Saya samar-samar ingat Mahfud Ikhwan pernah menyinggung di bukunya, Cerita, Bualan, dan Kebenaran, bahwa jarak antara desa dan kota tidak sejauh itu. Desa bukannya lepas sama sekali dari kota, begitu pula sebaliknya. Namun, para penulis seringkali memberi garis yang tebal untuk memisahkan keduanya dan membuatnya seolah-olah bersitegang.
Bagi Mahfud, baik desa atau kota sama-sama berubah. Mengikuti pemeo Jawa, ora obah ora mamah ‘tidak bergerak tidak makan’, pada akhirnya penerimaan untuk berubah, beradaptasi, akan membuat desa atau kota tetap relevan, dan napasnya bertahan lebih lama. Beruntunglah saya sebagai manusia yang pernah hidup di dua alam itu, dengan kedua orang tua yang sama-sama perantau dan cinlok di ibu kota, dapat menyelami lebih dalam maksud dari tulisan Mahfud tentang desa dan kota.
Setelah lima tahun terhalang kuliah yang kejauhan, ditambah dua tahun lagi terhalang pandemi, 2022 saya bisa kembali pulang kampung dan melihat sendiri bagaimana desa yang pernah saya tinggali dan tinggalkan berubah.
Baca juga:
Dahulu saya sama seperti penulis yang kerap meromantisasi desa sebagai sosok yang terlampau naif, tempat segala kepenatan kota luruh dan padam. Nyatanya desa, seperti juga kota, tidak berbeda dengan sepupu-sepupu yang dahulu akrab bermain waktu kecil, dan tiba-tiba terasa asing begitu bertahun-tahun tak kunjung berjumpa. Semakin lama saya tinggalkan, semakin jauh desa dari apa yang saya bayangkan ketika kecil.
Saya mengingat sebagian kenangan masa kecil dan melupakan banyak hal. Ketika pulang ke Lamongan dan Malang, saya seperti menyusun kepingan teka-teki yang menyisakan banyak ruang kosong, yang saya isi dengan imajinasi saya sendiri. Gambar yang saya susun tak pernah utuh, tapi itulah yang membuat saya selalu penasaran mencari bagian-bagiannya yang hilang, baik dari sisa-sisa bangunan yang masih bertahan seperti belasan tahun yang lalu, atau dari cerita orang-orang yang hidup jauh lebih lama dari saya.
Ketika saya dan kakak-beradik belum terpencar masing-masing dan masih dalam selembar Kartu Keluarga (KK) yang sama, dulu kami biasa berebut ingin mengunjungi kampung siapa lebih dulu, apakah kampung ayah di Malang, atau ibu di Lamongan. Meski perdebatan kami tiada berarti, karena yang memutuskan dan menyetir mobil pulang kampung adalah orang tua kami. Saya selalu ingin pulang ke Lamongan lebih dulu, hanya karena di sana banyak becak. Di antara sekian banyak moda transportasi lainnya. Favorit saya adalah kendaraan roda tiga itu, yang berputar lewat tenaga kayuhan setengah mati dan napas setengah mampus.
Rumah Mbah Putri tepat berada di posisi tusuk sate, dengan sebagian besar dinding dan atap dari anyaman bambu, lantai semen yang sudah pudar warnanya, dan sedikit bau tikus yang saya yakin sudah tinggal dan beranak pinak di sana lebih lama sebelum Mbah datang.
Di depan rumah Mbah ada pohon yang jadi tempat bermain dan menunjukkan bakat memanjat seadanya. Hari ini pohon itu sudah raib, dan beranda depan rumah digantikan angkringan Lik Yasin, adik bontot Ibu, yang pernah kabur dari rumah dan hilang selama setahun sekitar 2005-2006.
Waktu hilang entah ke mana dulu, Ibu diberi amalan untuk mengirim Al-Fatihah tiap hari ke adiknya itu. Benar saja, Lik Yasin tiba-tiba muncul di depan rumah Ibu di Jakarta, dan meminta Ibu buat mengabari keluarga di Lamongan kalau ia mau menikah karena takut tidak direstui. Lik Yasin pernah jadi role model saya sebagai rockstar, ia adalah lelaki pertama yang saya kenal dengan rambut gondrong sebahu. Karena itulah, pas TK saya memanjangkan rambut meniru Lik Yasin, yang jatuhnya malah mirip seperti Pak Tarno versi muda.
