Al-Ghazali, seperti diakui oleh banyak ulama dan sarjana Sunni, adalah pembela utama tasawuf Sunni. Corak tasawufnya adalah tasawuf Sunni yang mudah dipahami dan diterima semua orang, termasuk orang awam. Namun, penilaian ini tidak dapat diterima jika kita memperhatikan secara cermat karya Al-Ghazali, Misykat al-Anwar. Dalam karya tersebut, kita dengan mudah menemukan pandangan-pandangan esoterik dan filosofis al-Ghazali yang sangat radikal.
Dengan terang-terangan, Al-Ghazali berani mengungkapkan apa yang tidak berani ia ungkapkan dalam karya-karyanya yang lain. Bagaimana tidak, dalam kitab yang hanya ia peruntukan bagi murid-muridnya itu, Al-Ghazali dekat dengan doktrin wihdatal-wujud. Ia mengatakan bahwa “tidak ada dalam wujud ini kecuali Allah dan “segala sesuatu adalah binasa kecuali wajah-Nya.”
Allah Swt. berfirman:
وَلَا تَدْعُ مَعَ اللّٰهِ اِلٰهًا اٰخَرَ ۘ لَاۤ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ ۗ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ اِلَّا وَجْهَهٗ ۗ لَـهُ الْحُكْمُ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ
Artinya: “Dan jangan (pula) engkau sembah Tuhan yang lain selain Allah. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Segala keputusan menjadi wewenang-Nya, dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan.” (QS. Al-Qasas [28]: 88).
Atas dasar ini, tasawuf Al-Ghazali yang ia anut secara pribadi itu lebih tepat dimasukkan ke tasawuf filosofis, bukan tasawuf Sunni. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ada sarjana yang “menuduh” Al-Ghazali bermuka dua.
Kepada orang banyak, ia mengajarkan tasawuf moderat yang dipandang sebagai tasawuf Sunni. Sementara untuk dirinya sendiri dan kalangan terbatas murid-muridnya yang telah mencapai tingkat kematangan spiritual, ia menganut pandangan esoterik dan filosofis yang radikal, yang dapat diklasifikasikan sebagai tasawuf filosofis.
Baca juga:
Menurut saya, hal ini adalah bentuk penyampaian ajaran yang arif dari Al-Ghazali kepada publik, sebagaimana anjuran rasul untuk menyampaikan ajaran sesuai dengan tingkat intelektualnya.
Rehabilitasi Tasawuf
Kemunculan bangunan tasawuf Al-Ghazali ternyata memiliki arti penting dalam upaya merehabilitasi citra tasawuf. Polemik tasawuf semakin menajam ketika munculnya paham ittihad al-Busthami dan paham hulul-nya al-Hallaj, yang banyak ditentang oleh kalangan fuqaha’ (para ahli fiqh) dan mutakallimin (para ahli kalam). Mereka menjustifikasi keduanya sebagai paham sesat bahkan keluar dari garis akidah Islam.
Namun, ini dapat didamaikan oleh bangunan tasawuf Al-Ghazali. Memang, bangunan tasawuf Al-Ghazali tidak sepenuhnya dianggap demikian, sebab dalam kenyataannya pada masa sebelum Al-Ghazali telah banyak tokoh sufi moderat yang telah berhasil mendamaikan tasawuf dan ortodoksi. Dan pada pasca Al-Ghazali pun, ternyata konflik antara tasawuf dan ortodoksi terus terjadi dan kadang-kadang justru lebih keras dari pada yang terjadi sebelumnya (Baca: Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial, hal. 198-201).
Masih tentang Al-Ghazali. Setidaknya, ada dua kontribusi Al-Ghazali yang dapat dikemukakan di sini. Pertama, ia merekonsiliasikan aspek eksoterik dan esoterik Islam. Kedua, ia memberikan eksplanasi seputar istilah-istilah ganjil (syathahat) dalam tasawuf dan bahkan pandangan-pandangan tertentu tentang ittihad dan hulul (dua paham yang dinilai sangat kontroversial pada masa Al-Ghazali).
