“Semua orang bukanlah siapa pun. Setiap orang tidak ada yang menjadi semua orang.”
Kiwi Chow membuka film dokumenter Revolution of Our Times dengan dua penggal kalimat ajaib tersebut. Laksana anugerah sekaligus mukjizat. Gerakan itu muncul dalam keadaan paling genting yang pernah dihadapi. Undang-Undang Ekstradisi mengindikasikan kegentingan itu. Penduduk Hong Kong tumpah ruah seperti air. Cawan demokrasi pecah di Tiongkok.
Saya tidak mencatat apa pun selama penayangan Revolution of Our Times pada Sabtu (24/8) di sebuah kedai di Surabaya. Hal-hal yang saya hendak tulis habis dalam tatapan seorang anak kecil yang takjub dengan disk permainan video rilisan baru di rental PS 2 satu dekade yang lalu.
Kamis (22/8) dan Jumat (23/8) adalah hari yang panas di berbagai kota di Indonesia. Persoalannya saya kira semua orang hampir tahu—karena hal ini juga mengindikasikan perkembangan gerakan massa kita pasca reformasi: penggunaan simbol. Kira-kira pada Rabu malam (21/8), sesaat setelah publik riuh mendengar Baleg DPR menyusun RUU Pilkada yang mangkir dari amar putusan MK, blue badge “Peringatan Darurat!” menggema di seluruh tanah air melalui media sosial, media massa, dan ruang-ruang umum (venue konser, kampus, jalan-jalan, dan lain-lain).
Seorang kawan teater yang jarang mengikuti isu sosial-politik sampai menanyakan hal ini dengan ajeg. Strategi agipro (agitasi dan propaganda) yang aku kurang tahu dimulai oleh siapa berhasil memukul gong pergerakan nasional. Keesokan harinya, selama dua hari, gelombang arus massa demonstrasi menggelembung hampir menyaingi ombak pergerakan ’98.
Baca juga:
Namun, saya kira, massa aksi masih didominasi oleh mahasiswa dan juga buruh. Hanya sedikit dari golongan sipil yang tidak terafiliasi dengan kelompok tertentu tampak, seperti pelajar sekolah menengah, warga lokal, dan sebagainya seperti di Jogja.
Pernyataan saya itu bukan tanpa bukti. Demonstrasi di depan Gedung DPRD Surabaya (23/8) misalnya, sangat didominasi oleh mahasiswa dengan jas almamater. Atribut identitas lainnya seperti bendera-bendera organisasi semakin mempertebal identitas mahasiswa sebagai mayoritas massa aksi yang turun ke jalan.
Identitas
Identitas adalah persoalan representasi personal atau sosial. Massa aksi Hong Kong sebenarnya juga mempertimbangkan identitas mereka sebagai bagian dari gerakan. Namun, bergantung dengan eskalasi konflik yang terjadi, identitas individu yang memutuskan terlibat secara penuh di dalam gerakan protes atas UU Ekstradisi ini semakin melebur. Benar-benar menjadi semacam melting pot. Tidak ada atribut kelompok tertentu yang tampak. Semuanya mengenakan ‘peralatan perang’: sepatu kasual, pakaian kasual, masker, penyaring oksigen, kacamata, helm, tas dan tumbler, molotov, dan lain-lain. Dalam peleburan massa aksi yang membuat identitas benar-benar tersamarkan ini, seorang anak sekolah berusia 12 tahun turut andil di dalam gerakan.
Lalu, bagaimana mengoordinasi massa yang heterogen ini menjadi satu kekuatan yang solid?
Seseorang memasuki forum diskusi pasca pemutaran film dokumenter Revolution of Our Times menanggapi pertanyaan ini. Menyoal identitas tidak hanya membicarakan atribut apa yang dipakai oleh massa aksi. tapi lebih jauh daripada itu. Pertama adalah membicarakan kesadaran yang berada di ranah ide, termasuk pandangan personal atas krisis yang sedang dihadapi haruslah seragam. Namun, jalan sangat panjang ketika berutopia bahwa pandangan politik harus diseragamkan. Ini tidak jauh dari pikiran fasis.
Tetapi bukan berarti ini mustahil. Krisis yang disadari adalah bagian dari proses dialektika yang kita lakukan, sebagai lapisan masyarakat luas, dengan realita yang ada: kondisi dan situasi negara. Berangkat dari kesadaran krisis konstitusional ini, revolusi Hong Kong berhasil menyatukan segenap lapisan masyarakat yang heterogen itu.
Menyerupai blue badge “Peringatan Darurat!” yang menyeruak di lorong-lorong media sosial, revolusi Hong Kong menggunakan Dinding Lennon sebagai titik perluasan informasi mengenai krisis. Sebagai bagian dari strategi agipro yang memukau, Dinding Lennon menjadi sumbu ledakan gerakan protes yang massif dan menyatukan beragam peran sosial.
