Saya selalu membayangkan kehidupan yang ramah bagi tiap orang, kehidupan yang inklusi dan terbuka bagi cerita-cerita, seremeh apa pun itu. Belakangan, harapan tersebut, meski samar-samar, saya temukan dari tren “We Listen We Don’t Judge” yang sedang mengudara di beberapa platform media sosial. Konsep trennya sederhana: dilakukan dua orang, dan satu sama lain membeberkan fakta yang belum diketahui si lawan bicara, dan keduanya tidak boleh saling menghakimi setelah pengakuan dilakukan.
Saya mengidam-idamkan demikian juga dapat terwujud dan dinormalisasi dalam bermasyarakat secara umum, di lingkaran terkecil seperti pertemanan dan keluarga khususnya (bukan sekadar tren belaka), di mana yang dibutuhkan bagi sebuah cerita adalah telinga yang mendengar, bukan mulut yang membandingkan, lebih-lebih memojokkan; di mana bercerita adalah hal wajar, baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Tren “We Listen We Don’t Judge” menjadi semacam angin segar di tengah tren “Lelaki Tidak Bercerita” yang melanggengkan narasi jadul nan diskriminatif bahwa laki-laki tidak pantas mengeluh, curhat, atau sekadar bercerita—yang tak jarang selalu diasosiasikan dengan lemah dan cengeng, dan keduanya seolah tabu bila ada dalam tubuh lelaki.
Okky Madasari, sastrawan serta pendiri dan CEO OM Institute, menjelaskan jika perkara ini bukan soal identitas ataupun kepribadian. Lebih daripada itu, penulis yang juga sosiolog ini memaparkan penyifatan laki-laki dengan maskulinitas dan perempuan dengan feminitas adalah secuil produk dari hasil budaya patriarki—yang mana tak hanya merugikan bagi perempuan, tapi juga laki-laki. Sebab dalam sistem patriarki, manusia dibentuk sedemikian rupa untuk begini, begini, dan begini, dan tidak boleh begitu, tidak boleh seperti itu, dan seterusnya.
Hasilnya, toxic masculinity tersebut menjadi salah satu alasan gangguan mental didominasi laki-laki daripada perempuan. Laki-laki menjadi tidak memiliki ruang untuk mengeluarkan keluh-kesahnya, atau lebih buruk, mereka tidak pernah tau ada ruang untuk emosinya tersebut. Tim Jurnalisme Data Harian Kompas menemukan, didasarkan pada tiga aktivitas—pengangguran, bekerja, dan sekolah—yang dari ketiganya juga laki-laki menempati urutan gangguan mental terbanyak. Dalam kategori bekerja misalnya, dari 721.334 orang, 70,9% di antaranya atau 500 ribu lebih adalah laki-laki yang punya gangguan mental.
Dalam situasi seperti ini, menulis membuka jalan menuju ruang aman, sebuah tempat di mana seseorang dapat berdialog dengan dirinya sendiri. Ia murah, dan dapat dilakukan di mana saja, dengan medium apa saja. Menulis, dalam bentuk catatan harian misalnya, adalah medium untuk berbicara ketika suara tak bisa terdengar. Menulis menjadi ruang aman di mana seseorang dapat jujur pada perasaannya sendiri, meluapkan segala rasa yang selama ini terpendam, bahkan mengumpati dunia berikut orang-orang berengsek yang menghuninya pun dapat dilakukan lewat menulis.
Singkat kata, menulis adalah ruang aman bagi siapapun.
Banyak studi yang mendukung bahwa menulis dapat menjadi terapi. James W. Pennebaker, profesor psikologi Universitas Texas di Austin, menemukan bahwa menulis ekspresif—terutama tentang pengalaman emosional—dapat mengurangi stres, meningkatkan kesehatan mental, dan bahkan memperkuat sistem imun.
Konsep ini juga yang diangkat dalam “Writing is Healing, Writing is Protecting” yang digagas oleh OM Institute bersama Yayasan Nalar Naluri Nurani. Diadakan di 4 kota: Sleman, Ponorogo, Purwokerto, Jakarta—kegiatan menulis yang diselenggerakan dalam rangka 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16HAKTP) ini berangkat dari kesadaran bahwa kata-kata sendiri senantiasa memiliki kekuatan, dan Okky Madasari yang juga sebagai pengampu pelatihan bilang, ingin kekuatan tersebut ditujukan untuk saling menyembuhkan, saling melindungi, satu sama lain.
