Sejak dulu nasi menjadi menu wajib di atas meja makan. Ini seperti membentuk hierarki makanan, nasi berada di posisi puncak dan tidak tergantikan sampai hari ini. Alih-alih merasa bosan, memasak—maupun memakan—nasi, menurut Ibu saya merupakan kegiatan menyenangkan yang dapat ia kerjakan seumur hidupnya. Wajah berserinya dapat seketika berubah menjadi masam apabila kami—saya dan saudari-saudari saya–melahap makanan yang terhidang di atas meja makan tanpa sedikitpun menyantap nasi. Jika melihat hal itu, istilah “belum makan kalau belum makan nasi” pun otomatis keluar dari mulut Ibu.
Sedari kecil kami juga diajari pantang untuk menyisakan sebutir nasi. “Pamali, kasihan nasinya nanti menangis,” katanya. Seolah-olah nasi memiliki perasaan selaiknya manusia; yang bisa merasakan sakit hati, kecewa, bahkan sedih. Tapi, mengapa hanya istilah itu hanya disematkan ke nasi? Cukup mengagetkan rasanya ketika hal-hal tersebut juga dialami oleh banyak teman saya. Keterhubungan ini menjadi gambaran kegandrungan para orang tua kami terhadap budaya makan nasi.
Ketergantungan yang berlebihan ini, bagi saya, penting untuk dilacak akar penyebabnya karena sekarang kekuatan padi—tanaman penghasil beras yang kemudian berubah menjadi nasi—bertransformasi secara drastis di negeri ini. Padi kini bukan lagi sekadar makanan pokok yang memenuhi kebutuhan gizi banyak orang, melainkan menjelma sebuah komoditas. Kondisi ini merupakan akumulasi dari rentetan peristiwa panjang di masa lalu; menyangkut tentang sejarah, program pemerintah, budaya, hingga berubah menjadi salah satu unsur penting dalam penghidupan masyarakat Indonesia.
Kemunculan Padi di Tengah Masyarakat
Berdasarkan hasil penelusuran, saya menemukan ada dua versi yang menjelaskan awal mula kemunculan padi di tengah masyarakat Indonesia. Versi pertama berkenaan dengan kisah-kisah mitologi kuno yang berkembang di Nusantara. Masing-masing daerah tampaknya mempunyai ceritanya sendiri untuk menjelaskan hubungan mereka dengan padi.
Kita ambil perumpamaan di Sulawesi Selatan, hubungan dengan padi tertuang di mitologi kuno Bugis, yang bersumber dari naskah La Galigo. Dalam buku kumpulan esai Kisah Kasih dari Dapur yang ditulis Wilda Yanti Salam, ada kisah tentang Batara Guru—manusia pertama yang diturunkan dari botting langi (dunia atas) ke bumi—mengunjungi makam anaknya bernama We Oddang yang telah meninggal. Tampak kuburan dan sekitarnya tumbuh pelbagai tumbuhan warna warni, Batara guru lalu bertanya kepada Datu Patoto’e (sang Raja Penentu Nasib) dan menyatakan bahwa itulah Sangiang Serri; Anaknya menjelma jadi Padi. Tumbuhan ini diduga cikal bakal dari padi yang kita kenal sekarang.
Baca juga:
Di samping itu, kisah Sangiang Serri ini mirip dengan mitologi yang berkembang di beberapa daerah lain, seperti Nyai Pohaci Sanghyang Asri di Sunda, Dewi Sri di Jawa, dan Sanghyang Sri di Bali (Devi, 2021). Kesamaan kisah-kisah tersebut terletak pada asal usul padi yang dipersonifikasi sebagai seorang Dewi Padi. Mitologi ini kemudian menyebar ke masyarakat sebagai sesuatu yang sakral dan berangsur-angsur membentuk nilai-nilai kebudayaan yang melekat dengan keberadaan padi.