“Kami menjadi air,” ungkap salah seorang koordinator massa aksi. Diselingi footage gelombang protes yang diambil dari atas gedung-gedung pencakar langit Hong Kong menggunakan drone atau helikopter. Kita bisa menyaksikan bagaimana massa aksi memiliki ruang gerak dan jalur mitigasi yang tampaknya telah direncanakan sebelumnya.
Dinamika Psikologis
Massa aksi adalah kelompok yang rentan begitu ketika mereka memutuskan untuk benar-benar melakukan protes. Dengan adanya protes berarti stabilitas negara menjadi terganggu. Pemerintah akan menurunkan aparat keamanan untuk mengatasi gelombang subversif yang ada.
Dengan memuncaknya solidaritas masyarakat Hong Kong di dalam gerakan protes yang cair ini bukan berarti tidak ada dinamika yang mengganggu. Mereka benar-benar berani. Konsekuensinya, aparat juga benar-benar berani dan tega. Lagipula, “Kami tidak takut mati,” tegas seorang demonstran di dalam frame wawancara.
Film dokumenter yang berdurasi sekitar dua setengah jam ini tidak banyak menginformasikan konteks politik yang mendorong gerakan protes Hong Kong di semester kedua tahun 2019. Kiwi Chow lebih menampilkan situasi psikologis para demonstran selama gerakan ini berlangsung.
Dari sekitar dua juta demonstran, ada ratusan yang berusia di bawah 18 tahun. Mereka umumnya adalah siswa sekolah. Seorang demonstran dari sekolah menengah bercerita ia harus pergi ke sekolah sebelum jam 8. Namun, ia harus melakukan ‘Operasi Fajar’ dengan menenteng ransel yang berat berisi buku pelajaran sembari berlarian dari kejaran polisi dengan ‘kaki yang lemas’.
Sebagian demonstran mengaku ia berbohong kepada teman dan orang tuanya untuk ikut gerakan protes. Bahkan ada yang lalu bersitatap dengan ayahnya di jalan. Hal itu menimbulkan reaksi tidak menyenangkan dari si ayah yang kemudian membiarkan anaknya ikut aksi massa dan menerima luka-luka sebagai konsekuensinya. Begitu juga cerita para remaja lainnya yang terlibat aksi merasa kesulitan menemui pacarnya, hingga belum pulang dan menyantap makanan di rumah selama 3 bulan.
Krisis di tengah gerakan protes ini membuat mereka menciptakan lingkaran sosial antar kawan perjuangan lebih intim. Sebagian dari massa aksi menciptakan suasana makan malam selayaknya keluarga sendiri di rumah atau kontrakan salah seorang lainnya. Ada juga divisi Parents-car yang berperan selayaknya orang tua yang menjemput anak-anaknya sepulang dari ‘sekolah revolusi’, mengantarkan mereka pulang dari aksi dengan aman.
Dengan terciptanya hubungan sosial yang organik seperti ini, tentunya menciptakan teror baru. Terutama ketika gerakan menghadapi segala intervensi mulai dari aparat, kontra pendapat dengan warga Hong Kong yang merasa terganggu dengan adanya protes, hingga gangster ‘berseragam putih-putih’ dari kelompok triad yang bersekongkol dengan polisi. Aparat mengupayakan berbagai manajemen konflik yang memungkinkan untuk menghentikan gerakan. Termasuk menciptakan skema konflik horizontal, bilamana tekanan top down dari aparat tidak manjur.
Teror psikologis tidak hanya dialami oleh massa aksi yang secara face to face menghadapi tekanan aparat dan intervensi kelompok kontra insurgensi, namun juga divisi paramedis yang menyediakan bantuan kesehatan bagi massa aksi yang terluka atau butuh pertolongan medis. Berbagai upaya untuk memukul telak massa aksi tidak hanya dilakukan dalam bentuk kekerasan, namun juga dengan menghentikan saluran penyediaan bantuan medis.
Revolution of Our Times menyorot depresi dan tekanan emosional dari kelompok paramedis yang gagal menemui massa aksi korban represifitas aparat di sebuah stasiun di Hong Kong. Sekawan paramedis yang penuh cemas dan bergerak cepat ini gagal bernegosiasi dengan aparat untuk membuka gerbang trem bawah tanah.
“Kau boleh menangkapku setelah ini asalkan biarkan aku menolong mereka!” ucap seorang paramedis sebelum akhirnya terduduk menangis di trotoar karena tidak ada respon positif dari polisi.
Sebuah Analisis
Hingga Senin (26/8) kanal media sosial masih riuh dengan berita represif aparat terhadap massa aksi demonstrasi selama dua hari yang telah berlalu. Berbagai media mengabarkan sejumlah massa aksi yang terluka dan ditangkap oleh aparat dan belum dibebaskan. Sementara gelombang protes diperkirakan akan menyusul hingga Kamis (29/8) mengikuti eskalasi konflik politik menjelang Pilkada.
Gelombang demonstrasi di bulan Agustus ini menuai berbagai macam respon, dari bentuk-bentuk apresiasi hingga kritik. Salah satu kritik yang dilemparkan oleh dua akademisi University of Melbourne menggarisbawahi adanya krisis aktivisme tanah air di era kiwari. Krisis yang dimaksudkan adalah “aktivisme borjuis”.
