Beberapa poster mahasiswa pada demo 11 April 2022 menuai kecaman. Sebabnya adalah, alih-alih membawa poster yang berisi tuntutan aksi, beberapa poster justru bertuliskan kata kata tidak pantas yang berbau seksual dan seksisme.
Baca juga:
Sebelum membahas lebih jauh kita perlu memahami istilah “seksual”, “seksualitas” dan “seksisme” terlebih dahulu. Masyarakat masih mengalami miskonsepsi dalam menggunakan ketiga kata tersebut, hal ini dikarenakan penggunaan kata dasar “seks” yang merupakan kata serapan dari bahasa Inggris yaitu sex. Seksual merupakan aktivitas seks yang juga melibatkan organ tubuh lain baik fisik maupun non fisik. Lalu seksualitas didefinisikan sebagai aspek-aspek dalam kehidupan manusia terkait faktor biologis, sosial, politik dan budaya, terkait dengan seks dan aktivitas seksual. Sedangkan seksisme adalah prasangka dan diskriminasi terhadap sesuatu berdasarkan jenis kelamin atau gender.
Ujaran Seksual
“ Lebih baik bercinta tiga ronde daripada harus tiga periode”
“ Mending tiga ronde di ranjang daripada tiga periode”
“ Dari pada BBM yang naik mending ayang yang naik”
Tulisan-tulisan yang terdapat pada poster demonstrasi mahasiswa tersebut merupakan bentuk dari ujaran seksual. Berdasarkan makna dari masing-masing kata, ujaran berarti kalimat yang dilisankan dan seksual berarti berkaitan dengan aktivitas seks atau jenis kelamin. Kalimat-kalimat di atas terbukti memiliki konteks seksual. Konteks seksual tersebut yang terdapat pada kata “bercinta” di mana secara jelas bercinta memiliki arti sebagai aktivitas seks dalam mengekspresikan perasaan cinta romantis. Lalu konteks seksual juga terdapat pada kata “di ranjang” tempat di mana sebuah aktivitas seks biasanya dilakukan. Selanjutnya konteks seksual terdapat dalam frasa “mending ayang yang naik” berbicara tentang posisi dalam aktivitas seks.
Publik mengecam dan mengkritik mengapa poster mahasiswa justru mengandung konteks seksual dan mengesampingkan tujuan demonstrasi itu sendiri.
Justifikasi Mahasiswa
Salah satu dari mahasiswa memberikan justifikasi terhadap posternya yang bertuliskan “Lebih baik bercinta tiga ronde daripada harus tiga periode”. Dalam akun Instagramnya ia memberikan justifikasi bahwa dirinya merupakan mahasiswi sastra dan dirinya menyebutkan alasan mengapa menggunakan kata “ronde”.
“Mengenai tulisan poster yang saya buat (tidak menyangka akan serame ini) tidak peduli bahwa orang lain berpikir’’ya namanya juga anak sastra, aneh-aneh tulisannya” diluar itu, saya sudah sebutkan alasannya kenapa saya menggunakan “ronde” agar terdapat asonansi kata untuk kata periode” tulisnya dalam story akun instagram.
Mahasiswi tersebut menggunakan justifikasi sebagai anak sastra dalam menutupi kalimatnya yang tidak disukai oleh publik. Selanjutnya ia mengatakan bahwa penggunaan kata “ronde” pada tulisan posternya hanyalah merupakan asonansi. Asonansi merupakan sebuah gaya bahasa yang digunakan untuk memperoleh kesan artistik. Terlepas dari bagaimana sastra merepresentasikan keindahan dan kebebasan dalam tulisan, sastra juga memperhatikan konsep dan konteks pada kalimat dalam sebuah tulisan. Sangat tidak tepat untuk berdalih menggunakan argumen anak sastra memiliki tulisan yang aneh atau tidak sesuai. Karena dalam membuat tulisan atau karya sastra juga sangat memperhatikan konsep dan konteks sebelum adanya output akhir yaitu kalimat atau lisan.
Baca juga:
Ujaran Seksisme
Seksisme adalah prasangka dan diskriminasi terhadap sesuatu berdasarkan jenis kelamin atau gender. Seksisme dapat terjadi terhadap kedua gender namun perempuan lebih banyak menerima seksisme dibandingkan laki-laki sehingga jika berbicara tentang seksisme secara otomatis juga berbicara tentang patriarki. Banyak masyarakat tidak menyadari bentuk dari seksisme karena dianggap sebagai kewajaran, sehingga tidak tampak sebagai perilaku yang bersifat seksis.
Dalam demonstrasi 11 April, mahasiswa laki-laki membawa poster yang bersifat diskriminasi terhadap perempuan.
“Cukup PRAWAN yang langka MINYAK GORENG JANGAN PAK!!!”
Kalimat tersebut membuktikan bahwa stereotip “perawan” masih menjadi patokan untuk menilai seorang perempuan yang baik. Di mana perempuan yang baik harus suci secara seksual sehingga mereka harus menjaga keperawanannya. Stereotip ini bahkan telah menjadi aturan normatif bagi kebanyakan masyarakat Indonesia. Dalam frasa “perawan yang langka” terdapat diskriminasi dalam menilai perempuan, penilaian perempuan berdasarkan keperawanannya saja, seolah-olah perempuan yang sudah tidak memiliki keperawanan sudah tidak mempunyai nilai.
Baca juga: Seksisme dalam Kebijakan Politik dan Hukum
Seksisme, baik itu dalam tindakan maupun dalam bahasa, tak bisa dibenarkan. Masih banyak kata dan kalimat yang bagus yang dapat digunakan untuk menyatakan aspirasi dalam poster demonstrasi. Poster-poster seksis dalam demo mahasiswa juga menunjukkan belum adanya kesadaran tentang keadilan gender di kalangan mahasiswa. Apa artinya memperjuangkan keadilan jika masih menjadi pelaku yang melanggengkan stereotip dan diskriminasi?