Ibu dua anak, merdeka, dan berbahagia

Apa Kau Kini Mengerti Mengapa Aku Setenang Ini?

Katarina Retno Triwidayati

3 min read

Dia menghentikan kegiatan mengelupasi poster yang menempel di wajahnya. Dia mengerjapkan sebelah mata. Aku tidak tersinggung sebab matanya yang sebelah masih tertutup poster wajahku. Lihat betapa lucunya! Aku seperti melihat diriku sendiri mengedipkan sebelah mata. Amboi, genit sekali!

Aku menatapnya dengan tatapan yang kuharap tampak sendu. Kau pasti tahu trik ini akan membuatnya menghela napas dan tidak melanjutkan pertengkaran. “Tolong jangan begitu, maafkan aku, ya? Aku tidak bermaksud demikian.”

Nah, benar kan? Dia luluh dengan strategi usang yang sering kugunakan. Namun, aku tak boleh cepat menurunkan tensi perang urat syaraf ini. Aku tahu persis ini belum waktunya.

“Maafkan aku,” kataku dengan suara lirih. Kau tahu, suara lirih dan balik meminta maaf akan membuatnya berada dalam rasa sesal yang lebih dalam.

“Oh, tidak. Tolong jangan begitu. Sudah. Kita akhiri perdebatan ini. Oke? Aku tidak menyalahkanmu. Ini kulakukan untukmu. Kulakukan atas kemauanku sendiri,” katanya. Dia merentangkan tangan seolah ingin memberiku pelukan. Aku tahu, menghambur dalam pelukannya akan membuatnya senang. Namun, kau harus tahu aku tak ingin bertanggungjawab atas poster yang melekat di wajahnya itu. Jadi, aku hanya diam saja.

“Aku melakukan ini untukmu. Apakah kau tidak tahu bahwa kau adalah idolaku? Aku ingin seluruh dunia tahu bahwa kau memang yang terbaik. Segala sesuatu tentangmu itu baik. Apa yang kau katakan adalah kebenaran. Itu sebabnya aku ingin mereka selalu mengingatmu. Dengan menempelkan poster wajahmu di wajahku sebenarnya aku pun ingin memberi pesan pada semua orang: menurutku, kamu sangat layak untuk dipilih karena kamu sedemikian sempurna. Mereka tidak boleh menyakitimu, tak boleh membicarakan hal buruk tentangmu. Aku fans fanatikmu. Aku ada di garis terdepan untuk membelamu. Tidakkah kau mengerti maksudku itu?”

“Ya, tentu saja aku paham. Tetapi kau sendiri yang memutuskan untuk menempelkan poster itu ….”

“Aku tahu,” katanya memutus kata-kataku. Dia kemudian mengambil kaca. Ada bagian poster yang menempel di dekat bibirnya. Itu memang sedikit mengganggu jika dia banyak bicara. Kupikir ini saat yang tepat untuk mengakhiri perdebatan. Tentu saja tidak dengan meminta maaf atau menerima maaf. Aku cukup diam dan menyesap kopi seraya memandanginya.

“Kau lapar?” tanyanya meski tatapannya masih mengarah pada kaca. Perlahan dia menarik poster itu. Aku yakin itu sakit. Poster itu menempel sangat kuat dan apa pun bisa terjadi pada bibir yang manis itu. Kulihat dia sedikit mengerut menahan sakit, bibirnya sedikit mengerucut, dan ada bulir air mata di sudut matanya yang terbuka sebelah itu.

Kau tentu ingat, aku pernah mencicipi bibirnya dan hei bibirmu juga. Mestinya kau pun tahu bukan hanya bibir kalian saja yang sudah kucicipi. Semua yang mengaku pengagumku mestilah pernah kucicipi bibirnya. Kenapa tanyamu? Tentu saja itu semacam syarat. Semacam sesuatu yang membuatku yakin bahwa orang itu serius mengagumiku.

Bibir menjadi hal penting. Mereka akan menjelaskan pada orang lain tentangku. Dan semua bermula dari bibir. Itu sebabnya aku akan memastikan rasa bibir itu. Jika rasanya manis, tentu saja aku akan melayaninya terus. Aku bersedia menjawab pertanyaannya. Sebab ya itu tadi, pemilik bibir yang manis akan menyampaikan hal yang manis.