Dampak dari usaha Al-Ghazali ini, selain telah mampu mengembalikan citra tasawuf sehingga dapat diterima kembali dengan mesra kepangkuan umat Islam, juga telah melahirkan sikap saling mendekatkan antara ahl al-syariah (fuqaha’) dan ahl al-haqiqah (sufi). Selain itu, juga munculnya mayoritas ulama sebagai sufi sekaligus juga sebagai fuqaha’, dan begitu sebaliknya.
Akan tetapi, sebenarnya upaya rekonsiliasi antara aspek esoterik dan eksoterik Islam itu sudah dirintis oleh Al-Qusyairi dan Al-Harawi. Namun, upaya itu baru benar-benar mencapai kesempurnaannya di tangan al-Ghazali (Baca: Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan NusantaraAbad XVII dan XVIII, hal. 109).
Baca juga:
Dalam dialektika intelektual-spiritualitasnya, Al-Ghazali telah menemukan kebenaran hakiki (ilm al-yaqin) setelah menempuh jalan tasawuf. Baginya, tasawuf tidak saja telah membebaskan dahaga dan krisis intelektualnya yang bersifat metodologis (manhaji), tetapi juga krisis yang bersifat spiritual (rohani) sehingga cukup logis kalau kemudian ia sangat mengapresiasi tasawuf melalui ungkapannya: “perjalanan sufi merupakan perjalanan terbaik, jalannya adalah jalan terbenar, dan akhlaknya adalah akhlak yang paling bersih.”
Hanya saja, tasawuf yang diapresiasi Al-Ghazali adalah tasawuf yang ia formulasikan ujung dan batas akhirnya dengan istilah “al-qurb”. Bahkan, al-Ghazali berupaya mengembalikan terminologi fiqh sebagai ilmu atau jalan untuk menuju kehidupan akhirat. Bukan hanya memuat bahasan-bahasan formal, melainkan juga bersifat umum dan komprehensif.
Abd Al-Qadir Mahmud dalam Al-Falsafah Al-Shufiyyat mengatakan bahwa istilah al-qurb Al-Ghazali ini memiliki dua maksud utama. Pertama, mengkontradiksikan sekaligus melakukan penolakan terhadap ittishal (suatu paham yang memungkinkan tercapainya pertemuan langsung ruh sufi dengan Dzat Tuhan). Dan kedua, menunjuk pada al-irfan al-yaqin atau ma’rifah (gnosis) sebagai ujung dari pengalaman tasawuf.
Dari sini, kita sudah paham bahwa sistem pemikiran tasawuf Al-Ghazali, yaitu:
Pertama, dengan menggunakan istilah al-qurb (sebagai padanan ma’rifah) sebagai ujung tasawuf, Al-Ghazali sangat mempertahankan adanya jarak pemisah antara seorang sufi dan Tuhan Yang Maha Mutlak, walaupun seorang sufi tersebut telah mencapai tingkat ma’rifah fi Allah. Dengan kata lain, bahwa hamba (seorang sufi) tetaplah hamba dan Tuhan tetaplah Tuhan.
Kedua, puncak penghayatan tasawuf, menurut Al-Ghazali, sangat sulit dan bahkan tak dapat diterangkan sehingga tidak ada satu konsep atau kata-kata pun yang begitu tepat untuk melukiskannya. Ini sebagaimana dinyatakan oleh Al-Ghazali dalam pembukaan kitabnya, Misykat al-Anwar, dengan prinsip teologi Al-Ghazali yang menyatakan bahwa ifsya’u al-sirri al-rububiyyah kufr (memberitahukan rahasia ketuhanan kepada orang lain adalah kufur).
Sebagai konsekuensinya, Al-Ghazali merasa perlu memberikan penilaian kritis terhadap sisi-sisi khusus paham tasawuf yang telah eksis di masa hidupnya. Dan tentu saja, hal ini sebagaimana tampak dalam kritik-kritik yang dilontarkannya dalam seputar konsep ittihad dan hulul, serta puncak pengalaman sufi lainnya.
Editor: Prihandini N