Hari Tani tahun ini yang jatuh pada 24 September 2024 merupakan Hari Tani kesepuluh di masa pemerintahan Presiden Jokowi. Masih banyak kegagalan dan pekerjaan rumah yang harus dituntaskan.
Reforma agraria telah menjadi salah satu janji politik utama Presiden Joko Widodo sejak masa kampanye 2014. Namun, setelah satu dekade pemerintahan (2014-2024), banyak pihak menilai bahwa reforma agraria yang dijalankan lebih bersifat “palsu” atau setengah hati, jauh dari semangat UUPA 1960. Meski target reforma agraria 9 juta hektar melalui redistribusi tanah kepada petani dan rakyat tak bertanah, pelaksanaan yang terjadi hanya sekadar legalisasi melalui sertipikasi tanah saja.
Kritik terhadap reforma agraria Era Jokowi dimulai dari pelaksanaan yang diorientasi oleh pasar. Kebijakan reforma agraria era Jokowi lebih condong pada pendekatan pasar (market-led agrarian reform) daripada pendekatan yang dipimpin negara (state-led agrarian reform). Hal ini terlihat dari fokus pada sertifikasi tanah dan formalisasi hak milik, yang lebih menguntungkan pasar tanah daripada redistribusi tanah kepada petani tak bertanah.
Meskipun ada program redistribusi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA), ketimpangan kepemilikan tanah masih sangat tinggi. Menurut data ATR/BPN tahun 2022 menunjukkan bahwa 1% penduduk terkaya masih menguasai lebih dari 58% tanah di Indonesia. Ketimpangan yang terus menyulut konflik agraria
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melaporkan dari tahun 2015 hingga 2023 ada 2.939 konflik agraria yang didominasi oleh perkebunan dan proyek strategis nasional atau PSN. Angka ini melonjak dua kali lipat dibandingkan era pemerintahan SBY tahun 2004-2014.
Tak mengherankan karena reforma agraria Jokowi lebih berfokus pada legalisasi aset (sertifikasi tanah) daripada redistribusi tanah. Hal ini tidak menyelesaikan masalah mendasar ketimpangan kepemilikan tanah. Justru kian melanggengkan ketimpangan. Belum lagi terkait pengabaian Hak Masyarakat Adat. Meskipun ada pengakuan formal terhadap hutan adat, implementasi di lapangan masih lemah. Banyak wilayah adat masih tumpang tindih dengan konsesi perusahaan atau kawasan hutan.
Reforma agraria sedekade ini tidak holistik, tidak diintegrasikan dengan kebijakan pembangunan perdesaan yang komprehensif, seperti dukungan teknis, akses kredit, dan pengembangan pasar untuk petani kecil. Akses reform tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini juga karena lebih didominasi kepentingan korporasi. Kebijakan agraria masih cenderung berpihak pada kepentingan korporasi besar, terutama dalam sektor perkebunan dan pertambangan, yang sering kali bertentangan dengan kepentingan petani kecil dan masyarakat adat.
Sikap demikian yang melemahkan perlindungan lahan pertanian. Laju konversi lahan pertanian produktif menjadi lahan non-pertanian masih tinggi, mengancam kedaulatan pangan dan mata pencaharian petani. Kementerian pertanian mengungkapkan setiap tahun terdapat 100.000 ha – 200.000 ha tanah pertanian dialihfungsikan.
Menggali Reforma Agraria Sejati
Pada momentum Presiden Jokowi memperingati Hari Tani Nasional yang kesepuluh, atau terakhir ia menjabat sebagai Presiden, penting untuk kembali menemukan reforma agraria sejati berdasarkan konstitusi dan sesuai dengan semangat UUPA 1960.
