Jurnalis dan esais, tinggal di Kota Semarang

Sofisme Masa Kini: Menyulap Kebohongan Menjadi Kebenaran

Athok Mahfud

4 min read

Penyakit akut yang mengunggis jagat intelektual berpangkal dari klaim personal– keyakinan pribadi yang merasa sudah menggapai puncak pengetahuan dan menemukan kebenaran, lantas dengan kepercayaan tinggi menampilkannya di hadapan orang lain. Suatu bentuk kedangkalan yang tidak disadari.

Dalam sejarah filsafat Yunani Klasik, kita dapat menyaksikannya di Athena pada pertengahan abad kelima sebelum tarikh masehi. Pada masa itu bermunculan sekelompok orang yang menyebut dirinya sebagai “intelektual” yang memiliki kecakapan dalam debat dan retorika. Layaknya pertunjukan sulap, para pemuda yang menjadi lawan bicaranya akan terpukau dengan permainan kata-kata dari lidahnya yang licin. Tanpa terlihat di balik itu semua tersembunyi tipu muslihat yang mengabaikan moral dan intelektual. Orang-orang seperti itu disebut sebagai kaum Sofis.

Di tahun 449 SM, di bawah kepemimpinan Perikles, Athena berkembang pesat setelah berhasil mengalahkan kerajaan Persia. Kehidupan masyarakat mengalami kemajuan, termasuk dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan. Sistem demokrasi yang dijalankan negara kota (polis) menuntut para politikus memiliki kecakapan dalam orasi atau berbicara di depan umum guna mengemban jabatan publik.

Di tengah iklim politik, pemuda didesak untuk ikut andil dalam kehidupan politik dan disiapkan menjadi calon pemimpin. Pidato dan retorika menjadi bekal yang wajib dimiliki agar kelak dapat mempengaruhi perhatian publik. Kebutuhan akan bidang tersebut memunculkan orang-orang yang kemudian menawarkan jasa pendidikan. Mereka, kaum Sofis, menjadi pengajar bagi setiap pemuda Athena yang bersedia membayar jasanya.

Sofis datang membawa relativisme kebenaran. Kebohongan mampu disulap menjadi kebenaran. Fakta dan dusta mampu didistorsi dan dibelokkan semudah membalikkan telapak tangan. Bualan yang keluar dari mulutnya mampu meyakinkan orang lain. Dalam berdebat, kebenaran tidaklah penting, melainkan bagaimana meyakinkan dan mengalahkan orang lain dengan argumentasi yang dibangun.

Kata dan suara yang berasal dari lidah Sofis mampu mengetuk dan menggoyahkan keyakinan. Retorika yang dimainkan mampu menghipnotis lawan bicaranya. Segala hal mampu dilogiskan dan dibenarkan sesuai kehendak. Dari setiap ajaran yang diberikan disertai dengan imbalan uang. Sofis menjadikan keterampilan yang dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi yang jauh dari pengetahuan dan kebijaksanaan.

Bentuk kebenaran yang ditawarkan kaum Sofis dianggap Plato telah merusak moral tradisional masyarakat Athena. Sofis selalu merasa tahu segala hal dan mengajarkannya kepada orang lain. Retorika tanpa etika dan pengetahuan berhasil memanipulasi kebenaran dan melumpuhkan akal sehat. Terlebih, orientasi berupa uang bayaran pada prinsipnya telah menodai kesucian filsafat.

Sofisme Hari Ini

Motif dan orientasi Sofisme pada 2450-an tahun lalu dapat kita temukan kembali dalam bentuk lain pada abad 21 di tengah kemajuan teknologi informasi. Terdapat sinkronisitas dari tradisi Sofisme di Athena dengan masyarakat modern lewat internet dan media sosial.

Internet dan media sosial menandai era baru dalam dinamika kehidupan manusia. “Kampung global” dengan keterbukaan informasi menjadikan masyarakat dapat mengaksesnya secara cepat dan praktis. Media sosial memberikan ruang kebebasan bagi setiap orang untuk mengekspresikan opininya di tengah-tengah publik. Konsensus dari hilangnya sekat-sekat ini menghubungkan masyarakat dalam satu dunia di mana semuanya saling terlibat dalam diskursus publik.

Di media sosial, setiap informasi yang tersebar sudah menjadi konsumsi massal. Segala permasalahan sosial dapat ditanggapi dan dikomentari siapa pun melalui akun masing-masing. Entah orang yang meresponnya punya landasan pengetahuan atau tidak, hal ini tidak mampu dibendung. Namun gejala masyarakat kita ketika merespon dan membagikan opininya mengenai suatu fenomena sosial orientasinya ingin mendapatkan simpati dan pujian orang lain. Mengejar eksistensi dan hasrat popularitas diwujudkan dengan konten viral serta banyak pengikut.

Imperium Citra

Bagi Herbert Marcuse, manusia modern hidup dalam imperium citra, di mana simbol menjadi dewa. Popularitas lebih dikejar, dipuja, dan dianggap prestasi daripada intelektualitas. Mata batin dan akal sehat sudah tertutup dengan tren viral, citra visual, dan eksistensi maya sehingga memunculkan kebenaran semu. Hasrat untuk terus update dan dianggap “ada” justru malah semakin membuat keruh dunia informasi.

Karakter masyarakat modern yaitu mudah terpancing dengan informasi yang sedang tren dan viral. Untuk dianggap eksis akhirnya ikut-ikutan merespon topik dan informasi tersebut. Bahkan orang yang tidak punya pengetahuan pun dapat ikut-ikutan berkomentar melalui beranda media sosialnya. Melegitimasikan diri layaknya seorang pengamat dan ahli.

