kubentangkan tubuhku
kubentangkan tubuhku
di tanah leluhur yang terluka,
tanah yang bercinta dan berperang,
di mana darah hanyalah noda
yang tak pernah mengering.
jari-jari kakiku diikat beton,
kaku dalam janji pembangunan.
Kulit lututku, hitam arang
terbakar api kemiskinan.
dan rambut kakiku, rimba liar,
terperangkap dalam hukum yang buta.
kuamati pahaku, buas,
memetakan batas evolusi.
di sana identitas berwarna:
teduh, beringas,
seperti sisa-sisa cat di dinding tua.
kemudian, aku memanggil mereka.
nenek moyang yang menari
di antara candi yang roboh.
“datanglah! bawa arwah sucimu.
tubuh mungilku telah kupasrahkan
untuk ditimpa segala dosa dan harapan.”
kubentangkan langkahku,
merayap di bukit keabadian.
sungai keluasannya meludahiku,
dan aku, anak kecil yang gemetar,
hanya ingin tahu bagaimana
rasanya menjadi abadi.
langkahku, o, langkahku adalah doa terakhir,
memuja yang tak terlihat,
mencemooh kesempurnaan
dengan kekerdilan diriku sendiri.
namun, aku teguhkan,
bukan untuk bertemu.
aku teguhkan,
agar menjadi cermin kecil
bagi kesempurnaan yang kautunjukkan.
kubentangkan tubuhku
ke dalam gelap illahiah,
sempurna namun tidak berwajah.
jari-jari tanganku melilit dosa.
kulit tanganku mengendus bahaya.
dan tanganku,
sekadar napas dari jiwa-jiwa lapar.
wajahku, seumpama,
adalah wajahmu.
mataku mata dunia,
hidungku bau peringatan,
dan bibirku mendesah dusta.
aku sempurnakan jalanku
dengan beban ini,
menyulap kekerdilan menjadi mantra.
jalanku adalah jalan terakhir
anak-anak kecil yang terlalu riang,
melompat di sela api dan badai,
bermain-main menuju takdirMu.
kubentangkan tubuhku
di ranjang kematian yang dingin,
di mana hidup adalah debu
dan debu menjadi makna baru.
masa silamku, awan biru
yang tertiup angin pagi ini.
masa depanku, udara sejuk
yang membelai sore ini.
dan hari ini—
adalah yang sejati.
prasangka dan mimpi
bercinta di antara kenyataan dan ilusi.
kubentangkan tubuhku,
menjadi puing-puing kesadaran,
dan aku reda,
rela dilebur, hingga lenyap
dalam malam yang setia.
(2023)
–
kasidah puasa
berhari-hari nyali tak punya tenaga
lalu bulan darah mengerang dashyat
di dalam dada khianat
membentangkan ikan-batu-pasir-daun-daun
di bawah bulan darah
dan suara parau kelelawar
dalam lanskap leluhur
yang kian buram, kian kabur
ketika angin keluar-masuk
mengusik
nyawa manusia
hanya ratapan peristiwa
yang berhari-hari membunuhnya
berhari-hari dendam dan amarah
di bawah bulan darah
tertawa melihat kata-kata
bertanya kuat-kuasa-merdeka
di dada, di nyawa
yang melambai-lambaikan senyum
palsu, angkuh, karena muram
menyadari kekalahan, penyesalan
berhari-hari bulan darah
merawat kasidah
dan rintih doa-doa anak manusia
berceceran di seluruh negeri
jadi puisi
yang merindukan ibu pertiwi
dari mikraj para pemimpi
selama seratus tahun, atau lebih
menghancurkan batas cakrawala
dan pintu surga yang tak bernama
berhari-hari nyali tak punya tenaga
berhari-hari shaum terasa maya
dan bulan darah
masih menyala di dada anak manusia
sedang berhari-hari lainnya
kasidah tak menyanyikan apa-apa
berhari-hari nyawa bergerak
berhari-hari shaum terdesak
dan bulan darah terbahak-bahak
melihat anak manusia
tertipu oleh dunia.
