Di tengah periode debat Pilpres 2024 ini perhatian masyarakat Indonesia tertuju pada tiga pasang kandidat capres-cawapres. Media ramai-ramai mengulas segala aspek kandidat, mulai dari program kerja sampai kehidupan pribadinya. Namun, saya justru tertarik pada big match yang terjadi di pinggiran. Di sisi lapangan yang kurang disorot, rupanya sedang terjadi derby della capitale dari dua orang yang sedang dan pernah menjabat sebagai Kepala BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), yaitu antara Bahlil Lahadalia dan Thomas Trikasih Lembong.
Pak Bahlil yang kini juga menjabat sebagai Menteri Investasi telah menyatakan dukungannya kepada Prabowo-Gibran. Sementara Pak Thomas Lembong adalah co-captain timnas Anies-Cak Imin.
Head to head dua orang ini menarik karena dua hal. Pertama, karena dua-duanya sama-sama andalan Presiden Jokowi di bidang pengelolaan investasi. Pak Tom menjabat Kepala BKPM periode 2016-2019, kemudian digantikan oleh Pak Bahlil pada 2019 sampai sekarang.
Alasan kedua, Pak Tom dan Pak Bahlil sudah mulai saling jual-beli serangan di media. Maklum, posisi mereka memang kini berseberangan. Pak Tom di Koalisi Perubahan rajin melontarkan kritik. Sebaliknya, Pak Bahlil membela pemerintahan sekarang.
Baca juga:
Di sini saya hendak melakukan analisis ala pundit dari duel antara dua orang yang pernah menguasai kantor di Jl. Gatot Subroto No. 44 ini. Analisis ini tidak akademik dan terancam dianggap kelas bengkoang oleh Coach Justin. Namun, di alam demokratis, di mana ternyata capres boleh merespons dengan, “Ndasmu etik!” pada pertanyaan soal etika, tentu analisis ini sah saja dilakukan.
Pertama, soal latar belakang pendidikan dan karier. Thomas Lembong tak terbantahkan punya riwayat yang kinclong. Beliau menempuh SD di Jerman, SMA di Boston, Amerika Serikat, dan kuliah di Universitas Harvard. Jejak kariernya merentang di luar negeri, mulai dari Morgan Stanley, Deutsche Securities, hingga akhirnya jadi pejabat di BPPN dan BKPM. Sementara itu, Pak Bahlil menempuh pendidikannya di tingkat daerah, dan kariernya dirintis sendiri. Skor 1-0 untuk Pak Tom.
Namun, Pak Bahlil rupanya langsung bisa menyamakan skor. Walaupun pendidikan formal kalah mentereng, tetapi perjalanan hidupnya dari bawah hingga jadi bagian dari elite ibukota sungguh mengesankan. Ia mengenyam pendidikan dasar hingga lulus perguruan tinggi di Maluku dan Papua. Pekerjaan menjual kue, menjadi kondektur bus, hingga menjadi sopir angkot pernah dilaluinya sejak remaja. Setelah itu ia berjibaku membangun bisnisnya sendiri hingga menjadi pengusaha disegani. Hingga akhirnya ia masuk ke kabinet Jokowi jilid II. Mobilitas vertikal Pak Bahlil ini lebih keren daripada perjalanan Pak Tom yang jelas selalu berada di lingkungan berprivilese. Skor 1-1.
Pak Tom Lembong dikenal selalu berpenampilan elegan dan juga berwibawa dengan suara beratnya. Beliau juga fasih berbahasa Inggris sehingga mudah menarik perhatian investor dunia. Namun, faktanya dunia investasi di Indonesia ini lebih cocok dipimpin orang tipe lapangan seperti Pak Bahlil. Hal ini karena mempromosikan peluang investasi di Indonesia itu sebenarnya tidak susah-susah amat. Potensi SDA dan SDM-nya sangat besar. Tetapi begitu investor mau masuk, ternyata situasi birokrasi dan politiknya hancur-hancuran. Pak Bahlil dengan gayanya yang blak-blakan (galak) terbukti lebih bisa mengawal realisasi investasi. Kepala daerah bahkan anggota DPR yang menantang pun siap diladeni oleh beliau. Karakter seperti ini lebih cocok mengurusi investasi di Indonesia. Skor 1-2.
Profil Pak Bahlil juga lebih pas di jabatan saat ini karena pengalamannya di sektor riil. Ini berbeda dengan Pak Tom yang background aslinya di sektor finansial. Pergulatan di sektor riil lebih berkeringat dan kompleks, cocok dengan lini tugas Kementerian Investasi/BKPM yang menangani penanaman modal langsung (direct investment). Terbukti Pak Bahlil berhasil melampaui target kerja. Survei di Juli 2023 oleh Indikator Politik Indonesia juga menyatakan Pak Bahlil mendapat tingkat kepuasan masyarakat lebih dari 80%. Untuk itu skor 1-3 bagi Pak Bahlil.
