Marak Maling Jelang Lebaran: Waspadalah, Waspadalah!

Puzairi

2 min read

Ramadan adalah bulan suci yang kedatangannya selalu ditunggu-tunggu oleh umat Islam. Bahkan, secara kultural, masyarakat kita—apa pun latar belakang agamanya—menganggap Ramadan sebagai bulan spesial yang kedatangannya selalu memberikan berkah dan kenangan tersendiri.

Pada bulan Ramadan, ditutuplah pintu neraka dan dilipatgandakanlah amal ibadah seseorang. Muslim dituntut untuk menyerap esensi dan hikmah yang terdapat di dalamnya dengan cara meningkatkan nilai-nilai kesalehan, baik kesalehan spiritual maupun kesalehan sosial. Hingga akhirnya, bulan yang suci ini ditutup dengan perayaan Hari Raya Idulfitri atau biasa kita sebut juga dengan lebaran—sebuah momen sosial untuk bermaaf-maafan dan momen spiritual yang menandai kemenangan umat Islam dalam menaklukkan hawa nafsu selama berpuasa.

Baca juga:

Namun, ada fenomena menarik yang sangat kontras dengan pemaknaan bulan Ramadan, yakni maraknya aksi kejahatan pencurian menjelang lebaran. Mendekati Idulfitri, kasus-kasus pencurian justru lebih intens daripada bulan-bulan sebelumnya.

Banyak orang yang kemudian menghubungkan fenomena ini dengan pandangan-pandangan teologis, misalnya menganggap bahwa pencurian adalah tindakan dosa buah dari kekalahan manusia dalam menghadapi godaan setan dan hawa nafsu. Pandangan ini tentu tidak sepenuhnya salah. Hanya saja, tidak cukup memadai untuk menjelaskan secara komprehensif mengapa dan bagaimana kejahatan pencurian terus terjadi setiap menjelang lebaran.

Disfungsi Tradisi

Dalam sebuah masyarakat, biasanya terdapat nilai-nilai kultural yang berfungsi sebagai acuan kolektif dalam hidup bersama. Nilai-nilai ini merupakan hasil konsensus bersama yang mencerminkan pola kehidupan masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai ini kemudian termanifestasi dalam banyak kebiasaan, budaya, bahkan tradisi. Salah satunya adalah lebaran.

Dalam pandangan para fungsionalis seperti Emile Durkheim dan Talcott Parsons, lebaran merupakan tradisi yang berakar dari tuntunan agama dan memiliki fungsi untuk memperkuat solidaritas dan integrasi dalam masyarakat. Di dalamnya terdapat kebiasaan-kebiasaan positif seperti silaturahmi dan saling memaafkan.

Namun, ada “penyakit” tersembunyi dari tradisi ini, yakni tuntutan tradisi untuk memenuhi kehidupan “ideal” bersama. Menyuguhkan nastar, opor, dan membagikan THR kepada sanak saudara yang bersilaturahmi merupakan salah satu bentuk kebiasaan sosial yang telah menjadi standar dalam perayaan lebaran. Di satu sisi, kebiasaan ini memiliki fungsi sebagai simbol hospitality atau bentuk ramah-tamah kepada mereka yang bertamu. Di sisi lain, ini menjadi masalah bagi mereka yang terkendala secara ekonomi.

Masyarakat tidak tahu dan tidak mau tahu permasalahan ekonomi yang dihadapi suatu keluarga. Masyarakat hanya menuntut mereka untuk ikut serta dalam mereproduksi dan melestarikan kebiasaan yang telah membudaya. Akhirnya, orang-orang yang mengalami kendala ekonomi terpaksa menghalalkan berbagai cara untuk memenuhi tuntutan sosial ini. 

Di titik inilah terjadi disfungsi. Dalam pencurian, pelaku menganggap mencuri adalah salah satu cara mendapat tambahan pendapatan untuk memenuhi tuntutan sosial dalam menghadapi lebaran. Bahkan, mereka yang telah menjadikan mencuri sebagai “mata pencaharian” cenderung akan semakin hasrat mencurinya ketika menjelang lebaran.

Fenomena pencurian jelang lebaran juga mungkin memiliki ragam konteks ruang. Merujuk pendapat Emile Durkheim tentang jenis solidaritas mekanik pada masyarakat pedesaan tempat nilai-nilai bersama masih sangat mengikat. Dalam masyarakat seperti itu, tekanan untuk memenuhi nilai-nilai tersebut lebih besar. Maka itu, kasus pencurian menjelang lebaran lebih potensial terjadi di desa atau daerah-daerah yang solidaritasnya masih kental.

Baca juga:

Kesempatan dalam Kelengahan

“Kejahatan terjadi bukan hanya karena niat, tapi juga karena adanya kesempatan.”

Kalimat dari Bang Napi itu sangat memorable bagi penonton setia siaran berita televisi tahun 90-an hingga 2000-an. Kalimat itu pula yang kemudian dirujuk masyarakat Indonesia dalam menumbuhkan kewaspadaan mereka akan bahaya kejahatan yang selalu mengintai.

Sosiolog asal Inggris, Anthony Giddens, berpendapat bahwa tindakan seseorang tidak hanya bersandar pada niat atau motivasi individual, melainkan juga ditopang oleh struktur yang mendukung. Artinya, manusia bertindak berdasarkan dua hal, yakni motivasi atau niat yang muncul dari dalam dirinya sendiri, plus struktur dan kondisi sosial yang berada di luar diri orang tersebut. Dalam aksi pencurian, seorang pencuri mampu melancarkan aksinya tidak semata-mata karena niat ataupun keahliannya dalam mengambil barang milik orang lain, tetapi juga adanya struktur atau kondisi sosial yang mendukung tindakan tersebut. Di dalam struktur inilah bersemayam apa yang kita sebut “kesempatan”.

Seseorang yang hendak mencuri akan mempertimbangkan struktur berupa sarana dan prasarana, modal yang dimiliki, hingga kondisi sosial yang mendukung dalam melancarkan aksi pencurian. Kondisi sosial seperti kurangnya perhatian dan kewaspadaan masyarakat akan tindak pencurian, serta lemahnya lembaga kontrol sosial akan membuat motivasi individu untuk mencuri terfasilitasi sehingga terjadi aksi pencurian.

Tanpa mendiskreditkan apalagi menyalahkan korban pencurian, kita perlu terus memelihara awareness terhadap potensi kejahatan. Kita tidak bisa mengontrol niat seseorang, tapi kita dapat meminimalisir terjadinya pencurian. 

Puzairi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email