(2025)
–
beri aku cahaya
berikan aku cahaya
ketika lorong Tangerang
retak dan jiwa di kejauhan menganga.
walau ada pintu terbuka di kejauhan,
di atas tempat tanpa mushaf,
yang aku tempuh sendirian—
tanpa bayangan
tanpa bahasa
selain desir angin
dan dahan tempat burung-burung
hilang dalam tafsir mimpi.
daun-daun Ciputat gugur
seperti doa yang lupa Arsy,
tak ada tangan yang menadah,
tak ada langit yang mengingat
Lauhul Mahfudz.
dan bulan darah itu
telah pecah di cermin
mata-mata yang lama
mengunyah huruf-huruf
tanpa makna,
tanpa wahyu.
anak Adam
meneguk kopi basi
yang tak lagi pahit,
karena lidahnya tandus.
ia mengisap kretek terakhir
di sudut jalan yang
penuh ayat-ayat dunia
tentang keselamatan
yang dijual murah
setiap jumat,
menjelang azan asar.
aku duduk di kursi
yang kehilangan bumi
memanggil namaku sendiri
dengan lisan yang kehilangan qira’ah,
dalam bahasa
yang tak lagi dijawab siapa-siapa—
sebab tanah air ini
telah lama menjadi bumi
tanpa baitullah.
tapi pintu itu,
meski engselnya berkarat
dan sarang laba-laba melilit
nama-nama yang terlupa,
selalu terbuka.
dan aku, masih
berdiri di kaki bukit ini,
mendengar langkahku sendiri
seperti gema
dari negeri yang tak ada.
aku menunggu
nama itu dipanggil
sekali lagi—
oleh suara yang mungkin
telah wafat
bersama pohon Ciputat
dan waktu yang dirahasiakan.
maka, berikan aku cahaya
saat Ash-Shirath semakin licin,
dan waktu mendekatkan bahaya
seperti tiupan sangkakala
yang telah retak di ufuk sana.
(2025)
–
BERI AKU INDONESIA
: Buat Mutia
segala yang menjalar dari tragedi
melolong-iri dalam bangsa-ide-konstitusi
yang suci sekaligus nakal,
membuka tujuan bersih
dari mimpi yang dicuci
di lorong pengadilan sepi
dan duka yang dibaptis
oleh lonceng besi sejarah.
tetapi aku berhenti di maritim
dan agraris yang karam,
di antara raja-raja yang menakar emas
dari api yang lupa padam,
di antara penjajah yang menjilat
sisa bara revolusi,
dan keteduhan mitos
yang melilit kening orang suci
—menyerah pada takwa yang menari
di hati kuasa
dan merdeka yang tercekik
oleh nama, arti,
atau kekosongan itu sendiri.
siapa kira, Mutia,
semua berjalan seliweran
dalam lingkaran waktu,
dalam Perang dan keadilan Bangsa,
dalam perjamuan para pendiri
dan para penghapus jati diri
duduk bersama di pesta
dan tertawa dalam getir
seolah mereka tahu jawabannya.
siapa kira, Mutia,
global atau lokal
hanyalah orgasme banal
di rumah keserakahan,
benci yang mencium cinta
sebelum keduanya dilenyapkan
oleh sumpah yang berulang
di depan bendera,
di hadapan nama dan makna.
siapa kira, Mutia,
Revolusi dan iri hati
tak lebih dari tragedi
yang tersaji dalam perjamuan,
dan anak-anak pedesaan
disuapi mimpi
di antara denting piring kosong.
ya! banyak-banyaklah melolong
bahwa itu adalah kosong
ini adalah bohong
dan segala hal adalah omongan kosong.
tapi, aku berhenti di sini
melihat raja dan penjajah
tertawa di meja anggur,
memetik bunga-bunga mati
dari pusara tak bernama.
tidak! Timur dan Barat
hanya isyarat dalam kebingungan.
tidak! dalam sunyi
rakyat bermimpi jahat.
tapi, aku tetap berhenti di sini,
memandangi laut-darat
dalam tubuhku sendiri.
segala yang menjalar dari tragedi
selalu bertabrakan dalam mabuk,
dalam luka yang berkaca di genangan sejarah,
atau dalam merdeka yang lelah
untuk segala lolongan iri
dan benci yang menggumpal di dada.
tapi, aku berhenti di sini
memastikan puisi
terkubur dalam sunyi,
memastikan kata-makna
menjadi abu
yang mengitari langit
dan menghitamkan sejarah
hingga semuanya suci—
atau mungkin tak pernah suci—
di dalam kenyataan ini.
(2025)
*****
Editor: Moch Aldy MA