Versi kedua merujuk pada penelitian dan bukti arkeologis. Beras adalah produk pertaian dari padi (Oryza sativa) pertama kali didomestifikasi di Cina, khususnya di lembah Sungai Yangtze sekitar 9000 tahun SM (Conversation, 2024). Meskipun ada perdebatan mengenai budidaya padi ini dimulai di India atau Cina, tetapi yang jelas diketahui bahwa migrasi kependudukan dan perdagangan punya andil besar dalam penyebaran padi ke Asia bagian Timur. Dimulai dari Cina, pertanian padi menjalar ke Jepang hingga menular ke Taiwan, Filipina, Sulawesi, kemudian baru sampai di Jawa.
Pembentukan Relasi Kita dengan Padi
Pertanian padi mulai terkonsentrasi ketika periode kolonial Hindia Belanda masuk menguasai Nusantara. Beras menjadi makanan pokok masyarakat di koloni, sembari pemerintah kolonial mensponsori ekspansi padi secara besar-besaran melalui penguasaan dan pembukaan lahan, serta melakukan perluasan irigasi.
Setelah berhasil merdeka, Indonesia mencanangkan swasembada pangan sebagai agenda utama pertanian Indonesia—salah satunya padi. Gagasan tersebut lahir dari pemikiran oleh I. J. Kasimo, Menteri Negara Urusan Pangan, di bawah kepemimpinan Soekarno kala itu. Upaya swasembada padi terejawantahkan pada Rencana Kasimo (1948-1950) dan rencana produksi beras yang terpusat atau Padi Sentra (1959-1961). Namun, keduanya mengalami kegagalan karena situasi politik dalam negeri tergonjang ganjing akibat inflasi yang sedang tinggi, krisis pangan, dan kesalahan menetapkan harga (Historical, 2024).
Baca juga:
Pada masa orde baru terjadi perubahan masif di sektor pertanian monokultur, di mana produksi sekaligus komsumsi pangan melonjak tinggi buntut dari program Revolusi Hijau tahun 1970 hingga 1980. Presiden Soeharto melakukan investasi besar-besaran demi melanjutkan cita-cita swasembada pangan. Pemerintah Orde Baru pun gencar membangun dan mengembangkan pelbagai program pertanian berbasis modernisasi, seperti: petani dikenalkan tentang penggunaan pupuk, pestisida, varietas bibit unggul, infrastruktur modern penunjang pertanian, dan pembaruan sistem budaya pertanian. Meski kali ini swasembada pangan dinilai berhasil terwujud pada tahun 1981, Revolusi Hijau meninggalkan dampak signifikan terhadap masyarakat luas. Efek domino tersebut tercermin dari menjadi-jadinya ketergantungan masyarakat terhadap beras sehingga mulai mengakar dalam kehidupan mereka.
Berpuluh-puluh tahun setelah program kontrovesi Revolusi Hijau diterapkan, sekarang pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo kembali menyiapkan investasi raksasa di sektor pertanian monokultur, termasuk padi. Dengan merancang ulang proyek lumbung pangan padi (food estate), kebijakan warisan dari periode kedua Presiden Jokowi tersebut digagas untuk meredam ketergantungan impor, ketahanan pangan nasional, dan kesejahteraan petani—meski akhirnya gagal karena banyak lahan terbengkalai, gagal panen, dan tantangan ekologis (Tempo, 2024). Alih-alih melakukan evaluasi kebijakan agar kesalahan tersebut tidak terulang kembali, pemerintah sekarang justru melanjutkan proyek tersebut dan malah memperluas jangkauan lahan secara berkala.
Melalui penyelidikan rentetan peristiwa ini, menurut saya, dapat mengungkap alasan di balik relasi kita terhadap pangan, khususnya dengan nasi—padi dan beras. Kekuatan dominasi penguasa yang terbangun, dalam hal ini pemerintah kolonial dan negara, dianggap menjadi faktor paling kuat dalam pembentukan obsesi kita dengan nasi. Namun, hal ini bukan menjadi satu-satunya penyebab di balik itu. Budaya makan nasi hari ini merupakan akumulasi dari kelindannya campur tangan penguasa di masa lampau terhadap pangan (gastrokolonialisme-pangan), perdagangan (pasar), dan aspek spiritualitas (mitologi).
Editor: Prihandini N