Domisili di Sleman, Yogyakarta.

Wajah Kampung Halaman di Lembaran Novel

Airlangga Wibisono

3 min read

Suatu hari pada penghujung tahun 2022, saya dan tiga teman sedang menunggu bus Trans Jogja di Halte Prambanan. Cuaca saat itu sudah mendung abu-abu gelap, hujan sebentar lagi turun. Kami hendak melakukan perjalanan pulang setelah hampir seharian berkeliling dengan Trans Jogja, tanpa tujuan, hanya untuk bersenang-senang.

Bus tiba, kami masuk. Di dalam, suasana tidak begitu ramai dan lantunan musik Ebit G. Ade terdengar. Kami duduk secara terpisah, Ben dan Fani duduk di tengah, sedangkan saya dan Listanto memilih di belakang. Bus kemudian berangkat.

Selain membuat mengantuk, lagu Ebit itu ternyata ampuh untuk menambah kebosanan. Saya lantas mengajak Listanto mengobrol. Karena saat itu saya habis menamatkan sekuel novel DawukDawuk Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu (2017) dan Anwar Tohari Mencari Mati (2021)—karya Mahfud Ikhwan. Kebetulan juga, Listanto adalah anak Pantura yang suka sekali membanggakan ke-Pantura-annya; beberapa pertanyaan ingin sekali saya ajukan padanya.

“Lis, kamu tahu apa yang disebut blandong, tidak?”

Raut mukanya berubah. Ia terperanjat, seolah-olah saya barusan menanyakan hal yang seharusnya tidak diketahui oleh saya sendiri, anak dari daerah Pantai Selatan Jawa.

“Kamu tahu kata blandong dari mana?” tanya Listanto masih dengan muka kagetnya.

“Dari novel.” Kemudian, saya membuka tas, mengeluarkan dua novel tersebut. Saya serahkan dua buku itu padanya. Ia pun membuka terlebih dahulu Anwar Tohari Mencari Mati. Kira-kira lima menit ia membaca, ia cekikikan. Mukanya yang tadinya tegang penuh rasa penasaran, sekarang terlihat bahagia. Tapi, menurut saya, kebahagiaan mukanya itu lebih tepat seperti seseorang yang ketahuan menyembunyikan sesuatu.

Cuk, asu,” ia pun mengeluarkan umpatan, kemudian tertawa. Di dalam bus, tawanya terdengar lumayan keras. Mengenang kejadian Listanto mengumpat di bus TJ saat membaca novel ini mengingatkan saya akan sebuah adegan di sana. Saya seolah memerankan adegan itu, menganggap diri saya adalah Mustofa Abdul Wahab, seorang wartawan yang bosan dengan pekerjaannya dan mencari pelarian dengan menyimak seorang pembual di sebuah warung kopi. Bualan itu memikatnya.

Dua novel yang saya berikan kepada Listanto ibarat sebundel surat-surat dari seseorang yang Mustofa serahkan kepada Warto Kemplung, dan ia terkaget-kaget ketika membacanya karena berisikan hal- hal yang ia sembunyikan. Di sini, saya menganggap Warto Kemplung alias Anwar Tohari itu adalah Listanto.

Saya pun kembali bertanya tentang blandong. Listanto bercerita bahwa sebenarnya salah satu familinya dulunya adalah seorang blandong. Familinya itu selalu bekerja pada malam hari agar tidak ketahuan pihak perhutani dan semata-mata dilakukan atas landasan ekonomi.

Saya pun bertanya apakah familinya itu juga memiliki kesaktian. Pertanyaan yang saya ajukan ini terinspirasi dari permusuhan Dulawi dan Sinder Harjo pada novel Dawuk. Listanto tidak menjawab pertanyaan itu. Namun, ia malah balik melontarkan pertanyaan kepada saya, yang mana ketika merenungkan pertanyaan Listanto itu, saya jadi menjawab pertanyaan saya sendiri.

“Ya, aku juga tidak tahu menahu tentang itu, tapi bayangkan, familiku itu selalu mencuri kayu yang letaknya di tengah Alas Roban, pada tengah malam, dan gelondongan kayu itu pastinya besar-besar dan berat. Lantas, bagaimana ia bisa membawa kayu itu sampai ke rumah?”

Setelah cerita tentang familinya yang menjadi blandong selesai,  ia pun meminta ampun kepada Tuhan semoga familinya itu diampuni dosanya. Listanto sadar betul kegiatan mblandong hakikatnya adalah tindak pencurian, mencuri kayu tepatnya, dan ia percaya itu suatu perbuatan berdosa.

Setelah beberapa menit membaca lagi, ia kembali tertawa. Ia menertawai sebuah kalimat ketika Anwar Tohari dimarahi supir truk. Saya pun mengetahui bahwa kalimat yang membuat Listanto tertawa adalah sejenis umpatan.

