi yang terjebak pada gudang ingatanku. ada isyarat, dan kau pun menunggu, dan kau akhirnya bertanya, “jadi, apa yang diomongin?”
setelahnya katakata jadi tak reda, angin pun mekar, dan panas terik menjelang sore telah merekam suara yang terdengar.
(januari-februari 2023)
*****
Editor: Moch Aldy MA