Penggemar kretek, mengurus blog pribadi pojokbebal.wordpress.com di waktu senggang.

Bapak-Bapak Freudian

Faisal Akbar

2 min read

Dalam beberapa waktu belakangan, banyak konten video yang menyajikan kelakuan bapak-bapak muda dalam rumah tangga. Unggahan-unggahan di berbagai platform seperti Instagram dan TikTok memperlihatkan lucunya tingkah para suami ini.

Konten tersebut lantas mengundang beragam komentar dari khalayak. Engagement-nya tergolong tinggi. Pundi-pundi uang pun diraup para content creator­-nya. Siapa yang bisa menebak model konten seperti ini bakal laku di pasaran 5-10 tahun lalu?

Secara terminologis, bapak-bapak cenderung dikaitkan dengan status seorang lelaki yang sudah menikah. Levelnya biasanya meningkat ketika mereka sudah dikaruniai anak. Namun, bagaimanapun, tidak ada yang dapat memastikan tingkatannya.

Belum setahun mengarungi pernikahan, saya harus bertekuk lutut dan mengakui fakta bahwa bapak-bapak itu memang memiliki dunianya sendiri. Awalnya saya denial, tapi lambat laun saya terjerumus juga.

Gejalanya dimulai dengan lelucon ala bapak-bapak atau dad jokes yang sering saya keluarkan di depan istri. Kemudian, dilanjutkan dengan aksi mencuci motor dan menyiram tanaman sambil bengong. Di atas itu semua, ada satu kegiatan yang sampai sekarang masih menghantui pikiran saya: mengapa bapak-bapak suka mengobrol dengan tetangga sambil berdiri di depan rumah? Meski terkesan dramatis, memang begitulah adanya.

Sebenarnya, berbagai perkara ini saya temui sejak lama, tapi baru memikat ketika saya pulang dari masjid. Di suatu sudut kompleks perumahan, saya mendapati gerombolan bapak-bapak yang asyik mengobrol dengan tangan yang dilipat. Lima menit, 15 menit, bahkan setengah jam bisa dilewati secara cuma-cuma. Tak heran, beberapa suami mulai dihampiri istrinya masing-masing lantaran tidak membawa HP untuk dihubungi.

Baca juga:

Defense Mechanisms

Pakar psikoanalisis, Sigmund Freud mengatakan bahwa manusia, khususnya laki-laki, mempunyai kecenderungan untuk menciptakan konflik antara realitas dan keinginan di dalam alam bawah sadarnya. Hal ini nantinya bakal menimbulkan rasa cemas.

Untuk mengatasi hal ini, jelas Freud, alam bawah sadar (subconscious) perlu melakukan sebuah mekanisme untuk menghilangkan rasa cemas tersebut. Inilah yang dinamakan defense mechanisms.

Secara umum, defense mechanisms atau mekanisme pertahanan ego diartikan sebagai strategi psikologis yang dilakukan seseorang, sekelompok orang, atau bahkan suatu bangsa guna menghadapi kenyataan dan mempertahankan self image (jati diri). Mekanisme ini meliputi projection, sublimation, repression, rationalization, compensation, displacement, withdrawal, sympathy, dan lain-lain. Menurut Freud, ego adalah aspek kepribadian yang berhubungan dengan realitas. Saat melakukan mekanisme ini, ego juga harus menghadapi tuntutan yang saling bertentangan antara id dan superego.

Id didefinisikan sebagai bagian dari kepribadian yang berusaha memenuhi semua keinginan, kebutuhan, dan dorongan hati. Id adalah bagian paling mendasar dari kepribadian manusia dan tidak mempertimbangkan hal-hal seperti kesesuaian sosial, moralitas, atau bahkan realitas pemenuhan keinginan dan kebutuhan kita.

Sementara itu, superego merupakan bagian dari kepribadian yang mencoba membuat ego bertindak secara idealis dan bermoral. Superego ini terdiri dari semua moral dan nilai yang kita peroleh dari orangtua kita, anggota keluarga, pengaruh agama, dan masyarakat secara keseluruhan.

Sejatinya, cara paling alami dari defense mechanisms untuk manusia adalah dengan menangis. Namun, masalahnya, menangis itu terkadang tampak sulit dan tidak semua orang mampu melakukannya. Oleh sebab itu, manusia lantas membutuhkan medium atau wadah luar yang dapat menciptakan realitas palsu di kepala seperti nongkrong, main game, dan aktivitas lainnya—semacam manipulasi.

Realitas palsu yang dihasilkan oleh produk-produk ini akan menciptakan ketenangan sementara. Berikutnya, realitas palsu tersebut akan membuat timbangan realitas dan keinginan kembali seimbang, lalu rasa cemas pun lenyap. Meski sifatnya hanya sementara, itu lebih baik ketimbang tidak sama sekali, bukan?

Sederhananya, tidak ada yang menakjubkan terkait fenomena bapak-bapak yang gemar bercengkerama ini. Dengan beragam masalah yang muncul di kepala, mental harus tetap dijaga demi keharmonisan rumah tangga.

Patut diingat bahwa budaya basa-basi tak dimonopoli kalangan ibu-ibu saja. Apabila diperhatikan dengan saksama, tak sedikit bapak-bapak yang berkelakar usai membeli nasi uduk di pinggir jalan.

Saat rasa jenuh menjalar, para bapak tak segan-segan untuk menerapkan mekanisme ini sembari mempererat tali silaturahmi, bersikap tenggang rasa, dan mengakrabkan diri di lingkungan sekitar. Kalau rokok sudah dibakar, biasanya mulut akan komat-kamit dan tema pembicaraan pun akan melebar, mulai dari soal politik, ekonomi, karier, sampai otomotif. Keluhan soal harga bahan pokok atau biaya sekolah anak yang terus melonjak pun tak luput dari topik utama.

Toh, interaksi ini pada dasarnya bersifat natural dan dipandang sebagai cara normal manusia dalam mengatasi masalah sehari-hari dari ancaman eksternal. Tidak kurang, tidak lebih. Jadi, jangan heran lagi ketika Anda kerap memergoki bapak-bapak yang doyan ngopi di warkop, mancing, main burung, mengotak-atik amplifier meski tak memiliki keahlian, atau menonton Netflix semalaman.

Perlu dicatat, aneka aktivitas ini tidak terbatas pada umur tertentu. Bahkan, Jeff Bezos dan Bill Gates pun tidak sungkan untuk berterus terang bahwa mereka merasa tenteram ketika mencuci piring setiap malam.

Sebagai penutup, saya bagikan satu tebak-tebakan. Gubuk, gubuk apa yang romantis? Jawabannya, gubuk-tikan bahwa aku mencintaimu! Hmm, apakah Anda familiar dengan kelakar ini? Jika iya, mohon bersabar dan berbahagialah.

 

Editor: Emma Amelia

Faisal Akbar
Faisal Akbar Penggemar kretek, mengurus blog pribadi pojokbebal.wordpress.com di waktu senggang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email