Kini Lik Yasin menjadi ayah dari dua anak, berambut pendek, dengan baju kemeja rapi kebesaran, dan jualan jus aneka rupa di rumah Mbah Putri yang diwariskan kepadanya. Dari hasil menabungnya itu, rumah yang dulu seperti akan ambruk kapan saja mulai direnovasi meski baru bagian depannya. Catnya diganti warna kuning Golkar, dan atap-atap anyaman bambu yang bolong diganti baru.
Ibu bilang, semakin besar saya semakin mirip Lik Yasin, tetapi ia menyanggah, “Yo gantengan Ghulam Mbak.” Saya jelas setuju dengan Lik Yasin.
Di belakang rumah Mbah yang kini ditempati Lik Yasin, berturut-turut ada rumah Bude Mut dan Bude Saroh. Bude Mut sudah menjelang usia 75 tahun, badannya seringkih rangka layangan, buah dadanya menyusut habis, kulitnya sempurna mengkerut seperti plastik dipanasi api, tetapi ia masih berjalan tegak tanpa tongkat, suaranya masih jelas, dan matanya masih menyala. Rumahnya menjadi taman bermain bagi cucu-cucunya, dan saat ke sana, Bude Mut sedang menggendong cucunya yang paling muda dengan selendang batik tanpa kelihatan lelah. Hidup cukup lama mungkin membuat Bude Mut berpikir setiap tahunnya bisa jadi lebaran yang terakhir baginya.
Sebelum ia mati, hanya satu lagi mimpinya yang belum dan hampir terwujud, tak lain pergi haji. Andai saja tidak ada pandemi, dua tahun lalu ia sudah sampai ke Kakbah karena antrian selama puluhan tahun sudah sampai gilirannya. Namun, Bude Mut terpaksa menunggu panggilan Tuhan lebih lama lagi sejak Arab Saudi membatasi usia calon jamaah sampai 65 tahun.
Bude Mut tak ingin larut dalam kesedihan, dan memilih bermain dengan cucu-cucunya dari keenam anaknya. Ia menikah dua kali, yang pertama ditinggal cerai, yang kedua ditinggal mati. Namun, yang masih hidup kini tinggal Bude Mut seorang. Di umur sekian saya rasa ia juga tak butuh lagi kehangatan lelaki. Saya ingin menua seperti itu, tangguh, sehat, dan berguna.
Jika bukan berakhir begitu, saya hanya akan menjadi bahan lelucon saja, dan anak-anak yang merawat saya akan merasa menjadi salao, orang yang ketiban sial.
Di belakang rumah Bude Mut kini ditempati anak Bude Saroh. Ibunya meninggal 2019 lalu. Terakhir saya bertemu Bude Saroh, ia sudah susah bicara, bahasa yang keluar dari mulutnya tak lagi bisa dipahami. Tak banyak yang berubah dari rumah itu selain penghuninya. Rak-rak buku tepat di samping pintu depan masih gagah berdiri, lengkap dengan buku-bukunya yang disusun per kategori. Dari perpustakaan kecil itulah saya pertama kali membaca Harry Potter, di momen saat Severus Snape membunuh Albus Dumbledore di atas Menara Astronomi.
Saya tidak sampai habis membaca buku itu karena ibu terlanjur mengajak pulang, dan saya belum diajari seandainya ada buku yang sangat ingin kamu baca di perpustakaan maka ambil saja bagaimana pun caranya. Kemarin saya tak lagi melihat novel itu bertengger di rak, mungkin karena saya tidak terlalu mencarinya, atau saya terlalu fokus memperhatikan potret wajah-wajah orang mati yang digantung di dinding-dinding ruangan, Bude Saroh dan Pakde Sueb, suaminya.
Dua kakak perempuan Ibu yang lain tinggal tak jauh dari sana, hanya perlu berjalan beberapa meter saja. Ada rumah Bude Um yang kini tak lagi jadi parkiran umum sepeda motor, dan Bude Um yang kini tak lagi prima. Diabetes memisahkannya dari makanan manis, dan katarak mengaburkan matanya dari mengenali wajah ponakan yang lama tak ia jumpai. Bude Um sudah operasi katarak sekali, tapi katanya, pandangannya perlahan mulai berkabut lagi. Sama seperti Ayah yang sebelah matanya sudah buta karena glukoma dan habis operasi berkali-kali. Ibu selalu bercanda, ayah tak lagi menghargai Ibu karena sekarang Ayah selalu memandangnya sebelah mata. Bude Um dan Ayah tertawa mendengar guyonan yang dibawa Ibu dari Jakarta itu. Saya selalu merasa Ayah bernasib sial karena kehilangan sebelah matanya, tapi Bude Um lain lagi. Dengan sumringah ia bilang, “untung dong gak kena dua-duanya, masih bisa lihat sebelah.”
