Setelah melaksanakan salat di masjid, orang-orang akan berkeliling lingkungan dalam rangka saling mempererat ukhuwah. Berjabat tangan dan meminta maaf atas tergoresnya hati selama setahun belakangan baik sengaja maupun tidak. Idul Fitri di Indonesia juga sangat erat kaitannya dengan tradisi berbagi angpao lebaran. Beberapa akademisi meyakini bahwa tradisi angpao lebaran di Indonesia adalah akulturasi dari budaya berbagi angpao orang-orang Tionghoa. Namun, beberapa sumber menyebut bahwa di dalam Islam sendiri tradisi berbagi hadiah saat Idul Fitri (Eidiyah) sudah ada sejak Dinasti Fatimiyah pada abad ke 10-12 M, kemudian berlanjut ke Kekaisaran Ottoman, hingga Mataram Islam abad ke 16-18 M.
Pada era Dinasti Fatimiyah, saat hari raya Idul Fitri tiba para bangsawan akan memberikan pakaian, permen, dan uang kepada anak-anak dan orang tua. Kemudian karena dinilai lebih praktis dan memberikan kebebasan untuk para penerimanya, eidiyah mengalami penyederhanaan pada masa Kekaisaran Ottoman menjadi uang saja. Tradisi ini mengarungi Laut Merah, menerjang ombak Samudera Hindia hingga akhirnya terdampar di Indonesia. Rasa-rasanya tak lengkap bilamana tak memberi angpao lebaran pada hari yang fitri itu. Tak peduli, entah memasukkan lembaran uang atau batu koral. Karena dewasa kini angpao lebaran menjadi ajang dalam rangka pembunuhan esensi dari kata fitri.
Baca juga:
- Bertukar Sementara, Bermakna Selamanya, Batal Mudik ke Sumatra
- Marak Maling Jelang Lebaran: Waspadalah, Waspadalah!
Dalam praktiknya, tradisi angpao lebaran di Indonesia berbeda-beda di setiap wilayah. Beberapa ada yang hanya memberikan angpao kepada sanak saudara. Ada pula, masyarakat urban yang tinggal jauh dari kerabat membagikan angpao kepada anak-anak di lingkungan tempat tinggalnya. Jumlah angpao pun tak dapat dipastikan, malu bila ada yang tak kebagian. Oleh karenanya, sebaiknya menyisihkan lebih banyak uang untuk angpao lebaran. Dan pasti, sebaiknya adalah uang baru.
Berburu Angpao
Takbir menggema, senyum merekah. Tawa anak-anak bersahutan tatkala mendapat angpao hijau dari orang dewasa. Tangan meraba tekstur, mata mengintip rupa, mendapat uang warna apa dari paman tadi. Kemudian sel-sel di otak saling mengirimkan sinyal, berupaya menerka apakah tante ini memasukkan bilangan lebih banyak atau lebih sedikit.
Namun mereka baru mendapat lima angpao, masih banyak dermawan yang menunggu untuk diterima angpao-nya. Anak-anak berlari menuju gang sebelah, berlari lagi menuju gang berikutnya hingga ujung kampung. Sekarang ada lima belas angpao di tangan mereka. Dan melalui angpao, setidaknya mereka punya gambaran seberapa dermawan dan baik orang-orang dewasa di lingkungannya. Sampai di rumah, mungkin orangtua anak-anak itu pun akan bertanya asal dari angpao-angpao tersebut. Setelah jawaban dilantunkan, kebisuan atau bahkan keangkuhan timbul membabi buta. Isi angpao tak berbeda dengan bibit kedengkian yang tumbuh dari sebuah tradisi angpao Lebaran.
Budaya Angpao yang Problematik
Lebaran menjadi semacam panggung untuk unjuk pencapaian. Merantau sebagai sarana mengentaskan kemiskinan tak jarang dipandang menjadi instrumen menghasilkan uang tanpa cela. Hingga ketika Lebaran tiba, memberi angpao atau tidaknya seseorang yang pulang ke kampung halaman disimbolisasi menjadi parameter kesuksesan. Uang untuk keinginan rela disisihkan, bahkan sampai berhutang demi dapat memberikan angpao lebaran sebagai legitimasi kemapanan. Dari situ lahirlah keterpaksaan dalam upaya meredam tuntutan kolektif buta.
Sebuah ironi, ketika Hari Lebaran yang penuh “fitri” ternodai oleh setan-setan dalam diri manusia. Setan yang begitu takbir menggema, segera terlepas dari belenggu Ramadan. Mereka menjelma dalam bentuk kedengkian, tamak, dan keangkuhan manusia. Bersembunyi di balik uang dan baju yang serba baru. Anak-anak berupaya menjadi kaya dalam sehari, sementara orang dewasa berlomba-lomba untuk berbagi dalam rangka pemenuhan gengsi dan pengakuan kolektif.
Tak ada yang salah di dalam tradisi angpao lebaran. Namun, lambat laun nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi eidiyah—angpao lebaran—ini tergerus zaman. Ketika membaca sejarah tradisi ini, dari Dinasti Fatimiyah, Kekaisaran Ottoman, Mataram, hingga Cina yang memiliki tradisi mirip semacam eidiyah, ada beberapa nilai penting yang ingin ditegaskan. Melalui eidiyah, para pelaku tradisi ingin berbagi kasih, memberi harap, keberuntungan dan menumbuhkan kebahagiaan kepada kerabat dan orang lain. Mereka memberi atas dasar mampu dan ketulusan. Bukan keterpaksaan karena tuntutan sosial.
Dewasa kini, angpao lebaran menjelma bak benalu yang mencekik inangnya dengan amat lembut. Perang emosional terjadi secara senyap di setiap benak dan kepala. Pulang kampung tanpa memberi angpao lebaran, atau memberi angpao tapi berhutang atau bahkan mengorbankan dana yang diperuntukkan untuk kebutuhan lain. Atau pulang kampung tanpa angpao dan hadiah lebaran dengan hanya berbekal rindu tapi dimakan gengsi.
Baca juga:
Sejatinya, upaya awal untuk memekarkan bunga-bunga pada diri yang lain adalah menjaga jiwa dan raga tetap berseri. Akan lebih subur bunga itu, karena pupuknya adalah ketulusan. Ada baiknya mengikuti sebuah tradisi, namun jangan sampai niat awal yang mulia untuk berbagi kasih dan menumbuhkan harap berubah menjadi keterpaksaan yang menyiksa. Karena hal-hal semacam itu membunuh esensi dari kata fitri. Ketika jabat tangan berkedok saling memaafkan menyembunyikan kedengkian dan sentimen-sentimen di balik senyuman getir yang tersungkur ke dalam ceruk kegelisahan. (*)
Editor: Kukuh Basuki