Bayangkan Anda tinggal di sebuah kota dengan mobilitas kendaraan bermotor yang sangat tinggi seperti Jakarta dan Jatinangor. Hanya tersedia sedikit, atau bahkan sama sekali tidak ada, pelican crossing dan zebra cross di kota itu. Anda sangat mungkin terserempet motor atau mobil saat menyeberang jalan. Untuk itu, Anda melambai-lambaikan tangan dengan harapan agar pengendara di jalan tersebut mau memelankan laju kendaraannya. Beberapa pengendara berhenti, tetapi ada juga pengendara arogan yang nyelonong lewat seolah jalanan di kota itu adalah milik mereka.
Anda berhasil menyeberang. Tetapi, setelah menyeberang, Anda misuh-misuh karena merasa kota itu tidak aman untuk pejalan kaki. Pisuhan Anda terdengar oleh pemerintah yang lantas membangun Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) agar Anda lebih nyaman ketika menyeberang di lain waktu.
Pemerintah mengatakan bahwa pembangunan JPO itu diperuntukkan bagi pejalan kaki seperti Anda. JPO yang dibangun pun bukan main-main, ia didesain dengan se-instagrammable mungkin dengan bentuk-bentuk yang keren, ikonik, dan khas anak muda. Anda dan warga kota yang lain merasa senang-senang saja karena selain dapat menyeberang dengan nyaman, hasrat untuk tetap eksis juga terpenuhi. Media-media ramai meliput JPO ikonik tersebut dan membingkainya sebagai tanda keberhasilan suatu kebijakan. Anda pun memercayai liputan ini.
Ketika berada di atas JPO yang instagrammable, Anda melihat para pengendara mobil dan motor berkendara semakin kencang. Bahkan, mereka tak lagi was-was berkendara di atas batas kecepatan karena hambatan perjalanan, yakni Anda dan pejalan kaki lainnya, sudah disingkirkan dari area jalan. Lalu, Anda bertanya-tanya, apakah benar JPO dibangun untuk memenuhi kepentingan Anda sebagai pejalan kaki?
Bagaimana Media Membingkai Pemberitaan JPO di Jakarta
Sekitar sebulan yang lalu, JPO bertema kapal pinisi di Jalan Karet Sudirman viral di media massa setelah diresmikan. Ia dianggap sebagai representasi modernitas Jakarta karena fasilitas-fasilitasnya yang cukup lengkap: instagrammable, ada lift, bisa dilewati pesepeda, dan kelompok disabilitas, terhubung ke halte Transjakarta, dan sebagainya. Dalam liputan JPO ‘Kapal Pinisi’ Jadi Primadona Baru Warga Jakarta yang diunggah MetroTV, misalnya, banyak warga yang menanggapinya dengan komentar “luar biasa” atau “senang sekali”. tvOne juga memberitakan JPO ini dengan judul Melirik Keindahan JPO Pinisi Jakarta. Selain dua media tersebut, media nasional lain seperti CNN, Trans7, hingga KompasTV juga memberikan perspektif yang serupa dalam memberitakan JPO-JPO lainnya di Jakarta. Mereka hanya melulu membahas estetika. Esensi utama JPO sebagai bagian dari tata kota dan sarana mobilitas pejalan kaki justru hampir tidak pernah dibahas.
Media-media daring pun tak ketinggalan. Dari dua puluh berita dengan kata kunci “JPO instagrammable” yang rilis Januari 2022 sampai April 2022 di portal media daring seperti Detik, Tribunnews, Merdeka, Sindo, Okezone, hingga Kompas.com, hanya ada dua berita yang membingkai JPO sebagai rencana usang yang tak sejalan dengan perspektif pembangunan kota berkelanjutan sebagai orientasinya, yakni dari JEO Kompas.com dan Detik. Ada pemberitaan di media daring Merdeka yang mengkritisi JPO instagrammable, tetapi hanya mengambil perspektif pemerintah, yakni Gubernur Anies Baswedan, tanpa menautkannya dengan perspektif pembangunan kota berkelanjutan. Sisanya, atau sekitar 85% dari liputan-liputan tersebut, masih membingkai JPO sebagai suatu keberhasilan kebijakan.
Ketahui lebih banyak tentang isu pembangunan kawasan urban:
Perlunya Perspektif Pembangunan Kota Berkelanjutan dalam Pemberitaan
Pada tahun 2020, 56,2% dari total populasi dunia (atau sekitar 4 miliar dari 7,8 miliar orang) tinggal di perkotaan. Padahal, kota-kota di dunia hanya menggunakan 3% lahan dari planet bumi, kota bertanggung jawab atas 60-80 persen penggunaan energi dan paling tidak melepas 70% emisi karbondioksida. Kota Jakarta saja melepaskan 206 juta ton emisi karbondioksida per tahunnya dan hampir 90 persen dari jumlah emisi tersebut berasal dari sektor transportasi. Oleh karena itu, dengan semakin mendesaknya penanganan krisis iklim, pengaturan wilayah kota mesti didasarkan pada pengurangan emisi yang salah satunya adalah membatasi penggunaan kendaraan pribadi dan beralih ke transportasi massal. Akan tetapi, pemerintah lebih memilih untuk terus-menerus membangun JPO yang justru akan semakin memanjakan pengguna kendaraan pribadi.
