Serpihan Dandelion
aku serpihan dandelion
kau tanah lapang itu
ruang peristirahatan
dari segala
sedu-sedan-kehidupan
(Lampung, 2021)
–
Sepulang Lembur Ia Lupa Cara Bangun dari Tidur
malam bergegas menuju pagi
tak lagi ada whisky
gelas itu kering dari ilusi
tak tertulis di paragraf akhir hidupnya
sepenggal frasa yang menandakan ia mati bahagia
di sana tertulis: “dengan mulut berbusa
seorang pria tekapar
di sebuah bar pada suatu malam.”
(Lampung, 2022)
–
Taun
jika musim tetap kemarau
entah berapa lembar daun lagi
yang terpaksa gugur
sampai ketika hujan tiba,
ranting-ranting pepohonan telah fasih
berkisah tentang perpisahan
(Lampung, 2020)
–
Domba Padang Gersang
aku ingin sehening Yesus
tatkala perjamuan kudus
aku ingin setabah Maria
di kala penyaliban putranya
meski aku hanyalah domba
padang gersang
tertatih mencari jalan
pulang ke bukit golgota
(Lampung, 2021)
–
Memorabilia
yang tersisa darimu
dalam diriku hanyalah
sekumpulan kata-kata
yang tiap hurufnya membawaku
ke masa ketika kau bagi
kesejukan gubuk kecilmu
padaku yang kelelahan
di tengah perjalanan panjang
mencari tempat untuk pulang
di kepalaku kini
kata-kata itu terus berlari
melompat ke sana ke mari
dan berteriak
tetapi hanya suara, senyum,
serta baumu yang mereka elukan
selayak keluguan anak laki-laki
yang baru mengenal cinta
lewat belaian tangan ibundanya
kurapikan kata-kata di kepalaku
yang terasa makin bising itu
menjadi sepotong larik
menjadi sepenggal bait
menjadi sebuah puisi
menjadi dirimu
mungkin memang sudah
jadi sifat asal kehidupan,
segalanya bukan milik diri kita
lewat doa dan puisi yang barangkali
tak akan pernah terbaca olehmu
kuiklaskan kau
seperti melepas seekor burung dara
terbang memilih takdirnya
(Lampung, 2022)
*****
Editor: Moch Aldy MA