Warga Universitas Islam Indonesia, Jogjakarta. Suka menghayal dan merenung. Buku: Tafakkur Akademik (2022) dan Melihat Indonesia dari Mata Pemuda (2023)

Semoga Wakilmu Selantang Knalpotmu

Nur Khafi Udin

2 min read

Menjelang pemilu begini, biasanya kegiatan-kegiatan yang mengarah ke kampanye sudah mulai dilakukan. Misalnya, mobilisasi sayap-sayap kepemudaan partai politik beserta simpatisannya. Hal ini saya lihat terjadi di Kabupaten Magelang beberapa waktu lalu dalam kemasan konvoi Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK).

GPK merupakan organisasi sayap pemuda tertua milik Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Gerakan tersebut merupakan satu dari tiga sayap gerakan pemuda PPP. Dua yang lainnya adalah Angkatan Muda Ka’bah dan Generasi Muda Pembangunan.

Saya dibuat bertanya-tanya; apakah masih relevan apabila keterlibatan pemuda di partai politik hadir dalam bentuk kegiatan konvoi brutal dengan knalpot modifikasi yang membisingkan telinga? Seenaknya menguasai jalanan, menerobos lampu merah, bahkan tanpa malu-malu mengabaikan protokol keamanan berkendara. Untuk tingkat gerakan pemuda, apalagi dibawah naungan partai berlogo Ka’bah hal ini patut dievaluasi. Saya justru miris melihat aktivitas gerakan ini. Terlebih, konvoi itu ternyata dilakukan dalam rangka menghadiri halalbihalal.

Sekalipun niat awalnya baik, tetapi konvoi bising GPK justru merusak subtansi kegiatan halalbihalal tersebut karena banyak masyarakat yang terganggu dengan bisingnya knalpot modifikasi. Selain bising, konvoi juga menganggu kelancaran lalu lintas dan membahayakan sesama pengguna jalan. Alih-alih menyambung tali silaturahmi dan mewadahi orang untuk saling memaafkan, acara halalbihalal yang disertai dengan konvoi justru panen sumpah serapah alias pisuhan dari masyarakat yang merasa terganggu.

Baca juga:

Sejarah Konvoi Politik

Kalau melihat sejarah, gerakan massa merupakan kekuatan besar yang dimiliki Indonesia untuk melawan penjajah. Dua di antaranya yang sangat ikonik adalah gerakan Perlawanan 10 November di Surabaya dan Serangan Umum 1 Maret di Yogyakarta. Gerakan massa seperti itu diwariskan ke masa-masa sesudahnya, lalu segera menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kultur politik massa.

Kultur politik massa di Indonesia mulai terlihat sejak kemunculan partai-partai politik pada abad 20. Di mata parpol, massa merupakan kekuatan yang harus diperjuangkan karena bisa dimanfaatkan, salah satunya untuk kampanye. Zaman dulu, cara mengikat massa dikenal dengan istilah vergendering, yakni rapat-rapat umum di lapangan terbuka yang disertai dengan orasi pemimpin partai dan arak-arakan pertunjukan seni budaya.

Di era Orde Baru, kultur gerakan politik massa semakin tertanam. Simpatisan partai Golongan Karya yang waktu itu mendapat dukungan penuh dari pemerintahan Soeharto kerap kali melakukan konvoi jalanan menggunakan kendaraan bermotor. Meskipun konvoi simpatisan Golongan Karya dilakukan secara sembrono, nyatanya aksi mereka selalu mendapat restu dari kepolisian. Hal ini yang di kemudian hari mengilhami simpatisan partai politik lain untuk melakukan aksi serupa.

Seiring dengan perkembangan zaman, gaya berkampanye pun ikut berubah. Meskipun begitu, partai-partai politik di Indonesia masih memanfaatkan kalangan pemuda sebagai basis gerakan massa. Ironisnya, gerakan massa parpol tidak punya imajinasi yang melampaui konvoi kendaraan bermotor yang ugal-ugalan. Alhasil, pesta demokrasi yang semula dirayakan dengan hura-hura kerap berujung huru-hara. Seakan sengaja, pimpinan partai, pemerintah, maupun aparat kepolisian sama-sama kompak untuk pura-pura abai terhadap fenomena ini.

Melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 1 Pasal 30 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara tegas mengategorikan penggunaan motor blombongan saat konvoi di jalan raya sehingga mengganggu masyarakat dengan suara bising sebagai pelanggaran. Tentu kita sudah bisa menebak, semua itu hanya peraturan di atas kertas.

Konvoi ugal-ugalan tidak hanya dilakukan oleh GPK, tetapi hampir semua sayap kepemudaan partai-partai politik melakukannya. Andai saja kita masih hidup di tahun 1.700, konvoi seperti ini mungkin mendapat simpati masyarakat karena dianggap menghibur. Namun, jika dilakukan di tahun 2022, aksi seperti ini tentu akan lebih banyak menuai respons antipati dari masyarakat.

Tong Kosong Nyaring Bunyinya

Nyaris semua hal ada sisi buruk dan baiknya, begitu pun dengan konvoi-konvoi besutan partai politik ini. Sisi baiknya, konvoi ini membuat para pengendara motor bisa melatih keterampilan mencari jalan alternatif, menghindari macet, dan cepat-cepat memutar laju kendaraan bermotor agar tidak terjebak di tengah-tengah rombongan konvoi.

Tak cuma itu, massa parpol yang melakukan konvoi menggunakan knalpot bersuara bising “mengajarkan” para pengguna jalan yang lain untuk bijak menggunakan suaranya. Caleg-caleg yang banyak berkoar-koar seringnya justru ciut ketika masuk di lingkungan pemerintahan, ‘kan?

Baca juga:

Akan lebih baik jika gerakan sayap pemuda partai politik dikemas dalam bentuk pekan raya kreasi pemuda atau workshop kecil-kecilan yang lebih bermanfaat. Jika tidak mampu melakukan keduanya, setidaknya buat acara yang menghibur masyarakat, misalnya main dukun-dukunan seperti Gus Syamsudin atau sulap-sulapan seperti Pesulap Perah.

Cobalah untuk menghadirkan kontestasi politik yang jenaka supaya hawa menjelang pilpres tidak lagi mencekam karena masing-masing faksi getol menebar kebencian dengan mengungkit-ungkit isu SARA. Toh, menunjukkan dukungan melalui konvoi kendaraan bermotor dengan knalpot modifikasi yang suaranya keras tidak menjamin politikus yang didukung akan bersuara sama kerasnya untuk kepentingan rakyat.

 

Editor: Emma Amelia

Nur Khafi Udin
Nur Khafi Udin Warga Universitas Islam Indonesia, Jogjakarta. Suka menghayal dan merenung. Buku: Tafakkur Akademik (2022) dan Melihat Indonesia dari Mata Pemuda (2023)

One Reply to “Semoga Wakilmu Selantang Knalpotmu”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email