“Lucu dan aneh juga, ya, kalau kata umpatan daerah dialihbahasakan ke Indonesia. Lihat ini, ada matamu sobek, ini baiknya tetap ditulis ­matamu suwek,” ungkap Listanto kepadaku sambil tertawa. “Jadi, rasa plong dari mengumpat kerasa.”

Listanto ini berasal dari Batang. Hal yang sering ia obrolkan pada saya ialah tentang Alas Roban. Novel Anwar Tohari mengungkit sedikit tentang hutan yang terkenal keramat itu. Dalam novel tersebut, terdapat bagian yang menjelaskan bahwa di Alas Roban terdapat bajing loncat, gerombolan orang yang suka naik tanpa izin ketika ada truk yang melintas di daerahnya untuk mencuri muatan yang dibawa. Saya juga menanyakan hal itu pada Listanto.

“Kalau sekarang sudah aman di Alas Roban. Tapi, dulu aku kecil, sekitaran awal 2000-an, bajing loncat masih ada di daerahku dan mereka suka mencuri dari truk-truk.”

Baca juga:

Pada suatu waktu, Sapardi Djoko Damono, penyair Hujan Bulan Juni, sedang melakukan perjalanan dari Padang ke Bukittinggi. Ia menaiki bus dan memilih duduk dekat kursi sopir di depan. Mungkin hanya iseng atau karena punya maksud tertentu, ia bertanya pada sopir bus  apakah si sopir tahu soal Siti Nurbaya.

Jawaban sopir itu ternyata seperti apa yang Sapardi bayangkan. Siti Nurbaya yang dibayangkan oleh si sopir tidak berkaitan dengan novel karya Mh. Roesli. Pertanyaan Sapardi dijawab secara tidak nyambung: sebuah makam di Padang dengan nisan yang tertulis nama Siti Nurbaya.

Sapardi bukan hendak melucu ketika menceritakan pengalaman itu. Dari situ, Sapardi justru hendak menunjukkan contoh keterkaitan antara “tiruan” dan “ciptaan” dalam sastra.

Sastra “tiruan”, menurut Sapardi, ialah sebuah potret. Sastra seolah gambar yang tertangkap oleh mata pengarang dari kehidupan yang berada disekitarnya. Dari tangkapan gambar itu, lanjut Sapardi, sastrawan mencipta tokoh lengkap dengan peristiwa yang terjadi padanya. Pengembangan dari tangkapan inilah yang dimaksud dengan “ciptaan.”

“Kreativitas pengaranglah yang menyebabkan tokoh-tokoh lengkap dengan segenap peristiwa yang terjadi menjadi ada,” tulis Sapardi dalam Sastra dan Pendidikan (2021).

Selama menulis Dawuk, Mahfud Ikhwan mengaku dirinya lebih sering pulang kampung, nongkrong di warung kopi, dan mendengarkan lagu-lagu India. Ketiga kegiatan tersebut terlihat biasa saja, tapi dari kegiatan biasa itu ia mendapat energi untuk membuat dunia rekaan yang terasa nyata dan dekat bagi pembaca seperti Listanto.

Meskipun inspirasinya sangat “realis”, dunia rekaan dalam sastra tentu tak sama dengan dunia nyata yang kita tinggali. Salah satu perbedaannya—yang membuat dunia rekaan istimewa—adalah kemampuan dunia rekaan mengembalikan apa yang sudah terjadi dan juga apa yang hilang. Pendapat ini, lagi-lagi, saya peroleh dari Sapardi.

Reaksi Listanto ketika membaca sekuel Dawuk menegaskan bahwa sastra adalah cermin yang istimewa. Ia terkejut mendengar saya bertanya tentang blandong—yang mungkin dalam pikirannya, saya tak seharusnya mengetahui hal itu. Ia tertawa dan menemukan kejanggalan ketika membaca umpatan matamu sobek dan langsung mengoreksinya dengan umpatan yang benar, dari kata aslinya. Dengan membaca novel yang berlatar budaya dekat dengan dirinya, ia seakan perlu kembali ke masa kecil hanya untuk menjawab pertanyaan saya tentang fenomena bajing loncat dari Alas Roban.

Mempertemukan Listanto dengan sekuel Dawuk seperti mempertemukan dua orang dari daerah yang sama di perantauan. Mereka bahagia bisa bertemu saudara sekampung, lalu tertawa, mengobrol dengan bahasa daerah, bertanya tentang apakah kenal A atau kenal B, bagaimana tempat A sekarang, dan seterusnya. Kebahagiaan itu nyatanya tetap terasa sekalipun dua “orang” itu wujudnya berbeda—yang satu manusia, yang satu buku—sedangkan saya hanya kuping asing yang ingin tahu.

 

Editor: Emma Amelia

Airlangga Wibisono
Airlangga Wibisono Domisili di Sleman, Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email