Menggunakan data pembanding fenomena demonstrasi Reformasi Dikorupsi pada 2019 dan UU Cipta Kerja pada 2020, penulis mengklaim gerakan protes atas UU Pilkada ini juga secara potensial akan berakhir dengan hasil yang sama, tragis. Hal ini karena gerakan protes di era kiwari masih menggunakan gerakan yang “reaktif dan moralis”, berpandangan “valid tetapi sebenarnya naif”, “sekedar protes”, dan “bukan hanya janggal, namun juga menyedihkan”.
Penulis kemudian menawarkan sintesis bahwa gerakan aktivisme hari ini krisis agenda perubahan strategi. Krisis akan strategi itu segera memerlukan bentuk gerakan aktivisme terpimpin, tidak sporadis dan cair; “dibimbing oleh organisasi politik progresif yang solid untuk menjadi basis kekuatan penyeimbang faksi-faksi oligarki.”
Saya tidak tahu sejauh mana penulis telah melakukan penelitian gerakan politik revolusioner sebagai faksi kontra oligarki sehingga berani mengambil kesimpulan ganas seperti itu. Apalagi, gerakan protes yang riuh hingga hari ini masih dibalut aktivisme yang lain: dekonstruksi kebudayaan pasca tragedi ‘65, di mana gerakan aktivisme terpimpin masih sangat mustahil untuk mensukseskan kampanye dekonstruksi anti komunisme di tanah air.
Meskipun teori kritis Marx-Engels masih terbuka lebar untuk direkonstruksi di dalam agenda akademik, saya kira kampanye anti komunis benar-benar telah merebut panggung sosiokultural secara luas. Ide-ide atau diskursus yang menyinggung pandangan ‘kiri’ masih sering mengundang sentimen dari kelompok masyarakat konservatif.
Saya juga gagal memahami apa yang dimaksudkan oleh penulis dengan gerakan yang sporadis, cair, dan tanpa kepemimpinan gerakan itu. Menurut perspektif saya, populasi gerakan protes di era kiwari masih dikomposisikan oleh sejumlah elemen dengan panji-panji yang beragam: organisasi-organisasi mahasiswa hingga organisasi-organisasi buruh atau pekerja. Sebagian besar organisasi yang ada rupanya terafiliasi dengan partai politik atau organisasi kemasyarakatan yang telah mendapatkan panggung politik sejak lama.
Meskipun massa aksi yang terlibat adalah komposisi dari berbagai kelompok yang representatif, namun bukan berarti gerakan kiwari bisa dibilang telah memenuhi persyaratan penulis mengenai kepemimpinan gerakan itu.
Dari sini saya mencoba kembali kepada tesis awal yang dikemukakan oleh penulis: apakah krisis gerakan ini benar disebabkan oleh tidak adanya kepemimpinan gerakan di bawah organisasi politik kontra oligarki atau memang populasi demonstran masih merupakan anak ideologis dari kelompok oligarki dan lingkaran kekuatan dominannya itu sendiri?
Jika memang demikian, saya kira ini menjadi proses yang sangat panjang untuk mendekonstruksi persepsi dominan yang telah dibentuk kekuatan hegemoni sendiri. Upaya hegemoni ini melibatkan lebih dari satu institusi pemerintah, mulai dari institusi pendidikan, keagamaan, kebudayaan, hingga lembaga militer. Konsekuensinya, persepsi dominan (common sense) terbentuk. Ideologi penguasa tidak hanya menduduki singgasana besi di balik pintu megah istana negara, namun terlanjur mendekam di bawah kesadaran kita.
Memang, organisasi politik progresif dapat menjadi medium yang efektif untuk membangun kekuatan kontra hegemoni, menyediakan wahana untuk mengumpulkan massa sekaligus mempersenjatai dengan persepsi kritis dan kontras. Namun, kecenderungan kontestasi antar kubu politik akan terus bersirkulasi tanpa henti menjadi lingkaran setan selama kedua kubu sama-sama berpotensi memegang kuasa dominan. Otoritarianisme akan tumbang digantikan dengan otoritarianisme yang lain. Saya kira ini bisa dipahami dengan membaca situasi geopolitik sejak Perang Dunia II hingga hari ini.
Terlepas dari perdebatan akan dinamika revolusi di tengah kontestasi dua kubu politik berseberangan, akan menarik jika kita sejenak meluangkan waktu untuk merefleksikan bagaimana gerakan protes yang cair, tampak sporadis, dan tanpa kepemimpinan itu bisa merawat spirit para Hongkongers melawan otoritarianisme pemerintah Tiongkok selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun itu. Di mana para demonstran mampu berkonsolidasi dan merawat relasi antar pejuang revolusi meskipun sering menemui pukulan telak dari penguasa. Juga bagaimana identitas mereka dapat melebur menjadi air sebagaimana Bruce Lee mengulang-ulang mantra “Be water”, sehingga menciptakan kekuatan gerakan massa yang kokoh di jalanan Hongkong. (*)
Editor: Kukuh Basuki