Penulis lepas, lepas dari kandang Bonbin. Mahasiswa ITB.

Volkswagen, Skandal Dieselgate, dan Masa Depan Industri Otomotif

Bondan Attoriq

2 min read

Sepanjang sejarah industri otomatif, belum ditemukan skandal terbesar selain Dieselgate yang mencuat pada tahun 2015.

Volkswagen (VW), salah satu produsen mobil terbesar di dunia, kedapatan memanipulasi hasil uji emisi kendaraan diesel. Penggunaan perangkat lunak (software) guna menyamarkan tingkat emisi membuat VW berada di tengah pusaran badai kritik. Konsekuensinya demikian fatal, baik dari segi kerugian finansial maupun kejatuhan reputasi perusahaan. Akibatnya, tiga tahun pasca-skandal tersebut, VW harus menyusun ulang strategi yang memihak keberlanjutan lingkungan dengan sebutan New Auto (Volkswagen, 2018). 

Skandal ini memaksa VW untuk mengevaluasi praktik bisnis dan orientasi perusahaan. Kini mereka pun mau tidak mau merencanakan transisi menuju kendaraan listrik serta teknologi ramah lingkungan. Skenario ini tampak optimistik terhadap percepatan transisi energi dunia, serta menciptakan kesan bahwa VW adalah perusahaan yang “bertanggung jawab”. Namun, timbul pertanyaan yang fundamental: mengapa revolusi industri hijau otomotif demi keberlanjutan lingkungan, atau lebih luasnya dalam konteks apa pun, harus dimulai dari suatu kasus atau skandal yang besar?

Ironi Dieselgate dan Kelambanan Transisi Energi

Mari kita telaah kembali kronologi skandal Dieselgate. Skandal ini berawal dari terungkapnya perangkat lunak ilegal pada mobil diesel Volkswagen yang dipakai untuk mengelabui uji emisi di Amerika Serikat. Mobil-mobil tersebut hanya mematuhi standar emisi saat diuji secara laboratoris, sementara dalam realitas, emisi gas buang mereka jauh melebihi ambang batas. Akibatnya, VW terpaksa membayar denda miliaran dolar kepada otoritas Amerika Serikat dan Eropa, serta menghadapi tuntutan hukum di berbagai negara konsumen. Tak hanya kerugian finansial, kepercayaan konsumen terhadap merek VW pun menurun tajam. 

Ironisnya, skandal ini justru menjadi starting point bagi VW untuk memulai gebrakan besar dalam industri otomotif. Sebagai bagian dari tanggung jawab korporasi, VW mengalihkan fokus strateginya menuju produksi kendaraan yang ramah lingkungan, khususnya mobil listrik. Langkah ini setidaknya mencerminkan respons korporasi besar (VW) terhadap tuntutan global, bukan sekadar langkah untuk “penebusan dosa”. Revolusi keberlanjutan ini diikuti pula oleh pengetatan kebijakan emisi gas buang di berbagai negara terdampak, terutama di negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat. Secara ironis, Dieselgate telah mengakselerasi upaya transisi energi yang sebelumnya berjalan lambat; menunjukkan bahwa perubahan fundamental tidak akan terjadi sebelum ekses peristiwa besar yang memicu kesadaran kolektif para stakeholder.

Baca Juga:

Lewat skandal ini, terungkap bahwa regulasi emisi gas buang tidak cukup ampuh dalam mengendalikan dampak ekologis dari industri otomotif. Negara-negara yang menandatangani perjanjian iklim, seperti Perjanjian Paris, menyadari bahwa kebijakan energi harus segera direformasi. Namun, yang lagi-lagi menjadi satu pertanyaan besar: mengapa perubahan yang urgen ini baru dilakukan setelah munculnya skandal besar seperti Dieselgate? Padahal, kondisi ekologis global telah menunjukkan tanda-tanda darurat jauh sebelum skandal ini terjadi. 

Korporasi Raksasa dalam Genggaman

Jawaban dari pertanyaan tersebut dapat kita tilik dari kacamata relasi kuasa. Pemerintah dan korporasi berposisi sebagai patron dalam sistem ekonomi global dengan kendali penuh atas kebijakan-kebijakan yang strategis. Dalam sistem ekonomi kapitalistik, prioritas utama korporasi raksasa seperti Volkswagen adalah mengejar keuntungan finansial, dan tak jarang mengabaikan kepentingan-kepentingan selainnya, termasuk ekologis dan sosial. Selaras dengan itu, kondisi perdagangan bebas memberikan mereka cukup ruang untuk memaksimalkan profit, bahkan jika harus melanggar regulasi maupun etika lingkungan. 

Korporasi raksasa, dalam realitasnya, memiliki kekuatan untuk mengintervensi regulasi lewat lobi politik dan kekuatan ekonomi. Perumusan kebijakan atas nama keberlanjutan ekologis sering kali tertunda, kecuali saat muncul tekanan eksternal yang begitu kuat seperti kasus Dieselgate. Di lain sisi, masyarakat sudah merasakan dampak langsung dari krisis iklim, yang salah satu kontributornya adalah emisi kendaraan bermotor yang diproduksi korporasi-korporasi otomotif.

Namun, relasi kuasa antara korporasi, pemerintah, dan masyarakat tidak bersifat statis. Krisis iklim global memaksa masyarakat untuk menekan pemerintah dan korporasi supaya lebih responsible. Dieselgate merupakan salah satu katalisator yang memicu perubahan radikal tersebut. Selaku patron, pemerintah mempunyai kewenangan untuk memberlakukan regulasi yang ketat terhadap emisi kendaraan, tetapi acap kali baru bertindak setelah muncul desakan-desakan publik. Pada akhirnya, tekanan global yang intens terhadap isu keberlanjutan berhasil membuat korporasi raksasa, seperti VW, berubah haluan. 

Fakta yang tidak bisa dimungkiri, korporasi cenderung memandang tuntutan masyarakat yang sporadis sebagai ihwal nan subtil: belum cukup ampuh untuk mengubah orientasi kapitalistik mereka. Ketika VW dan perusahaan besar lainnya dituntut untuk bertanggung jawab oleh berbagai pemerintah negara maju, mereka tak punya pilihan selain bergerak menuju etos produksi yang lebih ramah lingkungan. Akumulasi tekanan yang masif dari masyarakat, regulasi otomotif internasional dan peraturan pemerintah mendorong reformasi tersebut. Jadi, biarpun krisis “dibutuhkan” untuk memicu perubahan, revolusi industri hijau otomotif—secara positif—tetap mungkin terjadi jika disokong penuh oleh semua elemen yang terlibat. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Bondan Attoriq
Bondan Attoriq Penulis lepas, lepas dari kandang Bonbin. Mahasiswa ITB.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email