Potret Kegagalan Kemanusiaan di Srebrenica

Sekar Jatiningrum

4 min read

Di ruangan pengap yang dipenuhi ketegangan dan asap rokok, seorang perempuan duduk di antara pejabat lokal dan tentara bersenjata, menyimak dengan tajam setiap kata demi kata. Negosiasi untuk mengevakuasi warga yang terjebak di tengah konflik terus berlangsung di tengah tekanan. PBB memang telah menetapkan Srebrenica sebagai zona aman, namun kenyataan berkata lain: tank-tank Serbia terus mengepung kota, dan bom dijatuhkan tanpa henti. Janji keamanan perlahan berubah menjadi ilusi pahit.

Di luar tembok kota, Srebrenica—sebuah kota kecil di timur Bosnia—telah berubah menjadi zona kekerasan pada 1995. “Setiap detik, tiga peluru mematikan menghantam kota. Mereka baru saja membawa 17 korban ke rumah sakit. Kini bertambah, 57 orang terluka. Apakah dunia benar-benar melihat tragedi yang sedang berlangsung di Srebrenica?”  Suara radio menggema di ruangan, memperburuk kecemasan yang menyelimuti. Ribuan warga yang terperangkap menanti dalam ketidakpastian, memohon perlindungan, sementara harapan mereka kian memudar. Dunia seolah menutup mata, membiarkan tragedi ini tenggelam dalam diam.

Aida: Penerjemah, Ibu, dan Saksi Bisu Kehancuran Srebrenica

Dalam kekacauan yang meluluhlantakkan, Aida dihadapkan pada dilema: melindungi keluarganya atau menjalankan tugas sebagai penerjemah PBB di tengah tragedi yang merenggut ribuan nyawa. Quo Vadis, Aida? mengangkat tragedi pembantaian Srebrenica pada 1995, ketika lebih dari 8.000 Muslim Bosnia yang tak bersenjata dibantai secara brutal. Peristiwa ini menjadi salah satu kekejaman sipil terbesar di Eropa pasca Perang Dunia Kedua, menyoroti kehancuran dan ketidakberdayaan manusia secara tajam dan memilukan.

Baca juga:

Aida Selmanagić (Jasna Đuričić), seorang guru yang ditugaskan sebagai penerjemah PBB, terlibat dalam negosiasi antara pemimpin Muslim Bosnia, pejabat PBB, dan militer Serbia. Ketika Srebrenica jatuh ke tangan pasukan Serbia, warga kota, termasuk keluarga Aida, terperangkap dalam bayang-bayang kematian. Suaminya, Nihad (Izudin Bajrović), kepala sekolah setempat, bersama dua putra mereka—Hamdija (Boris Ler) dan Sejo (Dino Bajrović)—yang sudah cukup umur untuk wajib militer, menghadapi ancaman nyata dari serangan pasukan Serbia yang menguasai kota.

Ribuan orang berdesakan di depan pabrik baterai yang terbengkalai, membentuk lautan tubuh yang bergerak tanpa arah. Di tengah kekalutan itu, Aida berjuang keras mencari celah di antara kerumunan untuk membawa suami dan putranya ke tempat yang lebih aman. Namun, setiap langkah terasa sia-sia. Ketakutan dan kebingungan menyelimuti mereka, sementara waktu yang terus berjalan mempersempit jarak antara hidup dan mati.

Dengan putus asa, Aida bergerak ke segala arah, berusaha bernegosiasi agar keluarganya bisa mendapatkan perlindungan di tengah ribuan orang yang juga berjuang untuk bertahan hidup. Ia segera menyadari bahwa Komandan PBB, Thom Karremans (Johan Heldenbergh), sungguh menyedihkan di hadapan pasukan Serbia yang dipimpin oleh Jenderal Ratko Mladić, penjahat perang yang diperankan dengan nuansa penuh kesombongan oleh Boris Isaković.

Dalam sandiwara “negosiasi” yang absurd, Mladić memerintahkan kru kamera untuk merekam dirinya saat menjanjikan “keselamatan bagi semua yang tidak bersalah.” Dengan bodohnya, Karremans mempercayai ucapan itu, yakin bahwa seluruh warga kota akan aman. Untuk mendukung tipuan ini, pasukan Serbia memasuki kamp, membagikan roti dan coklat, menciptakan pemandangan yang mengerikan—ketenangan apokaliptik yang menyelimuti suasana, mempertegas ketegangan yang mencekam.

Melihat Secuil Kemanusiaan di Tengah Tragedi

Di tengah gelombang panik dan ketegangan, muncul momen-momen kecil yang mengingatkan bahwa sisi kemanusiaan belum sepenuhnya pudar. Salah satunya terjadi ketika dua anak muda tiba-tiba berciuman di tengah rasa putus asa, memancing tawa lepas dari Aida—tawa singkat yang segera mengalirkan ingatannya ke masa lalu. 

Ia teringat saat mengikuti kontes kecantikan di sebuah bar, di mana orang Serbia, Muslim, dan Kroasia hidup berdampingan dalam damai, berteman, dan bertetangga. Kenangan itu membuka jendela ke masa sebelum perang, ketika persahabatan dan kebersamaan tak tergoyahkan oleh perbedaan.

