Hanya Ada Satu Kata dan Puisi Lainnya

WD Gafoer

2 min read

Sa, Kita, Ko, Beta… Aku Merah Putih

semula Aku bertanya, siapa Sa, Kita, Ko dan Beta itu?
Sa lihat kilat matahari berpucuk di puncak Jaya nan putih
seorang bocah memerah, memutih, merah putih sekali
tegak-tegak meletakkan mulut senapan di ujung pelipis
saat hutan hujan luruh di dada Mama, Mama terus menyanjung roh-roh dalam temaram gunung
Mama menangis melihat tangan besi mengantar janji darah ke dalam jantung yang memompa Aku
untuk Aku… hanya Aku yang membelu-belai kematian putih jadi suci… begitu anggun
bertahun-tahun merangkai Kita jadi sungkup duri putrimalu, Aku!

aduhai kau yang dipertuan agung, Kita telah gugur—menyatu laksana tanah tumpah darah—
tumpah darah seperti Beta… seperti Beta yang memutih bersalib bulan sabit,
sudah… sudah… sudah Aku kubur ingatan itu supaya sirna segala kelahi
tetapi Ko masih melotot, terus berotot di negara yang masih bingung merunding
mana hitam mana putih, saat kami harus miring di hadapan isi perut, kamus dan sesuap nasi
Siapakah Sa, Kita, Ko dan Beta itu…? senapan meletus, Aku Merah Putih!

Tanah Kami Bahagia!

ketika negara datang meliput lembah hijau tanah kita
pagar-pagar menarik selimut embun yang enggan jatuh

semburat mantra terdengar menguar di mulut putih kepala meja
tanah subur tak menaruh dendam kepada pembaptis pala dan fuli

tetapi musim melempar hangat matahari ke tengah-tengah gubuk kami
dan kau dengar bercak darah sejarah menuntun mulut radio dan televisi

mengatur meja makan, tungku dan tempat lelap lelah kami
tak ada sagu yang mampu membikin kenyang beras, minyak, nikel dan baterai

hanya cemas… esok-esok anak cucu kami makan apa, mungkin tahi
mungkin tahi yang bertanda tangan di bawah ini belum kami mengerti

guru-guru menyulam selimut dari berbukit gunung yang mewangi sari cengkih
menuntun kepak sayap Cala Ibi untuk semesta bahasa yang belum selesai kami tulis

nanar bulan bulat-bulat kami telan ketika pesta Tifa tak lagi ditabuh untuk roh moyang kami
saat ronggeng gelombang ombak membawa bayi-bayi pucat yang bertanya siapa inangnya

tanah berlubang mengulang dosa purba gunung api, menyembur petaka untuk masa depan kami
dan kau lihat negara maju-maju berkukuh kata meliput prahara demi sari-sari perut bumi

Halmahera… yang bertanda tangan di bawah ini
Bahagia tanah kami?

Hanya Ada Satu Kata

I
alangkah baiknya
kau menyerah saja.
kau tahu taring buldoser
kau tahu moncong senjata
kau tahu muslihat negara
manusia dan dilema
di negeri paling bahagia
lampu merah tak berguna
guna-guna telah punah
beratus tahun lamanya
rempah-rempah digiring
ke panggung dunia
oleh pewaris Jalur sutera
benang kusut sejarah
semacam Portugis
semacam Spanyol
semacam Hindia
kini; imperial pasca-pasca
Koloni yang merasuki urat saraf
kepala “bapak-bapak” dan kita

akar pohon sungguh tak berdosa.

II
kau tahu betul warna-warna
merah darah pekat, dari pada
otot dada kekar, berima air mata
punggung tegak menyulam rapat
anyaman yang melingkari rahim-rahim Saloi

Sone O’ hagana manyawa
Birahi nyinga i paka ata
Nage ana…?

leluhurmu menyemai daun dan belukar
tumbuh subur, hijau, lebat. bekal hari tua.
dilindungi Moro, Caka, Coka Iba, segala rupa
Cuka, Minyak, yang kau tukar-tukar
berabad-abad lamanya Halmahera
anak cucumu meronta-ronta
saat mesin-mesin berbahagia
klise-klise bersahaja
bekas luka di tanah kita
racun tikus di media massa
apalah adat
apalah undang-undang
apalah perjuangan
apalah-apalah yang bertanda tangan
di bawah ini tukang perintah
atas nama orang-orang kaya
yang mencuri Tuhan
di kala kau tidur-tidur saja

III
pikirku,
sebaiknya kau lupa saja
sedari dulu
zaman berkala
induk-induk pertikaian
dosa asal itu bernama
kerakusan—
dikalungi sorban
serupa teriakan
‘lonte-lonte’ beterbangan
adalah kemajuan
adalah kesejahteraan

di mulut-mulut berbayar
sepertiku sepertinya
seperti mengantuk
bermalas-malasan
dengan terpaksa
percaya bahwa:
segala-galanya
hanyalah uang—
mengaku-ngaku
segala—
panggung
suara gitar
penghargaan
sertifikat tanah …
badan usaha …
milik siapa?

merdeka!

menurutmu siapa yang salah?
jawabanmu masih sama.
hanya ada satu kata …

****

Editor: Moch Aldy MA

WD Gafoer

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email