Saya kembali diingatkan bahwa selalu ada yang bisa disyukuri dari setiap kehilangan, dan saya tidak bisa membayangkan Bude Um akan mati bunuh diri, atau menyesal ketika nyawanya tinggal di kerongkongan. Ia mungkin hanya akan membatin, “untung anak-anakku sudah gede dan menikah.”
Saudara tertua Ibu, Bude Rom, tinggal beberapa rumah dari rumah Bude Um. Saya merasa Bude Mut sudah tua, dan Bude Rom masih lebih tua lagi, bahkan anaknya sepantaran dengan Ibu. Bude Rom mungkin satu-satunya di keluarga Ibu yang sudah punya cicit, itu berarti anaknya sudah menikah dan punya anak, lalu cucunya sudah menikah dan punya anak lagi. Sama seperti Bude Mut, Bude Rom menikah dua kali, dan menjanda dua kali karena ditinggal mati. Ia juga punya enam anak dari dua suaminya, dan salah satu anaknya sudah jadi Profesor di Universitas Indonesia sebelum usianya genap 40 tahun.
Ketika saya ke rumahnya kemarin, Mas Nizar (sepupu saya yang paling cemerlang itu) sedang duduk berkaus oblong dengan celana pendek menonton berita arus mudik di TV, persis potongan bapak-bapak komplek jaga pos kamling, siapa yang bakal mengira ia seorang guru besar sistem informatika.
Kami dilarang pulang sebelum makan sego boranan buatan Bude Rom. “Lihat ini tanganku sampai begini.” Bude Rom menjulurkan ujung-ujung jarinya dan memperlihatkan seberapa keras usahanya membuat lauk semalaman.
Setelah menghabiskan nasi boran, nasi sambal khas Lamongan dengan lauk ikan sili, saya sekeluarga pamit. Sebelum melanjutkan perjalanan ke kota lain, Ibu mengajak mampir ke pusara kedua orangtuanya, Mbah Putri dan Eyang Kakung saya. Entah berapa tahun sudah saya tak ziarah ke makam mbah, dan entah apakah saya masih ingat di mana letak mereka berdua ditanam di bawah tanah yang basah. Jika tidak ada dua orang penjaga kubur yang menuntun ke arah nisan mereka, mungkin kami akan menghabiskan waktu sepanjang petang sampai magrib di pemakaman itu.
Melihat batu-batu tertancap di atas kuburan-kuburan tua dan baru, saya ingat tulisan Rusdi Mathari di bukunya Aleppo, kata orang, kematian memang selalu penuh gambar dan kebisuan. Begitulah yang saya rasakan. Makam mbah kini terbaring tepat di bawah setopang kayu yang menjadi sarang burung merpati, dahulu itu tak ada di sana. Kata Ibu, lain kali kami ke sini, kami tak akan menyasar lagi selama sarang burung itu masih berdiri. Kami pergi dari sana dengan doa-doa yang tertinggal sepanjang kuburan yang kami lewati.
Pulang kampung selalu menjadi perjalanan singkat yang terasa begitu panjang, seperti berkelana ke tempat yang tak pernah saya kunjungi sebelumnya. Dan tiap kali pulang ke rumah lalu berpamitan dengan orang-orang dari masa lalu, meminjam ungkapan dari buku Zuo Zhuan, saya selalu merasa disambut dengan mata untuk diantar sampai jauh. Benarlah kata Mahfud Ikhwan, pada akhirnya, saya tak merasa harus menghalangi yang hendak berubah atau bahkan hilang, tapi merasa berdosa jika sampai melupakannya. Maka, paling tidak, saya harus mengingatnya: letaknya, rupanya, bentuknya, cirinya, atau namanya. Saya ingin membawa perasaan itu setiap pulang kampung nanti.
Jakarta, 2022
Editor: Ghufroni An’ars