Namun, kenyataan segera menariknya kembali. Di tengah kerumunan yang sesak, seorang perempuan tiba-tiba mengalami pecah ketuban. Di antara tubuh-tubuh yang lelah, keringat yang menetes, kelaparan, dan ketegangan yang menyesakkan, Aida tak bisa berpaling. Tanpa ragu, ia bergegas membantu. Ketika bayi itu lahir, tangisan pertamanya menggema di udara penuh kecemasan, seolah mewakili jeritan ribuan jiwa yang terperangkap, mencari secercah harapan di tengah kehancuran.

Tragedi Srebrenica: Kegagalan Komunitas Internasional

Quo Vadis, Aida? dengan gamblang menelanjangi kegagalan komunitas internasional dalam tragedi Srebrenica, memperlihatkan bagaimana PBB, Uni Eropa, dan para pemimpin dunia Barat memilih untuk mengabaikan tanggung jawab mereka, meski memiliki kekuatan untuk campur tangan. Tragedi ini terjadi di tengah keruntuhan Yugoslavia, saat negara-negara mulai melepaskan diri dari federasi yang dulunya menyatukan mereka. Republik Sosialis Bosnia dan Herzegovina—wilayah multi-etnis yang dihuni oleh Bosniak Muslim, Serbia Ortodoks, dan Kroasia Katolik—menjadi salah satu pusat konflik berdarah.

Pada 1992, Bosnia-Herzegovina memproklamasikan kemerdekaannya dan segera diakui oleh Amerika Serikat serta negara-negara Eropa. Namun, pengakuan ini ditolak oleh kelompok Serbia Bosnia yang, dengan dukungan penuh dari pemerintah Serbia, melancarkan kebijakan pembersihan etnis secara brutal terhadap komunitas Bosniak.

Di tengah krisis ini, pasukan penjaga perdamaian Belanda di bawah naungan PBB tak lebih dari saksi bisu. Dalam waktu lima hari, Srebrenica jatuh ke tangan Ratko Mladić, jenderal kejam yang memimpin pembantaian. Sekitar 20.000 pengungsi—kebanyakan perempuan dan anak-anak—berlarian menuju pangkalan PBB untuk mencari perlindungan. Namun, mereka justru dihadapkan pada pengkhianatan yang memilukan. Para pria dewasa dan anak laki-laki dipisahkan dari keluarga mereka, disiksa, lalu dieksekusi. Jenazah mereka dibuang ke kuburan massal dengan buldoser, sementara beberapa dikubur hidup-hidup. Perempuan dan anak perempuan tak luput dari kekejaman, menjadi korban pemerkosaan sistematis.

Luka kolektif tragedi ini masih membekas hingga hari ini. Kuburan massal terus ditemukan, dan identitas korban perlahan diungkap. Pada 2019, Mahkamah Agung Belanda memutuskan bahwa negara tersebut turut bertanggung jawab atas 350 kematian di Srebrenica—angka yang jauh dari mencerminkan keseluruhan korban. Sementara itu, pada 2017, Pengadilan PBB di Den Haag memvonis Jenderal Mladić bersalah atas genosida, meskipun hingga kini Serbia masih menolak mengakui peristiwa ini sebagai genosida.

Potret Personal dari Tragedi Kolektif

Meskipun Quo Vadis, Aida? tidak secara eksplisit menampilkan kekejaman secara grafis, film ini berhasil membangun atmosfer teror yang mencekam melalui adegan-adegan seperti pemisahan keluarga, manipulasi janji keselamatan, dan ketegangan saat para pria dipaksa masuk ke dalam truk menuju kematian mereka. Ketegangan mencapai puncaknya ketika seorang tentara dengan sinis berteriak, “Pertunjukan yang sesungguhnya akan segera dimulai,” diikuti suara tembakan yang memekakkan telinga, membantai puluhan pria—menandai awal dari genosida yang lebih luas.

Baca juga:

Melalui sosok Aida, film ini tidak hanya menghadirkan perspektif historis, tetapi juga memperlihatkan dampak personal dari perang. Aida menjadi simbol keberanian, cinta, dan ketahanan seorang ibu yang berusaha melindungi keluarganya di tengah kekacauan yang tak terbayangkan. Film ini memperlihatkan bagaimana perang merenggut kemanusiaan, merobek hubungan keluarga, dan meninggalkan luka serta trauma yang mendalam bagi para penyintas.

Pengakuan internasional terhadap film ini mencerminkan kekuatannya dalam membangkitkan kesadaran global. Quo Vadis, Aida? menjadi perwakilan Bosnia di Academy Awards ke-93 dan meraih berbagai penghargaan bergengsi, seperti Audience Award di Festival Film Internasional Rotterdam serta Best International Film di Festival Film Gothenburg 2021. 

Lebih dari sekadar kisah sejarah, film ini adalah pengingat yang kuat akan rapuhnya perdamaian dan pentingnya mencegah kekejaman serupa terulang kembali. Dengan narasi yang menyentuh dan visual yang menggugah, Quo Vadis, Aida? menegaskan bahwa di balik statistik korban perang, terdapat individu-individu dengan kisah dan penderitaan yang tak boleh dilupakan. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Sekar Jatiningrum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email