Di awal pemaparannya, Okky Madasari memberi contoh bagaimana tulisan dapat berdampak. Lewat tulisan “Kekerasan Seksual Pesantren Shiddiqiyyah: Saya Dianiaya dan Diancam UU ITE” ia mengapresiasi bagaimana keberanian Tsamrotul Ayu Masaroh menceritakan pengalamannya di Pondok Pesantren Shiddiqiyah, Jombang, menghadapi predator seksual bernama M. Subchi Azal (MSA) alias Bechi, bagaimana keberanian dia tetap konsisten memperjuangkan para penyintas meski menghadapi persekusi juga kecaman murid-murid pelaku yang menuduh dirinya telah menghina guru mereka.
“Kan susah, ya, di sini ini pemilik pondok pesantren selalu orang yang powerful, orang yang kuat. Jadi kasus ini sudah terjadi beberapa tahu sebelumnya gak tersentuh. Dia (penulis) udah laporan ke polisi berkali-kali,” terang Okky.
“Tapi kemudian dengan satu tulisan ini,” lanjutnya, “akhirnya (isu ini) terus menggelinding. Keberanian itu menular, ‘kan, karena Ayu berani akhirnya banyak yang ikut berani, banyak yang terus menyuarakan, Bechi akhirnya masuk penjara.”
Selanjutnya, Okky juga memberikan contoh bagaimana menulis dapat menjadikan medium healing. Dalam cerpen yang dibikin Katarina Retno Triwidayati, seperti “Obituari untuk Suami”, Okky menjabarkan bagaimana Katarina memproses traumanya dalam rumah tangga, bagaimana Katarina juga mengolah luka batin yang ia terima dan menjadikannya tulisan yang tidak hanya apik tapi juga bernas.
“Ini contoh nyata, saya dengan bangga selalu memperkenalkan Ayu dari Jombang, Katarina Retno ini waktu itu dia masih tinggal di Palembang, yang akhirnya tidak hanya mereka bisa pulih, mereka bisa menyebarkan keberanian juga, mereka bisa menginspirasi, dan lebih dari itu mereka akhirnya bisa muncul dengan identitas sebagai seorang penulis, karya-karyanya dibaca orang, karya-karyanya memberi kekuatan pada orang lain,” papar Okky dalam acara yang diadakan di empat kota tersebut.
Dan saya mengamini apa yang dikatakan Okky, bahwa menulis adalah tindakan kecil dengan dampak besar, sekurang-kurangnya untuk diri sendiri. Menulis dapat menjadi bentuk perlawanan terhadap narasi patriarki yang diskriminatif. Ia dapat menjadi medium bagi perempuan yang selama ini dibisukan dan senantiasa (sengaja) tidak diuntungkan, bagi laki-laki yang diajarkan untuk menelan segalanya sendiri, dan bagi siapa pun yang merasa kehilangan suara.
Dalam pelatihan, Okky memberi penugasan masing-masing individu untuk menuliskan sebuah surat. Surat itu bebas ditujukkan pada siapa pun, keluarga, orang tua, pacar, dan diri sendiri bahkan. Setelah para peserta menyelesaikan tulisannya, mereka lalu membacakannya.
Di tempat saya berdiri, saya mendengar para peserta satu per satu membacakan surat mereka, begitu personal dan menyentuh. Saya melihat beberapa di antara mereka menangis, tersedu-sedu sembari diselingi helaan nafas yang cukup berat. Saya terharu atas cerita yang mereka bawa, dan saya kagum dengan para pendengar, tak ada yang tertawa, tak ada yang meremehkan. Hanya mendengar. Hanya mendengar.
Sebuah pengalaman yang tak terlupakan, sebuah pengalaman di mana tren “We Listen We Don’t Judge” betulan terjadi di depan mata saya. Dalam hati saya berdoa, semoga semua ini terjadi pada kehidupan masyarakat lebih luas, demi kehidupan yang lebih sehat.
Tentu dunia dapat menjadi tempat yang lebih baik jika setiap cerita—sebesar atau sekecil apa pun—selalu punya tempat, bukan?
*****
Editor: Moch Aldy MA