JPO adalah fasilitas pejalan kaki yang digunakan untuk menyeberang di jalan ramai kendaraan bermotor nan lebar sehingga orang-orang dan lalu lintas kendaraan terpisahkan secara fisik. Pemisahan ini, mengutip Elisa Sutanudjaja dalam artikelnya yang berjudul Tidak, JPO itu bukan untuk pejalan kaki, adalah konsekuensi dari urbanisme modern pada awal abad 19 yang menganggap jalan multifungsi (untuk pejalan kaki, kendaraan, anak-anak, hingga kegiatan masyarakat) sebagai hambatan arus lalu lintas yang cepat. Singkatnya, JPO dibangun agar kendaraan bermotor tidak terganggu oleh aktivitas manusia dan menjadikan jalanan eksklusif milik para pengguna kendaraan bermotor saja (car-oriented policy). JPO juga tidak ramah terhadap kelompok rentan seperti kelompok disabilitas, lansia, anak kecil, dan perempuan.
Namun, media absen memasukkan wacana kritis tersebut ketika memberitakan JPO baru di Jakarta. Dampaknya, publik akan semakin mengamini bahwa solusi penyeberangan yang aman adalah dengan membangun JPO, alih-alih membuat ruang publik seperti jalanan bersifat inklusif bagi semua orang. Di sinilah media mesti andil untuk menautkan setiap kebijakan perencanaan kota, termasuk JPO, dengan perspektif pembangunan kota berkelanjutan.
Pembangunan Kota Berkelanjutan adalah perspektif pembangunan kota yang mengutamakan akses inklusif bagi semua orang dengan biaya lingkungan serendah mungkin. Rencana pembangunan kota sebelumnya seperti pelebaran jalan, penambahan lajur tol, atau penambahan JPO dianggap tidak manusiawi dan hanya mementingkan pengguna kendaraan bermotor saja. Dalam pembangunan kota berkelanjutan, orientasi perencanaan kota adalah pada manusia dan transportasi massal. Salah satu fokusnya adalah pengurangan emisi kendaraan. Mindset pemerintahan Jakarta masih mementingkan kendaraan bermotor dalam rencana pembangunan kotanya. Di awal tahun 2021 kemarin saja, Pemprov DKI Jakarta justru ingin menambah 21 JPO instagrammable. Sulit membayangkan media tidak akan mengambil perspektif yang serupa dengan pemberitaan JPO kapal pinisi.
Neli Triana, seorang jurnalis dan editor Harian Kompas, dalam opininya yang berjudul Jurnalisme Urban untuk 7,9 Miliar Penduduk Bumi berkata bahwa kebanyakan media masih memahami isu urban hanya pada isu kriminal dan kemiskinan, tetapi jarang menyentuh isu kompleks seperti krisis iklim. Ia juga berpendapat bahwa krisis iklim lebih banyak disematkan pada liputan bencana alam dan lemahnya regulasi penanggulan kerusakan lingkungan. Neli Triana menawarkan jurnalisme urban sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan ketimpangan pemberitaan ini.
Jurnalisme urban sebetulnya masih menggunakan prinsip-prinsip dasar jurnalisme secara umum. Hanya saja, ia menambah bobot pada isu pembangunan kota yang berkelanjutan. Meskipun benihnya sudah ada sejak akhir abad 19, jurnalisme urban tergolong istilah yang belum terlalu populer dalam kajian media.
Baca juga:
Bagaimana Media Bisa Berperan
Media punya peran penting untuk mencerdaskan dan ikut mendorong perubahan yang bermanfaat bagi publik. Media juga dapat memengaruhi ketertarikan warga untuk berpartisipasi dalam persoalan-persoalan sosial (Kia, dkk., 2016). Dua media yang cukup konsisten menulis soal isu urban dan krisis iklim adalah The Guardian lewat The Guardian Cities-nya dan Bloomberg lewat Citylab-nya. Hingga kini, tampaknya belum ada media yang memiliki fokus serupa di Indonesia. Beberapa media Indonesia memang pernah meliput persoalan urban, tetapi belum ada media yang membuat rubrik khusus isu urban.
Satu contoh liputan yang mengutamakan perspektif pembangunan berkelanjutan adalah liputan NarasiTV yang berjudul Bangun JPO buat Pejalan Kaki atau Melancarkan Mobil?. Liputan ini menginvestigasi ketidaksesuaian antara orientasi pembangunan Jakarta yang masih bersifat car-oriented dengan ambisi kota ini untuk mengaplikasikan pembangunan kawasan urban yang berkelanjutan (sustainable urban development). Sebagai contoh, integrasi transportasi umum di Jakarta sudah mencapai 80% tidak didukung dengan kampanye perubahan mode transportasi pribadi menuju massal. Ironisnya lagi, Jakarta justru memiliki peraturan undang-undang hingga insentif yang mendukung kepemilikan kendaraan pribadi.
Cara media memberitakan JPO mestinya tidak berhenti pada soal instagrammable atau ikonik belaka. Media perlu membingkai pembangunan JPO dengan mempertimbangkan perspektif pembangunan kota yang berkelanjutan. Dengan cara itu, masyarakat termasuk kelompok-kelompok rentan dapat lebih sadar akan hak-haknya sebagai pejalan kaki sehingga dapat mengambil sikap untuk memperjuangkan pemenuhan hak mereka. Sebab, jalanan adalah milik semua orang, bukan hanya milik mereka yang bermotor atau bermobil.
Referensi
Kia, A.A., Latifi, G., Rasooli, M., & Kazemnia, M.E. (2016). The Role of the Mass Media in Urban Management (Case Study: 22-district of Tehran Municipality). https://dorl.net/dor/20.1001.1.23452870.1395.4.16.8.5
Editor: Emma Amelia