Ndak suka basa-basi

Catatan Seorang Demonstran: Bahaya Celah Aksi dan Siasat Politisi

Rusda Khoiruz Zaman

2 min read

Saya tak paham mengapa massa aksi demonstrasi malah berharap ditemui oleh elit yang mereka demo. Pasalnya, tuntutan yang dari awal dibawa oleh massa aksi dengan apa yang menjadi kepentingan elit itu sudah bertolak belakang. Ini terjadi pada beberapa aksi demonstrasi tolak UU Cipta Kerja belakangan.

Harapan untuk ditemui elit ini menunjukkan bahwa pola gerakan kita tidak banyak berubah dari masa ke masa. Stagnan. Sementara itu, tantangan yang kita hadapi sekarang lebih mendesak: kebijakan yang makin destruktif, korupsi yang dilakukan terang-terangan, dan DPR yang tidak malu-malu mengakui bahwa mereka adalah wakil partai alih-alih wakil rakyat.

Pola demonstrasi kita pun sejak dulu tidak berubah. Datang membawa massa yang banyak, orasi menyampaikan tuntutan di depan gedung DPR daerah atau pusat, plus berharap bisa mediasi atau ditemui oleh elit. Lalu, apa?

Baca juga:

Ketika demonstran memberi ruang pada elit untuk menemui massa aksi, ujung-ujungnya itu jadi bahan komodifikasi elektabilitas politik. You know, lah, bagaimana pada aksi tahun 2019 lalu, Ganjar Pranowo malah “diberi panggung” oleh massa aksi di depan Gubernuran. Salah satu tuntutan yang dibawa waktu itu adalah batalkan RKUHP. Ganjar dengan gagah berani naik ke mobil komando bersama para koordinator lapangan dari berbagai kampus dan organisasi masyarakat sipil. Ia berujar akan menyampaikan tuntutan massa aksi ke pusat.

RKUHP memang sempat ditunda untuk disahkan. Tapi, bagaimana kelanjutannya? Akhir tahun lalu, kita semua malah dapat kado pengesahan RKUHP sebagai undang-undang.

Di antara kawan-kawan yang selepas aksi bubar, banyak yang akhirnya mengelu-elukan Ganjar buat jadi presiden di masa mendatang. Beberapa celetukan mereka yang saya ingat, misalnya,  “Wah, ini, nih, pemimpin yang ndak takut menemui massa demonstrasi!” Lalu, “Memang beda pemimpin yang mantan aktivis (Ganjar) dan yang tidak (Jokowi), Ganjar lebih terbuka dengan kritik, buktinya mau menemui demo,” dan, “Ganjar lebih merakyat dan mau mendengarkan tuntutan.”

Jadi, kalau ada yang bilang Ganjar makin sadar kamera akhir-akhir ini, kalian salah besar. Ganjar mulai tancap gas untuk mencitrakan dirinya sebagai pemimpin merakyat sejak jauh-jauh hari. Politisi memang begitu; mereka tahu kapan mesti bersolek untuk merebut hati khalayak. Tak jauh berbeda dengan strategi masuk gorong-gorong presiden sekarang yang banyak menggolkan undang-undang dan aturan yang bikin rakyat sekaligus alam Indonesia sekarat.

Bagaimana bisa kita yang awalnya datang bareng-bareng kepanasan buat demo menuntut pembatalan RKUHP dan UU Minerba, serta revisi UU KPK, tapi justru para elit politik yang naik pamor? Padahal, yang perlu disoroti adalah berbagai isu yang disuarakan agar semakin banyak orang yang aware. Dari sini saja esensi mengajak orang buat demo sudah kian kering.

Jangan pura-pura amnesia bahwa pada aksi #ReformasiDikorupsi 2019 lalu juga ada kawan-kawan kita yang meninggal karena brutalitas dari aparat. Tercatat ada 5 korban meninggal, ratusan luka-luka, dan ribuan yang diperlakukan layaknya binatang. Atas alasan apa pun, kematian mereka tidak dapat dibenarkan, apalagi dengan dalih bahwa “mereka merusak fasilitas umum sehingga aparat memang berkewajiban memukul mundur mereka”. Jika sudah begini, yakin masih mau berunding sama maling? Datuk Tan mungkin geleng-geleng di alam kubur sana.

Sependek pengamatan saya, RKUHP ditunda untuk disahkan pada 2019 bukan cuma berkat “kebaikan hati” elit pada aksi di Jawa Tengah dan di berbagai daerah lainnya. Penundaan pengesahan RKUHP lebih karena gelombang penolakan sudah begitu masif di seluruh Indonesia. Apabila tidak diantisipasi, selombang penolakan yang begitu masif ini tentu akan mengancam status quo para elit itu.

Nah, di sinilah sebenarnya catatan penting yang dapat menjadi titik balik aksi demonstrasi kita hari ini. Aksi tolak UU Cipta Kerja yang akhir-akhir ini sedang marak, tak perlulah bawa-bawa narasi ingin mediasi dengan elit. Kobarkan saja terus-menerus demonstrasi di berbagai titik. Aksi sekali, dua kali tentu tidak cukup, apalagi kalau dilakukan hanya secara parsial. Aksi mesti dilakukan secara kolektif sebagaimana demonstrasi yang pernah kita lakukan pada #ReformasiDikorupsi 2019.

Kita pun perlu segera bereksperimen dengan mengganti cara berdemo menjadi bukan sekadar datang, orasi, dan mungkin minta ditemui oleh elit, lalu bubar. Mari kita coba sama-sama, misalnya, menduduki kantor DPR setempat selama beberapa hari. Ini hanya salah satu cara. Aksi semacam ini tentu membutuhkan persiapan yang lebih matang, mulai dari peralatan dan tim medis, tenda, kesiapsiagaan mental dan logistik para peserta aksi, hingga pengaturan teknis yang matang. Tak kalah penting juga, agitasi dan propaganda dibikin semenarik mungkin agar khalayak bersimpati dengan aksi ini.

Kita bisa ambil contoh dari gerakan Occupy-Central di Hongkong yang diikuti rakyat dengan berbagai latar belakang karena mereka merasa apa yang diangkat gerakan adalah persoalan sepenanggungan. Para pendukung demokrasi menduduki pusat pemerintahan hingga perdagangan untuk menekan pemimpin China mengizinkan pemilihan umum diselenggarakan secara demokratis penuh di Hongkong pada 2017.

Baca juga:

Elit politik, plus oligarki yang menyokongnya semakin ugal-ugalan. Untuk itu, cara kita berdemonstrasi juga mesti di-upgrade. Ini membutuhkan kerja yang ekstra.

Gerakan sipil pun mesti menyudahi kultur yang melahirkan orang-orang yang merasa dirinya paling senior di gerakan alias elit gerakan. Sering kali, orang-orang ini cuma meromantisasi cerita-cerita “heroik” kepada teman-teman yang baru masuk atau aktif di gerakan. Mirisnya, orang-orang gerakan yang belum bisa memerdekakan dirinya itu banyak yang naudzubillah. Belum merdeka dari patron senior hanya salah satunya.

 

Editor: Emma Amelia

Rusda Khoiruz Zaman
Rusda Khoiruz Zaman Ndak suka basa-basi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email