Sejarah Eropa abad 19 akan hampa tanpa menyertakan namanya. Sejarah dengan suka rela menggelar karpet merahnya untuk petualangan dan manuvernya. Kanvas politik Eropa sejak dekade 1860-an, digambar oleh kuas di tangannya. Jerman bersatu adalah karya ciptanya. Prancis yang menanggung malu adalah karena ulahnya. Perpaduan antara keluhuran taktik politik, kelicikan siasat, dan kemahiran bermanuver menjadi ciri khas kepemimpinannya. Ya, dia adalah Otto von Bismarck, nama besar dalam sejarah Jerman, Eropa, dan dunia yang menguasai dengan sangat handal dan fasih seni berpolitik di zamannya.
Kelahiran Bismarck bertepatan dengan terbentuknya tatanan Eropa baru pasca Napoleon. Tepatnya ia lahir pada 1 April 1815. Eropa sedang mengalami kelesuan pasca perang yang berkepanjangan, dan berusaha untuk kembali merekonstruksi tatanan pra Napoleon yang hancur karena ambisi ekstrateritorial sang kaisar Prancis.
Upaya rekonstruksi Eropa terjadi di Wina, di mana para negarawan besar Eropa bertemu. Pangeran Metternich mewakili Austria dan menjadi tuan rumah. Castlereagh mewakili Inggris, August von Hardenberg mewakili Prusia, dan Tsar Alexander I menjadi perwakilan langsung Rusia. Pertemuan para pemenang perang ini kemudian disebut Kongres Wina yang menghasilkan tatanan Eropa pasca Napoleon, di mana keseimbangan kekuatan (balance of power) diinstitusionalisasi dalam apa yang kita kenal sebagai Sistem Kongres. Konteks historis inilah yang melatari kelahiran Bismarck sebagai anak keempat dari pasangan Ferdinand von Bismarck dan Wilhelmine Mencken.
Tentu tulisan ini bukan uraian yang meringkas perjalan hidup Bismarck. Siapapun yang tertarik akan kehidupan sang negarawan besar, rasa-rasanya tidak boleh melewatkan satu buku biografi tentangnya yang ditulis dengan brilian oleh sejarawan Jonathan Steinberg, dengan judul “Bismarck: A Life”. Silakan baca dan raih kenikmatan yang penuh antusias membersamai perjalanan hidup Bismarck. Jadi, tulisan ini hanya akan sedikit mengulas petualangan politik Bismarck saat berkuasa, terutama saat ia berperan menjadi arsitek penyatuan Jerman.
Menggugat Sistem Kongres
Sistem Kongres yang mapan terbentuk pasca Kongres Wina, menjadi tatanan politik yang berlaku di Eropa pasca Napoleon. Equilibrium Eropa berusaha direstorasi dengan memadamkan ambisi ekstrateritorial Prancis, dan membangun relasi seimbang antar kekuatan besar (great power) di Eropa. Akhir Perang Napoleon telah menciptakan ikatan aliansi para kekuatan politik Eropa. Pertama adalah Aliansi Empat Kali Lipat atau Quadruple Alliance yang mengikat Inggris, Austria, Prusia, dan Rusia. Aliansi lainnya adalah yang terbentuk berdasarkan pada similaritas konservatisme antara Rusia, Austria dan Prusia, yang dikenal dengan Aliansi Suci atau Holy Alliance.
Aliansi Suci relatif bertahan lebih lama, karena persamaan kepentingan kekuatan konservatif, terutama dalam memadamkan letupan-letupan liberalisme dan nasionalisme yang mengancam status quo. Namun, ikatan aliansi suci terpecah saat meletusnya Perang Krimea tahun 1854. Sebagaimana diutarakan George Lenczowski dalam bukunya, “Timur Tengah di Kancah Dunia”, Perang Krimea bermula dari tuntutan Kaisar Napoleon III kepada Ottoman untuk mengukuhkannya sebagai pelindung Kristen timur. Namun permintaan Napoleon III ini tak disukai oleh Rusia, karena mereka merasa menjadi protektorat Kristen di Timur.
Pada 1853, Rusia menginvasi Wallachia dan Moldavia, yang membuahkan deklarasi perang dari Turki pada Agustus 1853. Inggris, sebagai salah satu kekuatan besar Eropa masih enggan bereaksi. Sebagaimana dituangkan oleh Douglas Hurd dalam bukunya “Choose Your Weapons”, terjadi perbedaan pendapat antara Perdana Menteri Lord Aberdeen dan Lord Palmerston selaku menteri dalam negeri. Aberdeen cenderung enggan terlibat konflik, sedangkan Palmerston menyerukan intervensi Inggris. Setelah berbagai dinamika, akhirnya Aberdeen menyerah. Pada 28 Maret, Inggris serta Prancis menyatakan perang dengan Rusia. Meletuslah Perang Krimea.
Baca juga:
- Akar Identitas di Antara Tembok-Tembok Peradaban
- Mengakhiri Perang, Menjadi Setitik Air di Tengah Kobaran Api
Berdasarkan pada ikatan Aliansi Suci, seharusnya Austria memihak Rusia dalam konflik ini. Namun, Austria justru memihak Prancis sebagai musuh Rusia dalam Perang Krimea. Inilah indikasi awal terpecahnya Aliansi Suci. Realita ini sejalan dengan keinginan Bismarck untuk melemahkan Austria, terutama sejak terpecahnya aliansi. Perang Krimea berakhir dengan terselenggaranya Kongres Paris. Namun, sebagaimana diutarakan Kissinger dalam bukunya “Diplomacy”, Kongres Paris semakin mempertegas perpecahan Aliansi Suci.
