Kota tak pernah berhenti menjadi magnet. Pasca mudik, misalnya. Kembalinya pemudik ke kota selalu diikuti penambahan orang yang datang. Mereka mencoba peruntungan nasib ke kota. Tahun 2023 saja, menurut data Dukcapil DKI Jakarta, ada 25 ribu lebih pendatang baru di Jakarta.
Urbanisasi tentu baik. Penambahan orang membuat ekonomi kota meningkat dan berputar cepat. Namun, realita ini memperlihatkan sebuah ironi bahwa desa belum memberi harapan bagi masyarakatnya.
Setiap pemerintahan, mulai Orde Baru hingga sekarang, punya program pembangunan desa. Namun, program-program itu tak jelas hasilnya. Salah satu penyebab kurang berhasilnya—untuk tidak menyebutnya gagal—adalah pemosisian desa yang hanya menjadi objek pembangunan selama ini. Kebijakan tentang desa hanya dilihat dari kacamata atas alias kacamata kota. Alhasil, perencanaan pembangunan desa kurang melibatkan masyarakat desa sendiri.
Baca juga:
Desa yang Mengota
Berbagai upaya pemerataan sudah dilakukan oleh pemerintah sejak dulu. Pemerintahan Joko Widodo, khususnya, sudah melakukan berbagai mega proyek seperti jalan tol, waduk, bandara, hingga proyek investasi asing besar-besaran. Pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan pun tidak lain demi alasan pemerataan.
Pembangunan berorientasi fisik seperti itu memang baik dan tentu berdampak pada pembangunan desa, tetapi juga punya potensi berdampak negatif. Pembangunan desa akhirnya hanya membuat desa seolah harus menjadi seperti kota. Dampak yang paling terlihat ada pada aspek sosial-budaya. Corak sosial-budaya masyarakat desa yang khas berpotensi memudar.
Pemberdayaan Masyarakat
Fokus pembangunan desa seharusnya tidak hanya pada infrastruktur fisik, tetapi juga pada daya manusianya. Ekonom Inggris E.F Schumacher menyebutnya dengan bantuan intelektual atau pengetahuan (1973). Bantuan ini memungkinkan masyarakat desa untuk tegak berdiri sendiri memenuhi kebutuhannya.
Upaya dukungan seperti ini pun sebenarnya sudah termaktub dalam Undang-Undang Desa tahun 2014 dan perubahannya yang ditetapkan pada 2024 bahwa pemberdayaan masyarakat desa wajib dilakukan. Pemberdayaan ini merupakan upaya mengembangkan kemandirian, pengetahuan, perilaku, kemampuan, dan kesadaran sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa.
Selama ini, program-program pemerintah dengan fokus pemberdayaan masyarakat juga sudah dilakukan oleh berbagai instansi pemerintah. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) selaku leading sector urusan desa memiliki banyak program, di antaranya adalah Produk Unggulan Kawasan Pedesaan (PRUKADES) dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif punya program pendukungan potensi wisata di desa-desa. Bahkan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun memiliki program pemberdayaan desa, yakni Desa Mandiri Energi. Saya yakin program-program yang menyasar masyarakat desa juga masih ada di instansi-instansi lain.
Program-program pemberdayaan tersebut dibangun atas asas yang kurang lebih sama, yaitu kesejahteraan dan ekonomi. Kesejahteraan dan ekonomi masyarakat desa tentu menjadi urusan yang sangat penting, bahkan fundamental. Namun, jika tidak terkendali, aspek-aspek tersebut punya potensi ancaman terhadap unsur sosial-budaya masyarakatnya. Padahal, identitas sosial-budaya desa merupakan elemen yang membentuk budaya nasional.
Banyak penelitian dan bukti perubahan sosial-budaya di desa. Salah satunya adalah memudarnya ikatan kolektif dan gotong royong. Padahal, kolektivitas ini merupakan kekuatan desa. Orientasi masyarakat berubah dari rasa kebersamaan dan solidaritas menjadi orientasi komersial dan uang.
Sektor Batin
Ahmad Soleh (dalam Jurnal Sungkai, 2017) menjelaskan bahwa secara garis besar potensi desa dapat dibedakan menjadi dua, potensi fisik dan non fisik. Potensi fisik berkaitan dengan ekologi, sementara potensi non fisik adalah aspek sosial-budayanya.
Pemberdayaan masyarakat desa dalam konteks budaya penting untuk diperhatikan. Jika kita analogikan, pemberdayaan sektor fisik ibarat menyehatkan sisi lahiriah, sementara pemberdayaan non fisik adalah upaya menyehatkan sisi batin. Kebudayaan adalah aspek batin dari sebuah masyarakat.
Sejak dahulu, menggarap sektor lahir sudah lazim dan relatif mudah. Berbeda dengan penggarapan sektor batin. Bukan sulit, tetapi sifatnya yang abstrak seakan tidak cukup menarik untuk diperhatikan secara serius.
Namun, menggarap persoalan batin ini juga tidak mudah dan akan gagal jika kacamata yang digunakan lagi-lagi hanya menjadikan masyarakat desa sebagai objek. Sisi batin masyarakat desa harus digarap oleh masyarakat itu sendiri sebagai pelaku dan pemilik. Maka, kuncinya adalah masyarakat yang jadi subjek yang mandiri dan yang bergotong royong.
Nyala Desa
Sebenarnya, ada satu upaya pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang bisa menjadi oase di tengah minimnya pemupukan sisi batin masyarakat. Ia adalah program Pemajuan Kebudayaan Desa.
Program yang sudah dirintis sejak tahun 2019 ini mencoba menggali dan memaksimalkan potensi budaya dan kearifan lokal yang ada di desa-desa. Dalam pelaksanaannya, masyarakat desalah yang menjadi aktor sepenuhnya, pemerintah hanya sebagai fasilitator.
Baca juga:
Dalam buku pedoman program Pemajuan Kebudayaan Desa yang rilis tahun 2021, disebutkan bahwa tujuan program ini adalah meningkatkan kesejahteraan desa, membangun identitas/karakter desa, menguatkan ketahanan budaya, serta menguatkan kolaborasi (gotong royong). Dari empat target tersebut, tiga di antaranya dapat dikategorikan tujuan non fisik. Maka, dapat dikatakan bahwa sejatinya program ini memang sedang menggarap ruh dari masyarakat desa.
Ruh ini yang akan membuat masyarakat desa tidak lagi menjadi buih yang terombang-ambingkan oleh deru kota dan latahnya modernitas. Dengan ruh kebudayaan ini, masyarakat desa mampu tegak berdiri dengan segenap jati diri.
Namun, misi seperti ini hanya dapat diwujudkan jika ada sinergi semua pihak. Lebih dari itu, perlu kesadaran bersama terhadap pentingnya aspek kebudayaan yang merupakan jiwa peradaban.
Tidak mudah memang. Namun, jika itu terwujud, maka benarlah ucapan Hatta, “Indonesia tidak akan berjaya dengan obor besar Jakarta, tapi akan bercahaya karena lilin-lilin di desa.” Saya tidak membayangkan lilin-lilin desa yang dimaksud Hatta adalah lampu-lampu objek wisata. Saya yakin lilin itu adalah ruh-ruh budaya yang menyala dari desa-desa.
Editor: Emma Amelia