Cerita Tanah Batak: Dari Agama hingga Wabah Kolera

indarka pp

2 min read

Selain mengemban tugas utama sebagai penuntun hidup, agama ialah ranah intim yang subur perseteruan. Seperti kemenangan pada umumnya, termin yang mesti dilalui adalah tentang selisih. Baik selisih antar simpatisan, maupun selisih dengan nilai-nilai yang hidup lebih dulu. Dalam konteks keislaman, misalnya, Snouck Hurgronje mencetuskan teori bahwa hukum agama (Islam) dapat diterima menyeluruh apabila mampu bersatu dengan hukum adat masyarakatnya (receptio in complexu).

Isu perihal agama terasa betul dalam kumpulan cerita pendek Pearaja Seribu Sembilan Ratus Sembilan Puluh gubahan Radja Sinaga. Dinamika lampau dijadikan tempus yang dominan dalam keenam belas cerita pendeknya dengan lokus Tanah Batak. Pembaca bakal dibawa menelusur seluk-beluk kekristenan di sana, puluhan tahun silam. Hal ini sebuah kerja yang patut diapresiasi dari Radja, sebab tidak banyak pengarang muda yang mau bersusah payah mencari celah sejarah itu sendiri.

Salah satu kelindan yang bisa ditarik dari cerita-cerita Radja ialah tentang ganasnya wabah kolera di Tanah Batak. Orang-orang lokal kemudian mengistilahinya Begu Attuk. Penyerangan kaum Padri ke Tapanuli sekitar tahun 1818 ditengarai sebagai buntut munculnya kolera. Sebab tak mampu membendung epidemi itu, kaum Padri memutuskan balik kanan dari misi Islamisasi dan kembali ke Minangkabau. Saat kabar itu sampai di telinga Thomas Stamford Raffles, ia segera mengutus beberapa orang untuk mengambil peran. Kesempatan lapang terbuka untuk misi penginjilan.

Baca juga:

Setidaknya latar belakang tersebut pertama-tama mesti diketahui supaya pembaca mudah paham dari dan ke mana Radja mengarahkan cerita. Cerpen “Yang Lebih Gila dari Begu Attuk” adalah bagian dari dinamika itu. Berkisah Marnaek, seorang kepercayaan kepala bius, merasa malang melihat Hotma, anak perempuannya terjangkit kolera. Tidak satu pun dapat ia harapkan dari kepala bius kecuali menyiapkan upacara pemakaman bagi sang anak. Maka pada suatu malam, Marnaek datang menemui Pendeta Ward di rumah dinasnya.

Siasat penginjilan gemilang lewat jalur kesehatan. Para misionaris dibekali perlengkapan medis komplit. Itulah alasan Marnaek menghadap Pendeta Ward: meminta Hotma disembuhkan. “… Namun, semua tak pernah gratis. Ward dengan tegas menerima siapa saja dengan syarat bahwa mereka harus menjadi Kristen, meyakini Yesus Kristus, dan menjauhi tindakan memuja berhala” (halaman 36). Gejolak ganjil tatkala mengagungkan nama Yesus Kristus dirasakan Marnaek di hadapan Pendeta Ward. Di sana, untuk kali pertama Marnaek mengucapkan Doa Bapa Kami Yang Di Sorga.

Pada mulanya agama Kristen tidak serta-merta diterima. Tidak sedikit penolakan terhadap orang Barat asing yang dengan berani menyebut ritus masyarakat lokal sebagai ajaran sesat. Akan tetapi, kebanyakan siasat selalu berjalan mulus apabila ditopang kondisi tertentu. Obat-obatan dan seperangkat alat medis menjanjikan tak ubahnya suatu media yang tepat. Begitulah kira-kira cara kerja seorang misionaris.

Selain konflik internalisasi agama, hal lain yang kerap menghantam para penganutnya ialah ketika hendak menjalani perkawinan. Cerpen “Elia, Gereja, Cinta, dan Kekasihnya” berkisah tentang sejoli dari dua golongan berbeda dalam agama Kristen yang tengah menghadapi dilema. Tokoh Elia terbentur oleh status ayahnya sebagai Sintua, kaum yang menempatkan adat pada porsi semestinya. Sedang kekasih Elia terhalang oleh sang ibu sebagai jemaat Karismatik. Baik ayah Elia maupun ibu kekasih Elia sama-sama bersikeras terhadap anak-anak mereka supaya tidak lengah atas satu sama lain. Konflik pun meluas pada nuansa kritik penulis terhadap golongan-golongan dalam satu agama. Setiap golongan memiliki kebenarannya sendiri, tetapi adakah keselamatan dalam kebenaran itu? (halaman 133).

Radja mempertahankan ritme narasi yang segar hingga tuntas. Ia menakwilkan beberapa situasi menggunakan konteks lain yang beririsan. Seperti dinamika sintua yang mengemban tanggung jawab besar namun hidup melarat pada cerpen “Pearaja Seribu Sembilan Ratus Sembilan Puluh” (halaman 52). Atau pada cerpen yang sama, ia mensyarahkan penyebab pertengkaran keluarga di Indonesia oleh hal remeh-temeh, berbeda dengan keadaan zaman Orde Baru yang lebih banyak dihiasi campur tangan penguasa. Sisipan minor macam itu menggarami cerita sehingga terkesan tajam.

Radja pun rajin berinteraksi dengan pembaca melalui narator yang hidup. Tak terhitung berapa kali ia menggunakan sudut pandang pertama, kedua, dan ketiga sekaligus pada satu cerita. Misalnya saat penggunaan sudut pandang ketiga, tiba-tiba Radja membunyikan narator melalui penggal kalimat semacam “ada baiknya kauketahui” atau “setelah kalian—para pembaca—menghabiskan tiga plot di atas” atau “jika kau sedang merasa kehilangan” atau yang lebih lugas “dan beginilah yang kuceritakan kepadamu”. Adapun pertanyaan apakah teknik demikian membuat cerita bertumpang-tindih atau bahkan rancu, penulis seolah menyerahkan penuh kepada pembaca, dan setiap pembaca tentu tak memiliki kewajiban untuk menjawab senada.

Di luar unsur substansial masing-masing cerita yang ternilai berani, ditemukan beberapa perkara teknis yang boleh dicatat sebagai sedikit evaluasi. Misalnya dalam satu paragraf, Radja menulis orang lebih dari satu (jamak) secara berbeda yaitu “orang-orang” dan “orangorang”. Hal serupa terulang beberapa kali di bagian lain sehingga sempat dipertanyakan kepentingannya. Namun terlepas itu, Pearaja Seribu Sembilan Ratus Sembilan Puluh ini, sebuah buku kumpulan cerita Tanah Batak, boleh digolongkan sebagai karya sastra yang tidak digarap dengan main-main sama sekali. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

indarka pp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email