Kita lebih banyak melihat lukisan lahir dari studio-studio seni yang tertutup rapat atau berada di alam terbuka yang melukiskan keindahan alam. Tidak banyak karya seni yang lahir di jalanan, kecuali karya-karya seni protes yang terpampang melalui poster dan tembok jalanan.
Membaca Melukis di Tengah Perang memunculkan dua hal yang menarik untuk diulas lebih lanjut, pertama tentang historiografi anak, dan yang kedua adalah perebutan wacana dalam medium dokumentasi sejarah. Tidak sedikit karya sejarah yang terbit dan membahas tentang masa revolusi Indonesia, tetapi Melukis di Tengah Perang adalah karya yang tidak melewatkan peran anak-anak dalam sejarah Indonesia.
Baca juga:
Melukis di Tengah Perang tidak hanya menceritakan peran Dullah pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia melalui lukisan-lukisannya yang mendokumentasikan sekaligus menjadi pergulatan wacana mengenai peristiwa tersebut, melainkan juga tentang sesuatu yang kini jarang bahkan tak lagi kita temukan, yaitu melibatkan anak-anak dalam sebuah peristiwa, selain menjadi korbannya.
Historiografi Anak
Dalam sejarah Indonesia, historiografi anak-anak masih begitu kering untuk dibicarakan. Bahkan hampir di setiap tulisan mengenai sejarah Indonesia, anak-anak sering kali dilewatkan dan tak pernah dibahas. Hal klise yang mendasarinya tentu saja karena begitu keringnya dokumentasi maupun arsip mengenai anak-anak.
Hal yang paling memungkinkan dibicarakan dan sedikit menukil tentang anak-anak dalam historiografi Indonesia adalah tentang pendidikannya. Misalnya tentang pembahasan mengenai Taman Siswa. Kita lebih mengenal konsep pendidikan yang ditawarkan oleh Soewardi Soerjaningrat, atau yang kini diadopsi sebagai Kurikulum Merdeka. Namun, kita tak pernah mengetahui secara genap dan betul mengenai dampak yang kemudian dirasakan oleh anak-anak yang menjalani pendidikan tersebut.
Hal tersebut yang kemudian saya singgung di awal: dalam historiografi, anak-anak hanya terlibat sebagai korban dalam sebuah peristiwa. Definisi mengenai historiografi anak-anak secara konseptual pun belum terdefinisikan secara pasti, apakah kita membahas mengenai anak-anak dalam sejarah, atau mungkin anak-anak yang menuliskan sendiri sejarahnya.
Kuntowijoyo (1943–2005) misalnya dalam Pengantar Ilmu Sejarah (1995), sudah memberikan pertanyaan pemantik berupa “sejak kapan Indonesia mulai ada mainan anak, film anak, … majalah anak, dan penerbitan untuk anak?” Tetapi memang anak-anak adalah subjek yang lemah dalam kesejarahan. Meskipun begitu, memang sedikit perhatian yang kita berikan pada historiografi anak-anak.
Melukis di Tengah Perang memang tidak utuh sebagai historiografi anak, tetapi peran anak-anak dalam revolusi Indonesia melalui lukisan-lukisannya yang didasari Dullah sebagai “Dokoementasi Nasional” menjadi sebuah proyek yang langsung ditunjuk oleh Sukarno. Lukisan-lukisan ini yang kemudian menjadi salah satu kekuatan Indonesia dalam perebutan wacana revolusi Indonesia.
Perebutan Wacana Visual Revolusi Indonesia
Sampai saat ini, pergulatan wacana mengenai revolusi Indonesia belumlah selesai. Salah satu gugatan yang dilancarkan Histori Bersama kepada pemerintah Belanda yaitu tentang pengakuan mengenai adanya kekerasan dan kolonialisme terkutuk di Indonesia selama penjajahan Belanda berlangsung.
Menariknya, dalam buku Melukis di Tengah Perang ini lukisan anak-anak tidak dinilai sebagai bagian remeh-temeh yang memperlengkapi Dullah sebagai seorang maestro dan mentor dari 5 anak yang diterjunkan langsung untuk melukiskan suasana Revolusi Indonesia.
Sebuah fakta yang memilukan tapi menarik adalah, ketika suasana perang revolusi Indonesia terjadi, anak-anak melukiskan suasana perang tersebut dari dekat sekali. Salah satu murid Dullah, Toha, misalnya, melukiskan pesawat-pesawat yang melakukan pemboman terhadap benteng Vredeberburg.
Lukisan-lukisan ini bukan saja menggambarkan keburukan dari perang revolusi Indonesia, tetapi juga melihat realita perang secara utuh, bahwa dalam perang tak hanya soal yang baik melawan yang buruk. Namun, di antara yang buruk itu ada saja pihak yang baik dan hal itu pun tak terlewatkan dari mata para pelukis muda itu. Misalnya seperti gambar seorang tantara Belanda yang membagikan rokoknya ke pejuang Indonesia.
Penggambaran ini pun menjadi dasar dari pengolahan sumber yang baik dari Fatih Abdulbari mengenai historiografi Indonesia yang tidak rasis. Menuliskan keindonesiaan tanpa penggambaran yang berlebihan dengan tetap meletakkan karyanya berada di tengah-tengah meskipun tidak sepenuhnya objektif. Membaca Melukis di Tengah Perang akan makin lengkap jika disertai dengan Semua untuk Hindia dan Teh dan Pengkhianat karya Iksaka Banu.
Refleksi Argumentum ad populum
Merefleksikan karya ini sebagai dasar untuk melihat pentingnya anak-anak dalam peristiwa sejarah mestinya membuat mata kita terbelalak, sebab kini kita tidak lagi menjumpai anak-anak yang dengan sengaja dimentori untuk melihat sebuah peristiwa dan menggambarkannya secara realistis seperti yang dilakukan Dullah. Anak-anak tetaplah menjadi subjek yang terdampak dan menjadi korban atas kepentingan orang-orang dewasa.
Baca juga:
Melukis di Tengah Perang pun dapat dituturkan kepada anak-anak penggemar seni, bahwa karya seni tak hanya lahir dari studio-studio seni berserakan kuas, cat, dan kanvas, melainkan pernah lahir dari cucuran darah, bau misiu, asap, dan api yang berserakan di jalanan.
Historiografi Indonesia adalah kerja-kerja kolosal. Melengkapi bagian yang renik-renik semacam ini adalah hal yang penting untuk semakin mengenali Indonesia.
Editor: Prihandini N