Ambisi Bismarck semakin mendapat jalannya setelah pada 1862 ia diangkat menjadi minister president atau perdana menteri. Dua tahun kemudian, pada 1864, Prusia berperang dengan Austria, sebagai perang pertama menuju unifikasi Jerman. Upaya Bismarck untuk memperlemah Austria tentu berkorelasi erat dengan ambisinya membuat Jerman bersatu. Dengan melemahnya Austria, Prusia dapat muncul sebagai kekuatan dominan di Eropa Tengah, dan mimpi Bismarck tentang unifikasi mendapatkan momentum terbaiknya. Habsburg berhasil dikalahkan pada 3 Juli 1866, dan dengan keluhuran taktik politik yang dimilikinya, Bismarck menjadikan musuhnya itu sebagai sekutu untuk menghadapi musuh yang lebih tangguh, yakni Prancis.
Jerman Bersatu
Kekalahan Austria membuat Kaisar Napoleon III di Paris terhenyak dan menyadari sinyal bahaya dari semakin kuatnya Prusia. Apabila dilihat secara historis, Prancis adalah negara yang paling berkepentingan untuk menjaga Eropa Tengah tetap terpecah dengan kekuatan yang relatif lemah. Ini dimulai sejak masa Kardinal Richelieu di Abad 17. Bahkan menurut Kissinger, Richelieu berhasil menunda unifikasi Jerman selama dua abad, karena keberhasilannya untuk membuat Eropa Tengah tetap terpecah dan lemah.
Napoleon III secara tidak langsung turut menjadi pihak yang membuka jalan unifikasi Jerman. Secara personal, Napoleon III sangat membenci Kongres Wina dan tatanan Eropa yang dihasilkannya. Menurunnya Sistem Kongres memperlemah dan mempersempit ruang gerak politik Prancis, karenanya ia tak menyukai Kongres Wina 1815. Namun tanpa disadarinya, serangannya terhadap Kongres Wina membuat ia turut berperan membantu mewujudkan mimpi penyatuan Jerman Bismarck, yang akan menjadi malapetaka bagi Prancis. Selain itu, dalam soal unifikasi Jerman, Napoleon III terjebak dilema. Di satu sisi ia tidak menghendaki penyatuan Jerman, namun di sisi lain ia bersimpati terhadap nasionalisme Jerman. Kegamangan bersikap inilah yang membuat Prancis akan menanggung malu dan penyesalan di kemudian hari.
Bismarck paham, satu-satunya penghalang yang ada untuk penyatuan Jerman adalah Prancis. Maka jalan satu-satunya adalah dengan memperlemah Prancis, dan perang adalah metodenya. Bismarck tidak tergesa-gesa mendeklarasikan perang terhadap Prancis, justru ia berusaha memancing Prancis agar menjadi pihak pertama yang mendeklarasikan perang. Perselisihan Prancis-Prusia sejatinya bermula dari sengketa Spanyol. Bismarck mendukung Leopold Hohenzollern yang pro unifikasi dengan Prusia, disaat Prancis menentangnya dengan keras. Di tengah ketegangan itu, Bismarck berhasil merekayasa telegram, yang dikenal dengan Ems Telegram, yang direkayasa seolah-olah Wilhelm I dari Prusia tidak menghargai Napoleon III. Ini membuat Prancis berang. Maka pada 15 Juli 1870, Prancis mendeklarasikan perang. Sekali lagi tujuan Bismarck berhasil karena keluhuran taktik politiknya.
Prancis sama sekali tidak siap berperang. Kemuraman semakin pekat mendekap Prancis, saat Napoleon III ditangkap dalam Pertempuran Sedan. Pada bulan September, dibentuk Pemerintahan Pertahanan Nasional oleh Jules Favre dan Leon Gambetta. Bismack berada di atas angin. Dalam satu pertemuan di Ferrieres, Bismarck bertemu dengan Fevre dengan menuntut diserahkannya Loraine dan Alsace. Ini mengindikasikan bahwa Bismarck, dengan kelihaiannya menyusun taktik dan strategis, berhasil mempermalukan Prancis dan unifikasi Jerman menjadi kenyataan.
Pada 18 Januari 1871, berlokasi di Hall of Mirrors, Versailles, penyatuan Jerman mendapatkan momentum historisnya. Bismarck menjadi arsitek penyatuan Jerman yang canggih dan membuat peta politik Eropa, terutama di Eropa Tengah berubah sama sekali. Realpolitik Bismarckian telah mendominasi politik Eropa hingga akhir abad 19, bahkan hingga meletusnya Perang Eropa 1914 yang memporak-porandakan sistem kekuatan besar yang terbentuk sejak Kongres Wina dan unifikasi Jerman. Sampai kapanpun, nama Bismarck akan terukir dengan tinta emas sejarah Jerman modern, dan Eropa. Dunia tidak akan ragu mengakui kehebatan memimpin dan berpolitiknya. Bismarck benar bahwa politik adalah sebuah seni kemungkinan, karena ia selalu bermain di setiap lorong dan celah-celah kemungkinan.
Editor: Kukuh Basuki