Menunggu Debat Gagasan Transisi Energi Bakal Calon Presiden 2024

Firdaus Cahyadi

3 min read

April tahun ini, sebagian besar wilayah Asia mengalami gelombang panas. Di Thailand misalnya, dikabarkan bahwa pada akhir April, suhu terpanas mencapai 45,4 derajat celsius. Sementara di Dhaka, Ibu Kota Bangladesh, suhu panas tercatat mencapai lebih dari 40 derajat Celsius. Ini menjadi hari terpanas selama 56 tahun di Dhaka.

Gelombang panas yang melanda Asia bukan terjadi saat ini saja. World Meteorological Organization (WMO) mencatat bahwa Asia mulai mengalami gelombang panas pada 2015. Pada tahun itu suhu terpanas mencapai 54 derajat celsius.

Seperti ditulis di laman Energy Education University of Calgary, gelombang panas adalah periode cuaca panas ekstrem dan umumnya berlangsung selama dua hari atau lebih. Kenapa gelombang panas sering terjadi akhir-akhir ini?

Laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) pada 2014 telah memperingatkan bahwa suhu permukaan rata-rata Bumi berada pada 1,2 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri. Berdasarkan kondisi saat ini, Bumi akan menghangat hingga suhu  1,6 derajat Celsius. Krisis iklim sedang terjadi di bumi ini.

Baca juga:

Krisis iklim juga terjadi di Indonesia. Menurut tim peneliti BRIN, telah terjadi perubahan iklim di Indonesia selama 19 tahun, yaitu antara tahun 2001-2019. Durasi musim hujan lebih panjang di beberapa wilayah selatan di Indonesia. Banjir, tanah longsor, hingga gagal panen adalah dampak nyata dari krisis iklim itu. Kerugian ekonomi pun tak terelakkan. Hasil kajian dari Kementerian PPN/Bappenas  menunjukkan Indonesia berpotensi mengalami kerugian ekonomi hingga Rp544 triliun selama 2020-2024.

Di tengah ancaman krisis iklim itu, pemilihan presiden digelar. Saat ini setidaknya sudah ada tiga nama bakal calon presiden yang akan bertarung pada 2024. Ada nama Ganjar Pranowo, Prabowo, dan Anies Baswedan. Bagaimana sikap bacapres itu terhadap krisis iklim yang mengancam kehidupan di bumi termasuk Indonesia?

Menanti Komitmen Bakal Calon Presiden

Hingga artikel ini ditulis, tidak ada bacapres yang menunjukkan komitmennya terhadap krisis iklim. Anies Baswedan dalam sebuah pidatonya sempat melontarkan kritik terhadap subsidi mobil listrik. Anies menyarankan memperbanyak transportasi massal dan logistik berbasis listrik. Namun, nampaknya Anies gagal mendiagnosa problem transportasi massal dan logistik di Indonesia. Anies tidak mempersoalkan dari mana sumber energi listrik yang digunakan untuk mobil tersebut, dari energi terbarukan atau batu bara.

Transisi energi adalah isu krusial yang harus diperbincangkan dalam Pilpres 2024, baik oleh kandidat yang mengklaim akan melanjutkan program Presiden Jokowi atau anti-thesisnya. Transisi energi menuju energi terbarukan adalah satu-satunya pilihan untuk menghambat laju krisis iklim. Presiden Jokowi sudah berhasil menggalang pendanaan dari negara-negara maju untuk membiayai transisi energi di Indonesia. Skema pendanaan itu adalah Just Energy Transition Partnership (JETP).

Indonesia dipastikan akan berhasil melakukan transisi energi melalui progam JETP bila program itu diimplementasikan dengan benar. Sebaliknya, transisi energi di Indonesia juga dipastikan akan gagal bila JETP tidak diimplementasikan dengan buruk.

Suara Bacapres dan Keberlanjutan Transisi Energi

Salah satu contoh implementasi yang buruk itu adalah bila pemerintah mengadopsi solusi palsu untuk transisi energi dalam skema JETP. Solusi palsu itu bisa berbentuk pembiayaan teknologi untuk memperpanjang penggunaan energi fosil. Bagaimana komitmen bacapres 2024 terhadap JETP?

Jawabannya, belum atau tidak jelas. Sikap bacapres terhadap JETP sangat penting bagi keberlanjutan transisi energi di Indonesia. Pembiayaan JETP rentan untuk dibajak oleh segelintir elite ekonomi yang selama ini diuntungkan di industri energi fosil. Pembajakan itu berupa dimasukkannya solusi-solusi palsu transisi energi ke dalam proyek-proyek yang akan didanai dengan skema JETP.

Baca juga:

Solusi palsu itu antara lain berupa penggunaan teknologi yang memperpanjang penggunaan energi fosil. Salah satu teknologi itu adalah penggunaan gas untuk pembangkit listrik. Padahal gas termasuk energi fosil yang menyebabkan emisi gas rumah kaca, penyebab krisis iklim. Beberapa waktu yang lalu, muncul wacana penggunaan gas di pembangkit listrik didanai oleh JETP.

Wacana untuk membiyai solusi palsu untuk transisi energi terus berlanjut. Setelah wacana pengguanan gas masuk dalam proyek yang didanai JETP, Asian Development Bank (ADB), lembaga bisnis bantuan yang mendukung penuh Sekretariat JETP, memublikasikan iklan rekrutmen staf untuk mengisi beberapa posisi di sekretariat tersebut. Dalam iklan itu, disebutkan bahwa capaian salah satu posisi puncak di sekretariat JETP adalah menyukseskan program prioritas transisi energi JETP. Salah satu program prioritasnya adalah CCS (Carbon Capture and Sequestration).  Apa itu CCS?

CCS merupakan salah satu teknologi yang diklaim mampu memitigasi pemanasan global dengan cara mengurangi emisi CO2 ke atmosfer. Sekilas tidak ada persoalan dengan teknologi CCS ini. Namun, bila ditelisik lebih jauh lagi, CCS merupakan solusi palsu transisi energi. Penggunaan CCS akan memperpanjang penggunaan energi fosil. Transisi menuju energi terbarukan akan diganjal dengan penggunaan teknologi CCS.

Bukan hanya itu, CCS menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) lainnya. CCS menghasilkan emisinya sendiri, yang sering tidak diperhitungkan karena energi yang dikonsumsi dalam proses penangkapan. Laporan Panel Antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) mengungkapkan bahwa kemampuan CCS untuk memberikan pengurangan emisi yang berarti dalam dekade berikutnya sangatlah rendah, sementara biayanya akan sangat tinggi.

Publik tentu akan dirugikan bila transisi energi dalam JETP memaksakan solusi palsu CCS dalam proyek yang akan dibiayainya. Publik, melalui pajaknya, akan ikut membayar utang luar negeri untuk membiayai penggunaan teknologi CCS yang tidak efektif menurunkan emisi GRK ini.

Meskipun publik dirugikan dengan masuknya solusi-solusi palsu dalam skema JETP. Hingga kini para bacapres yang akan bertanding di Pilpres 2024 masih diam seribu bahasa tentang transisi energi. Belum ada gagasan yang jelas dari mereka semua, ke mana transisi energi dalam skema pendanaan JETP akan diarahkan. Publik, sebagai pemegang kedaulatan rakyat, berhak tahu gagasan para kandidat presiden terkait cara mereka mengatasi krisis iklim, termasuk transisi energi.

 

Editor: Prihandini N

Firdaus Cahyadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email