Kebenaran di ruang maya dapat dimanipulasi dengan mudah. Bahkan opini-opini tanpa data yang bersinggungan dengan emosi dan keyakinan personal mampu menundukkan rasionalitas. Terlebih lagi ketika bersumber dari orang-orang yang menjadi publik figur dan punya pengaruh. Munculnya selebgram, YouTuber, influencer, conten creator, yang memiliki popularitas tinggi menandai fenomena baru yang disebut Tom Nichols sebagai “matinya kepakaran”. Orang-orang tanpa pengetahuan dengan platform media sosial telah meredupkan peran para ilmuwan.

Jika kaum Sofis memanipulasi kebenaran dengan retorika dan mengharap imbalan berupa uang, masyarakat modern merasa “tahu” dan turut merespon isu-isu sosial lantaran punya popularitas dan mengharap atensi dan pujian publik. Apabila tidak ikut bersuara di media sosial, dianggap tidak eksis dan kurang update. Mudah tersihir dalam arus narsisme dan keviralan tetapi tidak sampai menyentuh esensi dan realitas terdalam, sehingga menimbulkan logical fallacy dan bias kognitif.

Socrates lewat karya Plato mengingatkan kita tentang bahaya Sofisme. “Dan kita harus berhati-hati, sahabatku, bahwa Sofis, dalam memuji barang dagangannya tidak menipu kita seperti yang dilakukan pedagang dalam menjual makanan. Karena memuji semua barang dagangannya tanpa pandang bulu, tanpa sepengetahuan apa yang benar-benar bermanfaat atau menyakitkan.”

Pentingnya Dialektika

Hingga pada saatnya, Socrates menentang tradisi Sofisme dengan metode dialektika. Ketika retorika hanya menjadikan lawan bicara pasif dan mudah tertipu, maka dengan dialektika kedua objek akan saling berdialog, mengenal satu sama lain, dan mempertemukan masing-masing argumen sampai menemukan kebenaran yang disepakati. Dialektika menjadi bentuk skeptisisme dalam membaca, mengurai, dan membongkar konstruksi wacana dan informasi di media sosial.

Dialektika a la Socrates dapat dijadikan pijakan masyarakat modern abad 21 agar tidak mudah tertipu dengan penampilan dan popularitas orang lain. Memperdalam personaliti objek, menggali latar belakangnya, melacak motif dan orientasinya tampil di depan publik. Layak dipertanyakan pula sedalam apa pengetahuan yang dimiliki dan sudah layakkah orang yang kita anggap “tahu” mengomentari fenomena sosial yang ramai di media sosial. Tidak cepat mengambil kesimpulan atas informasi yang sifatnya masih sebatas fragmen dan harus didialektikakan konteks lainnya.

“Orang yang bijaksana ialah orang yang merasa tidak tahu apa-apa,” begitulah kata Socrates. Artinya, ketika seseorang dengan keyakinan diri sudah merasa tahu, memiliki hasrat ingin populer dan mendapat pujian orang lain, justru akan menjatuhkan dirinya sendiri. Padahal masih berada dalam “terowongan” realitas dan pengetahuan namun sudah merasa puas dengan kemampuannya. Seperti yang terjadi hari-hari ini di media sosial kita.

Kerendahan hati ialah suatu sikap kebijaksanaan manusia dalam berpengetahuan. Sebagaimana ibarat padi, semakin berisi, maka akan semakin menunduk. Begitu pula dengan orang yang memiliki pengetahuan, tidak akan berbicara kalau dirinya tahu, dan tidak mudah bangga atas pencapaian yang diraihnya. Melainkan lebih kepada implementasi lewat sikap dan tindakan yang dilakukan dalam hidupnya. Bukan hanya bualan kata-kata belaka.

Dunia imajiner di media sosial telah mengkonstruksi realitas nyata menjadi simulasi. Identitas seseorang dan kebenaran suatu fenomena masih tersembunyi di balik citra maya. Sementara masyarakat kita seperti tahanan yang terjebak dalam gua dan hanya melihat bayang-bayang di dinding. Tetapi tahanan tersebut meyakini bahwa yang dilihatnya ialah realitas sesungguhnya. Seperti halnya dalam mendapatkan satu informasi di internet namun sudah dianggap sebagai kebenaran yang harus diikuti.

Dengan berdialektika, Plato mengajarkan masyarakat untuk segera melepaskan rantai-rantai yang mengikat dan membelenggu kita selama ini. Lantas keluar dari gua dan mengejar pengetahuan di luar pikiran kita. Tidak terjebak dalam fantasi dan bayangan yang diciptakan sendiri. Mendayagunakan nalar dan indera secara optimal sehingga mampu menemukan kebenaran yang bukan simulasi atau hasil manipulasi.

Barangkali kita patut mengajukan pertanyaan, seberapa seringkah kita mengklaim personaliti, merasa mengetahui dan menguasai suatu bidang, menampilkannya di media sosial, dan merasa bangga atas pujian orang lain? Dan sudah pernahkah kita menguji pengetahuan dan kebenaran yang selama ini kita yakini? Kebenaran dialektis yang bukan berlandaskan klaim personal dan orientasi politis a la Sofisme.

Athok Mahfud
Athok Mahfud Jurnalis dan esais, tinggal di Kota Semarang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email