Sebuah ruang yang begitu luas dan berdinding polos seakan menghipnotis indera penglihatan saya. Pada dinding-dinding seputih susu itu terpampang berbagai karya seni yang beragam bentuk dan warnanya. Ruang itu sangat sunyi akan suara, tetapi begitu ramai akan warna-warni objek karya seni. Jajaran foto, patung-patung manusia berkain tenun, serta kain tenun yang bergelantungan di mana-mana memenuhi pandangan saya. Pada sisi-sisi lain ruangan, berdiri sebuah tas dari cangkang kerang mulus nan berkilau serta tas kain tenun. Sejenak muncul kesan bahwa ruang ini menyuguhkan sebuah ajang pameran wastra. Namun, ketika kaki saya mulai melangkah lebih jauh ke dalam bilik-bilik lainnya, semakin tampak beragam karya seni bercorak kontemporer mulai dari lukisan hingga instalasi.
Itulah selayang pandang melihat perhelatan seni kontemporer untuk kedua kalinya dari artina.sarinah. Ruang yang dipilih masih sama seperti sebelumnya, yakni Distrik Seni lantai 6 Gedung Sarinah. Dinding-dinding dalam Distrik Seni dipenuhi karya-karya seni dari 22 seniman lintas disiplin. Melalui jalinan kurasi antara Agung Hujatnika dengan Bob Edrian, pameran seni bertajuk matrajiva itu berupaya menggali dan memetakan dimensi spiritualitas yang beragam dalam praktik kesenian di Nusantara. Kemudian, visi lebih jauh yang ingin dicapai dari pameran itu adalah memancing kesadaran spiritual dari para pengunjungnya melalui ragam ekspresi artistik tiap-tiap objek seni. Bagi saya sendiri, matrajiva berhasil memantik daya reflektif saya untuk memaknai pengalaman spiritual dari sebuah peristiwa seni, terkhusus dari buah karya Monica Hapsari berjudul Pitarah.
Instalasi Seni Eksperimentatif sebagai Media Keterhubungan
Di suatu sudut ruang yang kelam, menempel dua buah karya yang menyerupai gerhana matahari dan gerhana bulan. Berbeda dengan bilik seputih susu di awal jalan masuk Distrik Seni, bilik kali ini berdinding hitam legam serupa langit malam. Sudut ruang itu terasa memunculkan aura mistis tengah malam dengan cahaya remang yang hanya dihasilkan dari gerhana matahari dan rembulan.
Tersebar potongan arang yang memenuhi lantai bilik berukuran kira-kira tiga kali dua meter itu. Di antara arang yang berserakan, sebuah instalasi berbentuk lingkaran tergeletak di lantai. Bentuknya juga menyerupai peristiwa gerhana bulan. Permukaan instalasi itu bertekstur karena arang-arang yang menempel padanya. Beberapa arang dilapisi kertas-kertas emas, membuat instalasi itu seakan memiliki tekstur yang bercahaya. Kemudian, sebuah lingkaran yang lebih kecil dengan pendar cahaya di bawahnya menempel di atas lingkaran tadi. Dua lingkaran yang dirangkai saling menempel dan pendar-pendar cahaya yang muncul di sekeliling lingkaran kecil membuat instalasi itu terlihat seperti sebuah peristiwa gerhana matahari total. Di sekeliling instalasi tersebut, tersebar berbagai batu dengan bentuk yang berbeda. Ada batu berbentuk bulat dan batu-batu yang lebar nan pipih.
Seorang gallery sitter mengimbau saya untuk mengambil sembarang batu, kemudian disentuhkan dengan batu-batu lain yang mengitari instalasi gerhana matahari itu. Persentuhan kedua batu itu menghasilkan suara ketuk, persis seperti suara batu yang dipukul. Apabila sebuah batu disentuhkan ke batu-batu lainnya, suara yang dihasilkan memiliki nada yang berbeda. Alhasil, apabila kita iseng saling memukul satu batu dengan yang lain dapat tercipta ragam bebunyian. Bahkan, tercipta sebuah lagu dari alunan ritmis bebatuan itu! Kemudian, apabila telinga kita lebih peka, pada sudut kelam itu terdengar suara bisikan perempuan. Adanya suara itu menambah suasana mistis dan magis, seakan kita berada di tengah sebuah ritus sekte tertentu.
Begitulah suguhan karya Monica Hapsari. Ia mampu memadukan berbagai material dan bebunyian hingga menjadi satu instalasi yang eksperimental dan interaktif. Namun, Monica Hapsari bukan ingin mengajak para pengunjungnya untuk memaknai karyanya sebagai sebuah instrumen eksperimental belaka, apalagi sebagai pemuja sekte. Yang ingin ia wujudkan bukan semata-mata objek eksperimentatif dari ekspresi keseniannya, tetapi juga kembalinya sebuah keterhubungan antara yang fana dengan yang kekal.
