Jalanan Tetangga Lebih Hijau: Menengok Elektrifikasi Kendaraan di Indonesia, Malaysia, dan Thailand

Reno Eza Mahendra

3 min read

Indonesia menerapkan kebijakan subsidi pembelian untuk meningkatkan kepemilikan kendaraan yang ditenagai energi listrik. Kebijakan ini diterapkan dalam rangka transisi energi dari bahan bakar fosil ke bahan bakar listrik yang diklaim lebih hemat dan ramah lingkungan.

Kebijakan tersebut ialah Peraturan Menteri Perindustrian No. 6 Tahun 2023 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Pemerintah untuk Pembelian Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Roda Dua. Dalam Permenperin 6/2023, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perindustrian menyediakan anggaran sebesar Rp350 miliar untuk mensubsidi pembelian kendaraan listrik.

Subsidi kendaraan listrik tersebut masih terbatas pada pembelian motor listrik dengan spesifikasi standar yang telah beredar luas di masyarakat. Selain itu, regulasi tersebut juga mengatur kriteria penerima bantuan subsidi, yakni warga dengan nomor induk kependudukan yang terdaftar sebagai penerima manfaat kredit usaha rakyat, bantuan produktif usaha mikro, bantuan subsidi upah, atau penerima subsidi listrik sampai dengan 900 VA.

Nantinya, warga yang terkualifikasi akan menerima subsidi pembelian hingga Rp7 juta per unit motor listrik. Misalkan harga asli sebesar Rp28 juta, maka akan menjadi Rp 21 juta setelah disubsidi. Harga motor listrik yang beredar di pasar Indonesia tergolong variatif. Program yang telah berjalan sejak Maret 2023 ini memiliki 25 model motor listrik yang pembeliannya disubsidi oleh pemerintah. Harga asli motor listrik Rp28 juta tadi mengacu pada harga motor listrik merk Gesits tipe G1.

Baca juga:

Namun, kebijakan subsidi motor listrik ternyata tidak berjalan lancar, bahkan dapat dikatakan gagal. Pasalnya, dari 200.000 kuota subsidi yang diberikan oleh pemerintah, per 9 Agustus 2023 hanya terdapat 1.355 pendaftar, 75 terverifikasi, dan 225 tersalurkan. Data ini diperoleh dari Sisapira (Sistem Informasi Bantuan Pembelian Kendaraan Bermotor Listrik Roda Dua), sebuah platform digital yang menjadi pusat informasi mengenai pemberian subsidi motor listrik.

Merespons situasi ini, Kemenperin akan merevisi regulasi subsidi kendaraan listrik tersebut. Nantinya, target subsidi pembelian motor listrik akan diperluas dari yang semula hanya masyarakat yang memenuhi kriteria menjadi bagi siapa saja. Kemudian, dalam wacana revisi regulasi tersebut, akan diterapkan 1 KTP untuk 1 unit motor untuk menghindari kecurangan berupa pembelian grosir. 

Kebijakan Elektrifikasi Kendaraan di Thailand dan Malaysia 

Misi pemerintah Indonesia untuk melaksanakan transisi energi dan pengurangan emisi karbon ini perlu dilihat dalam kerangka yang lebih luas, yakni persaingan regional. Sebagaimana yang dikatakan oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM), Bahlil Lahadalia, jikalau pemerintah tidak segera membahas regulasi dan insentif, maka Indonesia akan tertinggal dari negara tetangga, yakni Thailand dan Malaysia. 

Untuk itu, perlu mengetahui perbandingan kebijakan elektrifikasi kendaraan di tiga negara Asia Tenggara tersebut, yakni Indonesia, Thailand, dan Malaysia. Dalam konteks ini, patut dipertanyakan apakah pengambilan keputusan pemerintah Indonesia untuk melakukan revisi subsidi kendaraan listrik merupakan hal yang tepat. 

Pada tahun 2022, Thailand berhasil menjual 51.000 unit kendaraan listrik, lima kali lipat lebih besar dibandingkan Indonesia yang hanya menjual sekitar 10.000 unit. Sementara itu, penjualan kendaraan listrik di Malaysia baru mencapai 3.000 unit pada tahun yang sama. 

Sebagai penguasa pasar kendaraan listrik di Asia Tenggara, Thailand dinilai telah memiliki kebijakan strategis yang jelas untuk meningkatkan produksi industri kendaraan listrik berbasis baterai (BEV). Kebijakan tersebut meliputi penerapan insentif BEV dengan pembebasan pajak impor suku cadang utama dan penebusan pajak cukai yang mendasari hubungan panjang dengan pabrikan mobil Jepang sekaligus menarik pemain baru Tiongkok untuk bermunculan di pasar kendaraan kelas menengah.

