Ketika ratusan aparat (bahkan ada warga yang menyebut ribuan) bersenjata lengkap mengepung warga Wadas yang sedang melakukan mujahadat (usaha menahan hawa nafsu) di masjid dan beberapa di antaranya lantas ditangkap, dibawa ke kantor polisi, kenapa masih banyak orang mengatakan bahwa itu bukan ditangkap? Ada yang bilang itu hanya “diamankan”, “diperiksa”, “dimintai keterangan”, bahkan kemudian polisi mengunggah video rekaman warga yang sedang main biliar bersama polisi di kantor polisi. Polisi, pejabat, barisan pendengung dan pendukung pertambangan batu andesit di Wadas bekerja keras untuk mengubur kata “ditangkap”.
Baca tentang Wadas:
Kita mesti tegas menggunakan “ditangkap” untuk maksud menahan seseorang yang dilakukan polisi. Apalagi diperkuat fakta-fakta yang telah benderang. Bukan “diamankan”. “Mengamankan”, dalam konteks peristiwa hukum, lebih kepada menyelamatkan seseorang dari mara bahaya. Misalnya, mengamankan pelaku tabrak lari dari amukan massa.
Tapi, dalam istilah kepolisian, mereka hampir selalu memakai diksi “mengamankan”, alih-alih “menangkap” atau “menahan”. Lihatlah contoh ini: “Aparat mengamankan masyarakat yang membawa sajam dan parang, kemudian dibawa ke Polsek Bener.” Keterangan itu disampaikan oleh Kabidhumas Polda Jawa Tengah Komisaris Besar Iqbal Alqudusy.
Dan, istilah ini juga telah dimasukkan ke dalam lema KBBI, tapi pada urutan keenam (artinya memang baru dibakukan belakangan): menahan orang yang melanggar hukum demi keamanan umum dan keamanan orang itu dari kemungkinan tindakan main hakim sendiri. Tapi, apakah warga Wadas yang ditangkap itu telah melanggar hukum? Apakah pula ada kemungkinan mereka bakal dihakimi massa? Akal sehat sudah pasti tahu jawabannya.
Karena itu, kata “mengamankan”, khususnya dalam tragedi Wadas, tak lain merupakan pola eufemisme yang berujung pada manipulasi kebenaran.
Manipulasi-manipulasi kebenaran jahatnya minta ampun. Sebab, orang yang lebih berkuasa akan melakukan tindakan semena-mena. Dominasi seperti ini, menurut pakar etika dan filsafat Haryatmoko, memang tidak selalu bermaujud dalam bentuk praktik penjajahan kasatmata secara fisik dan terlihat oleh mata telanjang. Ia juga hadir melalui manipulasi-manipulasi tersembunyi yang tidak mudah terlihat. Salah satunya lewat bahasa-bahasa manipulatif.
Adapun menurut Tri Guntur Narwaya dalam buku Logika, Bahasa, dan Modus Kuasa, manipulasi kebenaran itu dilakukan dengan sengaja. Berbagai wacana yang terkesan positif diproduksi, bahkan berulang-ulang, demi siasat melancarkan pembangunan serta melanggengkan kekuasaan yang asimetris (tidak adil/seimbang).
Baca juga: Bertutur Melalui Kuasa
Di sisi lain, bukannya meredam gejolak yang terjadi, pemerintah malah menyulut api di padang ilalang. Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, dengan enteng menilai banyak narasi tentang penangkapan paksa aparat kepada warga: “Sekarang ini banyak sekali medsos yang seakan-akan ada orang diangkut dari rumahnya. Itu sudah kita cek semua, tidak ada.”
Padahal, faktanya tidak demikian. Dalam sebuah rekaman video amatir, seorang warga bernama Hadi ditangkap beberapa orang yang berpakaian preman. Dia berteriak-teriak meminta tolong dan sempat terjatuh. Terdengar teriakan yang ditujukan kepada Hadi agar diam. Tangannya tampak diikat. Seorang anggota kepolisian yang memakai seragam lantas membujuk Hadi. ”Ikut saja ya, nanti bicara di sana ya,” tuturnya (Jawa Pos, 10/2/2022).
Tak berhenti sampai di situ. Dalam keterangan berikutnya, sang Menteri malah terkesan menyudutkan warga. “Kenapa ada seperti itu? Ada orang ribut di lapangan ketika mau diamankan agar tidak ribut lari ke rumah penduduk, ya diangkut dari rumah penduduk. Itu bukan dipaksa pergi dari rumahnya, tapi diangkut karena dia lari ke rumah penduduk,” kata mantan ketua MK tersebut.
Belakangan memang sikap Mahfud MD yang kompromis cukup bertolak belakang dengan sikapnya di masa lalu. Dulu, sebelum masuk pusaran pemerintah, Mahfud cukup jeli dan kritis kalau berbicara ihwal demokrasi. Tapi wajar saja, jika sudah masuk gerbong pemerintahan, seseorang memang cenderung berbicara dan bersikap sebisa mungkin agar tidak merugikan institusi yang menaunginya.
Untuk mengakui kesalahan pun, bahasa-bahasa diplomatis manipulatif masih saja dijadikan senjata. Lihatlah betapa ragu-ragunya (untuk tidak menyebut hati-hati) sang Menteri mengungkapkan kesalahan: “Bahwa di dalam kerumunan seperti itu mungkin saja terpaksa ada tindakan-tindakan yang agak tegas, itu mungkin tidak bisa dihindarkan.
Kata “mungkin”, “mungkin saja”, “agak”, “tidak bisa dihindarkan” tak lain diucapkan agar masyarakat ragu-ragu apakah itu benar-benar terjadi atau tidak. Sekaligus memanipulasi agar orang memaklumi tindakan represif aparat.
Itu pun masih harus diikuti pengingkaran lagi yang justru menggunakan istilah-istilah lebih tegas: “Tapi tidak ada satu pun letusan senjata, tidak ada satu pun orang menjadi korban. Silakan cek ke kantor polisi, cek ke Desa Wadas, cek rumah sakit, silakan.” Istilah “pun” didayagunakan untuk meyakinkan masyarakat bahwa peristiwa itu tidak pernah terjadi sama sekali.
Klarifikasi-klarifikasi polisi maupun menteri seperti itu justru kian menampakkan bahwa posisi mereka sebagai ordinat dan rakyat subordinat. Perilaku semacam itu, memang lazim dipakai oleh mereka yang memiliki kapasitas dan sumber daya kekuatan yang mampu membangun berbagai jenis diskursus atau propaganda untuk mengalahkan pihak lain. Dan, dominasi seperti itu tidak hanya terjadi di dunia politik, tapi juga bisa karena motif ekonomi seperti yang menimpa warga Wadas ini.
Tujuan manipulasi kebenaran memang supaya masyarakat, khalayak, atau siapa pun itu yang menjadi sasaran diarahkan untuk menerimanya sebagai kenyataan yang sebenar-benarnya. Pada akhirnya, dominasi semacam ini hanya akan menghasilkan diskriminasi, kekerasan, dan ketidakadilan. Begitulah memang cara kerja politik bahasa. (*)