Sejujurnya dialah pemilik bibir yang paling manis. Bibirnya mungil dengan ketebalan yang tepat. Dia selalu memulas bibirnya dengan perwarna bibir merah serupa darah segar. Itu sangat menantang. Aku sangat menyukai warnanya.

Ketika pertama kali aku menikmati bibir itu, aku memutuskan bahwa itulah bibir paling sempurna. Dia akan menjadi penggemar terbaikku. Masalahnya dia tak bisa mengendalikan perasaannya. Dia sepertinya menerjemahkan lain kecupan-kecupan yang semula ringan lalu berubah buas itu.

Masalahnya lagi, ketika aku ingin menjadi katakanlah pemimpin sebuah kelompok, dia lalu menempelkan poster wajahku di wajahnya.

Itu masalah sebenarnya. Karena meski aku hanya fokus pada bibir, ada wajahku di situ. Aku seperti menciumi diriku sendiri. Jujur saja kenikmatannya berkurang. Kau tak percaya? Ya sudah kalau tidak percaya. Namun, itulah yang memang aku rasa.

“Kau mungkin bisa melepaskan poster itu. Bagian bibir, emmm … kau tahu apa maksudku kan?” tanyaku saat melihatnya mencoba melepas poster di bagian keningnya. Dia mengeluarkan suara tak jelas. Sepertinya itu semacam persetujuan. Aku tidak terlalu paham.

“Apa yang harus kulakukan agar ini bisa lekas selesai?” Dia menatapku. Aku diam saja. Bukan apa-apa, aku memang tak tahu jawabannya. Kulihat dia menarik sedikit demi sedikit poster itu. Tampaknya dia memberi lem XXX terlalu banyak di sana. Ada sesuatu yang mengalir membuatku tak bisa membedakan apakah itu lipstik bercampur liur yang meleleh atau darah sungguhan.

“Sialan. Ini sakit sekali. Tapi aku harus melepasnya. Kau sangat menyukai bibirku. Poster ini akan mengganggu dan bisa jadi membuatmu berkurang menyukaiku,” katanya. Kudengar dia memaki dan kembali menarik poster itu perlahan. Tatapannya masih terpaku pada kaca.

Kulihat dia mulai kesal karena teramat sulit melepas poster itu. Dia lalu berdiri dan melangkah ke arah dapur. Mungkin dia memutuskan untuk minum sesuatu. Kubiarkan saja dia menyelesaikan masalahnya. Aku tak peduli dan sibuk membayang-bayangkan diri menjadi pemimpin muda yang sukses. Ini, katakanlah, karir baru buatku, tidak sekadar menjual kata-kata manis dan berakhir sebagai selebritis.

Tiba-tiba dia kembali datang di hadapanku. Darah sudah menjadi warna mukanya. Bulu mata dan alisnya copot. Pipinya serupa jalan di daerah transmigrasi yang bolong-bolong. Bisa kulihat tulang pipinya. Dari semua yang ada di wajahnya, aku tercengang melihat bibirnya. Bibirnya sudah teriris. Mungkin dia memutuskan mengelupas poster dengan sebilah pisau.

Aku berdeham. Kuambil cangkir kopi dan kusesap isinya yang sudah dingin. Kalau kau tanya apakah aku merasa cemas melihatnya, maka jawabannya jelas tidak.

Aku sudah bilang padamu: ini semua bukan salahku. Dia yang memutuskan menempelkan poster wajahku di wajahnya. Dia yang menawarkan diri menjadi pendukung pertamaku, garda terdepanku. Dia sendiri, bukan aku! Jadi, kalau akhirnya mukanya rusak akibat poster itu, lalu tak bisa makan dan perlahan mati, yaaa itu bukan salahku.

Apa kau kini mengerti mengapa aku setenang ini?

*****

Editor: Moch Aldy MA

Katarina Retno Triwidayati
Katarina Retno Triwidayati Ibu dua anak, merdeka, dan berbahagia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email