Setidaknya ada dua isu yang dilempar dalam perdebatan terkini antara dua sosok ini, yaitu hilirisasi dan IKN. Pak Tom menawarkan alternatif industri padat karya dan mengevaluasi IKN. Pak Bahlil menimpalinya dengan sindiran-sindiran lugas. Susah menyimpulkan mana yang menang dalam perang kata-kata ini karena aspek politis lebih mendominasi ketimbang pemaparan fakta. Skor tetap 1-3.
Masalah Pak Bahlil justru muncul dari aksi-aksinya yang kerap melantur dari tugas sebagai menteri. Filippo Inzaghi pun mungkin minder melihat Pak Bahlil sering offside. Yang terparah, bisa-bisanya seorang menteri investasi bermanuver mewacanakan penundaan pemilu dan presiden tiga periode. Cinta pada atasan boleh-boleh saja, tapi tak usah sebegininya, lah.
Baca juga:
Kita harus menghormati konsistensi konstitusi dan proses demokrasi di atas kepentingan investor. Tentu saja investor maunya semua tidak berubah, termasuk siapa yang berkuasa, supaya hitung-hitungan mereka bisa masuk. Kalau menuruti kemauan bisnis, jelas mereka maunya presiden Indonesia tidak berubah sampai kiamat. Tetapi kita perlu ingat juga, ‘I’ dalam NKRI itu maksudnya Indonesia, bukan Investor. Pemilu lima tahunan adalah kesempatan rakyat mengevaluasi dan mengoreksi kebijakan pemerintah yang mereka beri mandat. Jangan dijegal, dong, Pak.
Rakyat tentu berhak mengevaluasi saat pemerintah nyatanya sering membingungkan. Tadinya bilang IKN tidak pakai APBN, tahu-tahu menyedot triliunan anggaran negara. Tadinya sesumbar investor asing pada antre, tahunya presiden mengakui belum ada satu pun yang realisasi. Menurut laporan Kompas pada Juli 2023, hilirisasi nikel, yang jadi andalan Pak Bahlil di Sulawesi dan Maluku Utara belum berdampak pada masyarakat sekitar. Malahan, tingkat kemiskinan dan ketimpangan ekonomi naik. Lingkungan sekitar rusak sehingga mematikan lahan nafkah penduduk. Terakhir, Bappenas mengakui pada pertengahan tahun ini di skala nasional malah terjadi gejala deindustrialisasi.
Maka, Pak Bahlil perlu dapat penalti pengurangan skor satu poin, walaupun masih memimpin 1-2.
Sang lawan sebetulnya juga berkomentar di luar wilayah kompetensinya. Namun, komentar Thomas Lembong soal keprihatiannya pada pelemahan KPK, seperti yang diutarakannya di Info A1 Kumparan bulan ini, justru sangat tepat dalam konteks masalah investasi di Indonesia. Investor yang berkualitas senang pada kepastian hukum dan efektivitas penegakannya. Perilaku koruptif seperti pungli dan mafia hukum membuat mereka tekor dan tidak tertarik dengan Indonesia. Dengan demikian, seharusnya pemberantasan korupsi menjadi agenda utama. Namun KPK sebagai institusi penegakan anti-korupsi saat ini malah dibiarkan kehilangan kredibilitasnya. Indeks Persepsi Korupsi justru merosot. Ini kritik yang jitu sekali. Maka, Pak Tom layak menyamakan kedudukan menjadi 2-2.
Skor imbang akhirnya bertahan hingga peluit panjang ditiup. Pemenangnya memang akan ditentukan nanti saat pencoblosan. Ide siapakah yang dibeli oleh masyarakat? Apakah pasangan yang didukung Bahlil Lahadalia memenangkan kontestasi, atau timnya Thomas Lembong yang merebut kekuasaan, atau malah pilihan ketiga?
Penonton boleh tahan napas menanti siapa yang berada di gerbong pemenang, tetapi tak perlu lama-lama juga. Jumlah orang menganggur menurut BPS masih tujuh juta, dan yang miskin 25 juta. Kalangan menengah sejumlah 60 juta orang pun hidupnya kembang-kempis di tengah biaya hidup yang merangkak. Baik Bahlil Lahadalia, Thomas Lembong dan jagoan mereka masing-masing tak mungkin juga memberi solusi buat semua. Seusai sebentar mengamati hiruk pikuk duel bos pengoordinasi investasi ini, saya kira memang sebaiknya kita kembali fokus berjuang cari nasi. Pada ujungnya biasanya, rakyat terpaksa berjuang sendiri.
Editor: Prihandini N