Pemerintahan ke depan harus melakukan reorientasi kebijakan, yaitu kembali pada prinsip reforma agraria yang dipimpin negara (state-led agrarian reform). Penguatan kelembagaan harus dilakukan, tidak cukup dengan yang ada saat ini. Perlu ada pembentukan lembaga khusus setingkat kementerian yang fokus pada pelaksanaan reforma agraria. Lembaga ini akan meningkatkan koordinasi antar lembaga terkait agraria dan pengelolaan kekayaan alam lainnya. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat sangat krusial. Libatkan secara aktif organisasi petani, masyarakat adat, dan CSO dalam perencanaan kebijakan dan pelaksanaan reforma agraria.
Penguatan kerangka hukum juga dilakukan semisal dengan mengesahkan undang-undang terkait reforma agraria turunan dari UUPA 1960 karena Perpres 62/2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria tidak cukup. UU itu harus menguatkan perlindungan hukum bagi petani kecil dan masyarakat adat. Sekaligus penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran hak-hak agraria.
Harus juga ada upaya memastikan redistribusi tanah yang adil. Pemerintah mesti aktif mengidentifikasi dan redistribusi tanah-tanah terlantar, HGU/HGB/HP yang telah habis, dan tanah kelebihan maksimum. Meneguhkan lagi pembatasan kepemilikan tanah oleh korporasi dan individu. Menyasar utama redistribusi tanah di daerah-daerah dengan ketimpangan yang tinggi.
Agenda reforma agraria harus memprioritaskan redistribusi tanah kepada petani tak bertanah dan petani gurem, dengan mengintegrasikan reforma agraria bersama kebijakan pembangunan pedesaan yang komprehensif. Tanah dari penyelesaian konflik agraria juga menjadi satu kesatuan. Pembentukan mekanisme penyelesaian konflik agraria yang independen dan berkeadilan harus dijalankan. Audit terhadap konsesi-konsesi yang bermasalah dan tumpang tindih dengan wilayah masyarakat harus transparan dan berkala.
Bagi tanah untuk kepentingan umum, pemerintah harus menerapkan prinsip free, prior, and informed consent (FPIC) dalam setiap proyek yang melibatkan tanah rakyat. Tidak hanya menawarkan ganti uang, tapi bisa tanah pengganti, saham, dan bentuk lainnya yang menguntungkan rakyat banyak. Sehingga perlindungan lahan pertanian ditegakkan berdasarkan UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Penting untuk memberikan insentif untuk petani yang mempertahankan lahan pertaniannya.
Reforma agraria juga harus memberikan pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat. Langkah yang dilakukan dengan percepatan pengakuan wilayah adat melalui peraturan daerah dan nasional. Kemudian penyelesaian tumpang tindih wilayah adat dengan kawasan hutan negara dan konsesi. Hal ini bisa disinergikan dengan reforma agraria yang berwawasan lingkungan. Sehingga keadilan agraria sejurus dengan keadilan iklim.
Langkah yang harus diterapkan juga tentang kolektifitas. Reforma agraria harus dilakukan berbasis komunitas dengan mendorong model-model pengelolaan sumber-sumber agraria berbasis komunitas, seperti hutan kolektif, pertanian kolektif, dan sertipikat komunal.
Reforma agraria yang dijalankan selama era Presiden Joko Widodo (2014-2024) telah gagal memenuhi janji untuk melakukan perombakan struktur agraria yang mendasar. Pendekatan yang lebih condong pada mekanisme pasar dan legalisasi aset telah mengabaikan aspek redistribusi dan keadilan agraria yang menjadi inti dari reforma agraria sejati.
Untuk mewujudkan reforma agraria sesuai dengan semangat UUPA 1960, diperlukan reorientasi kebijakan yang mendasar. Fokus harus diarahkan pada redistribusi tanah yang adil, penyelesaian konflik agraria, dan pemberdayaan petani kecil serta masyarakat adat. Hanya dengan pendekatan yang holistik dan berpihak pada rakyat, reforma agraria dapat menjadi instrumen efektif untuk mencapai keadilan sosial, kemakmuran, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.