Malaysia tidak boleh dilupakan dalam persaingan. Meskipun memiliki ukuran industri kendaraan domestik dan tingkat penjualan kendaraan listrik yang relatif lebih kecil dibandingkan Thailand dan Indonesia, Malaysia memiliki keunggulan dalam segi teknologi digital. Jika Thailand fokus kebijakan adalah untuk menjadi pusat produksi regional kendaraan listrik dan komponennya, Malaysia berpeluang menjadi pusat pemeliharaan, perbaikan, dan dukungan pelanggan kendaraan listrik di tingkat regional. Hal ini dapat dilakukan melalui penyediaan platform dan layanan perangkat lunak seperti aplikasi layanan pengisian daya, kontrol pengisian daya yang optimal, platform berbagi tumpangan, dan penilaian baterai. 

Indonesia sudah selayaknya melakukan introspeksi diri dalam hal realisasi kebijakan kendaraan listrik. Kekayaan mineral berharga seperti nikel dan kobalt merupakan kekuatan mendasar negara ini dalam melakukan transformasi energi dan mitigasi perubahan iklim. 

Sayangnya, selain sebuah perusahaan produksi baterai yang baru saja didirikan sebagai penyerapan investasi, Indonesia masih belum mampu memaksimalkan peluang dan keunggulan yang ia miliki. Dengan sumber daya alam yang melimpah, kebijakan investasi BEV belum optimal jika dibandingkan dengan Thailand. Dari segi kebijakan investasi, Thailand telah berhasil menarik US$2,2 miliar dari sejumlah besar industri EV asal Tiongkok berkat pembebasan tarif pajak perusahaan hingga 20% selama 3-8 tahun dan potongan pajak 50% untuk produksi suku cadang sampai lima tahun ke depan. 

Kesiapan Infrastruktur Penunjang

Meskipun telah memiliki kebijakan yang berpotensi untuk mengakselerasi transisi dari kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik, tetapi masih terdapat catatan yang harus diperhatikan pemerintah untuk mendukung transisi kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik.

Pemerintah Indonesia menarget meninggalkan penjualan sepeda motor berbahan bakar fosil pada 2040 dan kendaraan yang menggunakan sistem pembakaran internal pada 2050. Namun, per hari ini, jumlah kendaraan listrik yang ditargetkan oleh pemerintah Indonesia tidak sepadan dengan ketersediaan infrastruktur pendukung kendaraan listrik seperti stasiun pengisi baterai dan stasiun penukaran baterai yang ada.

Per April 2023, terdapat sekitar 842 Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum atau SPKLU yang tersebar di 388 lokasi di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut terdiri dari 5 kategori stasiun yang dibedakan berdasarkan kecepatan pengisian, yakni daya sangat cepat (32 unit), daya cepat (91 unit), daya medium (267 unit), daya lambat-medium (162 unit), dan daya lambat (290 unit). Jumlah tersebut masih terpaut jauh dari target pemerintah yang tercantum dalam Peraturan Kementerian ESDM No. 13 Tahun 2020, yakni 1.030 unit untuk tahun 2023.

Selain permasalahan pada jumlah, terdapat problem pada aspek pemerataan pula. Penyebaran SPKLU di Indonesia masih terpusat di Jawa dan Bali, dengan tingkat ketersediaan sebesar 88,1% dari total SPKLU di seluruh Indonesia. Selain menghadapi permasalahan minimnya ketersediaan infrastruktur penunjang kendaraan listrik, Indonesia juga memiliki permasalahan pada aspek kesenjangan infrastruktur penunjang kendaraan listrik.

Di Thailand, pembangunan infrastruktur penunjang kendaraan listrik dapat dibilang lebih baik daripada di Indonesia. Terhitung sejak 2015 hingga 2021, jumlah stasiun pengisian baterai kendaraan listrik meningkat sebanyak 1.511 stasiun daya normal dan 774 stasiun daya cepat. Peningkatan ini dimungkinkan oleh dukungan pemerintah dan perusahaan start-up yang berfokus pada pembangunan stasiun pengisian baterai kendaraan listrik.

Per Maret 2023 jumlah yang telah disebutkan sebelumnya telah meningkat secara signifikan hingga sebanyak 2.572 stasiun pengisian kendaraan listrik yang tersebar di seluruh Thailand. Berlimpahnya jumlah stasiun pengisian baterai kendaraan listrik ini membuat Thailand dikategorikan sebagai emerging EV market dalam indeks Global Electricity Mobility Readiness Index (GEMRIX), jauh di atas Indonesia. Selain ketersediaan stasiun pengisian daya, indeks tersebut juga mempertimbangkan variabel kesiapan konsumen, kesiapan infrastruktur pendukung, dan kesiapan pemerintah dalam penilaiannya.

 

Editor: Emma Amelia

Reno Eza Mahendra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email