Pengetahuan Lokal dan Instalasi Seni sebagai “Jembatan Tak Berpapan”
Dalam perjalanan artistiknya, Monica berkunjung ke situs-situs yang memiliki pengetahuan lokal tentang tradisi bunyi dan ritual dari suatu kelompok masyarakat adat. Baginya, situs-situs itu dapat menjadi “jembatan tak berpapan” antara manusia yang hidup di masa kini dengan para leluhur. Leluhur yang dimaksud bukan hanya orang-orang yang ranting silsilahnya jauh, tetapi juga yang dekat dan memiliki ikatan emosional yang kuat dengan kita. Setelah bertemu situs-situs arkeologis tadi, Monica berusaha meramu temuan-temuan arkeologis dan pengalaman personal dengan leluhurnya hingga tercipta suatu “jembatan tak berpapan” untuk tetap terhubung dengan leluhur yang begitu signifikan baginya: Ibundanya sendiri.
Situs-situs yang ditemui Monica adalah situs Watu Kelir di Kompleks Candi Dieng dan Batu Goong di Kampung Cigadung, Banten. Situs Watu Kelir dahulu yang merupakan sebuah pembatas sekaligus penghubung antara pemukiman penduduk dengan tempat yang dinilai suci pada masanya, yakni kawasan Candi Dieng. Fungsinya sebagai pembatas dan penghubung menjadi semacam simbol bahwa situs tersebut merupakan sebuah jembatan menuju tempat yang ‘tinggi’ secara spiritual.
Sementara, situs Batu Goong memiliki kisah dan fungsi yang berbeda. Dahulu, batu-batu yang tersusun dalam sebuah formasi yang dinamai temu gelang menjadi media untuk berkomunikasi sehingga tetap terhubung dengan para leluhur. Formasi temu gelang merupakan formasi di mana batu-batu ditempatkan secara melingkar dan mengelilingi suatu batu di tengah.
Susunan batu pada instalasi karya Monica mirip dengan formasi temu gelang dari situs Batu Goong meski batunya tak sebanyak dan sebesar seperti yang berada di situs aslinya. Mpnica seakan ingin membuat sebuah media penghubung dengan caranya sendiri. Eksperimen bunyi dari bebatuan dan suara-suara bisikan perempuan ikut menarasikan apa yang sesungguhnya Monica ingin sampaikan.
Suara bisikan tersebut sebenarnya merupakan suara rekaman dari ibunya yang telah tiada. Pitarah ia suguhkan secara khusus bagi ibundanya. Maka, seperti situs Watu Kelir yang menjadi penghubung dan Situs Batu Goong yang menjadi media komunikasi, Monica menjadikan instalasinya sebagai sebuah “jembatan tak berpapan” untuk terhubung kembali dengan (ruh) ibundanya.
Pengalaman keberdukaan terhadap orang yang memiliki ikatan emosional dengan kita memang sering kali memantik sisi terdalam spiritualitas dan hal itu terjadi pada Monica Hapsari. Orang-orang kebanyakan merespons pantikan tersebut dan memaknai keberdukaan dengan ritual-ritual ibadah keagamaan seperti peringatan 100 dan 1000 hari. Tetapi, Monica Hapsari justru memaknai kematian ibundanya melalui perjalanan arkeologis dan pengalaman berkesenian. Dengan adanya sentuhan dari temuan arkeologis, Monica juga mampu menjadikan instalasi seninya sebagai wujud dari upaya melawat perjalanan spiritual para leluhur kita di tanah air.
Merayakan Keterhubungan
Pada akhirnya, karya Monica bukan sekadar instalasi seni yang bisa kita mainkan objek dan bebunyiannya, tetapi ia juga menjadi ruang untuk memaknai dan merayakan keterhubungan dengan yang kekal. Adanya kemiripan pengalaman personal antara diri saya dengan Monica memantik alam pikir saya untuk merefleksikan kembali pengalaman tersebut. Ternyata, Pitarah tak hanya membuat mata berbinar dan bibir berdecak kagum, tetapi lebih dari itu ia menggerakkan saya untuk menilik kembali artefak-artefak peninggalan orang terkasih yang telah berada dalam kekekalan: Ayah.
Lebih lanjut, pengalaman keberdukaan Monica yang termanifestasi dalam instalasinya memancing saya untuk merangkai “jembatan tak berpapan” dengan Ayah melalui cara saya sendiri. Apabila Monica berupaya terhubung kembali dengan ibunya melalui praktik kesenian, maka saya berupaya untuk tetap terhubung dengan Ayah melalui perawatan harta terbesarnya, yaitu tumpukan buku yang diwariskannya.
Buku-buku itu menjadi harta bukan karena nilai material yang ada di dalamnya, melainkan karena nilai pengetahuan yang dikandungnya. Namun, membersihkan, merapikan, dan membaca ulang buku-buku Ayah bukan menjadi fokus utama saya. Justru, merawat nilai pengetahuan dengan menulis adalah “jembatan tak berpapan” itu. Pada akhirnya, dengan menulis saya merasa semakin terhubung dengan Ayah yang telah berada dalam kekekalan. Keterhubungan ini membuat saya berpikir, bahwa siapa yang telah tiada sesungguhnya tidak pernah benar-benar “tiada”.
***
Editor: Ghufroni An’ars