Pengamat twitter, bisa ditemui di Jakarta dan sekitarnya seperti azan magrib.

Berbagi Nasib

Inas Pramoda

8 min read

Ketika tiba pada usia tertentu, ada kalanya seseorang berhenti mencari segala hal yang baru. Ia hanya mengulang lagu-lagu yang ia dengarkan sampai kuliah, tak lagi membaca buku-buku, dan mencapai kesimpulan bahwa dunia akan terus berputar tanpa ia bertindak sebagai juru selamat.

Nanang tiba pada fase itu ketika umurnya belum genap 40 tahun dan menjadi bapak beranak dua. Semenjak anak keduanya lahir, hidup hari demi hari hanya sekelebat di matanya.

Anak pertama Nanang, seorang putri yang mewarisi rambut lurus ibunya, ia beri nama Pinar. Sementara yang kedua diberi nama agak kearab-araban, Karim. Namun, andai Nanang ditanya dari mana asal-usul kedua nama anaknya, ia bakal menjawab Turki. Keduanya sisa-sisa dari ingatan membaca Nanang yang sudah lama berlalu. Pinar yang berarti mata air dipinjam dari salah satu tokoh dalam cerpen Selahattin Demirtaş. Dan Karim awalnya ingin dieja sebagai Kerim, tokoh utama dalam novel Snow-nya Orhan Pamuk. Namun, sang istri menentangnya.

“Anakmu bakal jadi bahan tertawaan sekelas.” Istrinya lalu membeberkan sekian argumentasi untuk mencegah anak keduanya diberi nama Kerim. Ia tak tega kalau sudah dewasa kelak, nama kontak anaknya bakal ditulis Es Krim. Belum lagi betapa repot sang anak menjelaskan namanya sendiri tiap berkenalan dengan orang baru. Siapa namamu? Kerim. Karim? Kerim, E, pakai E taling, Kerim, K-E-R-I-M.

“Duh, bayangin di kepala aja bikin gila!” gerutu istrinya. Nanang menyerah.

“Ya sudah, Karim, Karim.” Ia bilang begitu sambil membatin, bukankah istrinya juga yang sempat ingin menamai anaknya Xavier, hasil dari pencarian “100 nama bayi laki-laki terbaik sepanjang masa” di internet. Andai saja sang istri tidak disadarkan Nanang untuk melupakan ide itu, anak mereka bakal menjadi kepala sekolah mutan dengan kepala botak. Kerim jauh lebih mending ke mana-mana.

Lepas kelahiran anak kedua, sang istri memutuskan pensiun dari kantor meski gajinya sedikit lebih baik dari Nanang. Ia tak ingin mengulangi kesalahan yang sama ketika Pinar masih menyusui dulu. Waktu itu, seingatnya usia Pinar baru 14 bulan. Tata sudah menyetok ASI perah hingga 30-an kantong. Seperti biasanya, ia berangkat kerja setelah bibi pengasuh datang. Jam sebelas siang, Bibi mengabari Pinar masih anteng di kasurnya; sesekali terbangun, lalu lanjut terpejam. Tata bilang, pagi tadi anaknya memang menyusu lumayan lama.

Ia lanjut bekerja hingga jam makan siang. Di meja kantin, baru dua suap mulutnya mengunyah tumis pare, Bibi menelepon. Katanya, “Bu, susu di kulkas cair.” Tata langsung meletakkan sendok dan melupakan gurauan sepanjang jam istirahat.

“Pintu kulkasnya kurang rapet, Bu,” lanjut Bibi. Bayangan adegan pagi itu berkelebat di atas piring. Tata baru saja memerah dua kantong susu. Empat rak kulkasnya penuh dengan kantong gemuk-gemuk yang membeku. Seketika ia dihantui perasaan ragu, sudahkah ia menutup sempurna pintu kulkas itu? Namun, panggilan Bibi barusan dengan kejam meyakinkannya. Tubuhnya mendadak lemas.

“Berapa yang cair, Bi?” suaranya tergesa-gesa. Bibi tak langsung menyahut.

“Semua, Bu.”

Mendengar jawaban Bibi, nafsu makan Tata langsung rontok tak bersisa. Nyawanya hanyut setengah dan telinganya mendadak tuli mengabaikan panggilan Bibi berkali-kali. Ketika dunia di sekelilingnya berjalan kembali, kepalanya masih terasa berat; pikirannya masih tak fokus; dan ia segera memutus panggilan setelah menyuruh Bibi memastikan adakah kantong susu yang masih setengah beku. Hari itu, Tata pulang lebih cepat dari biasanya. Langkah kakinya lebih panjang dan terburu-buru seperti menghindari penagih utang.

Pinar mencret dua hari setelah diberi kantong ASI yang didinginkan kembali. Sementara payudara Tata ajaibnya kian mengempis dan pasokan susunya kian irit, hingga pada hari kesekian setelah insiden itu, dadanya tak lagi menjadi mata air. Ia tak habis pikir bagaimana susunya bisa kering kerontang padahal belum waktunya menyapih. Sambil menangis ia bercerita ke suaminya dan membodoh-bodohi diri sendiri. Kata Nanang, tubuh perempuan memang ajaib, dari darah bisa jadi susu, dari susu bisa jadi kehidupan.

“Kadang bisa saja kejadian ASI berhenti sebelum waktunya, mungkin karena pikiran, mungkin memang waktunya berhenti,” ujar Nanang. “Aku malah pernah dengar ada yang belum menikah tapi susunya udah rembes.”

“Siapa? Temanmu?”

“Ada, kenalanku,” jawab Nanang ragu-ragu. “Gak dekat juga, cuman kenal.” Ia tak memberitahu istrinya kalau yang dimaksud adalah tokoh Srintil di novel Ronggeng Dukuh Paruk. Sepanjang pernikahan mereka, lelaki itu rela membual apa saja agar istrinya tak cemas.

Ketika anak kedua mereka lahir, usia Pinar menjelang masuk taman kanak-kanak. Ekonomi rumah tangga yang biasa ditopang dua kaki itu lantas tinggal sebelah usai Tata memutuskan jadi ibu rumah tangga penuh waktu. Dan Nanang terpaksa memberhentikan Bibi setelah empat tahun ikut keluarga kecil mereka. Di awal-awal kepergian Bibi, Pinar masih sering menanyakannya.

“Ibu mana? Ibu mana?” gadis mungil yang kosakatanya masih terbatas itu memanggil Bibi dengan sebutan Ibu, sementara Tata dipanggil Mama. Ditanya begitu, Tata hanya menjelaskan singkat kalau Bibi pulang kampung. Sepertinya Pinar puas dengan jawaban tadi, meski esok harinya masih bertanya hal yang sama macam alarm pagi yang lupa disetel. Usai sebulan lewat, baru ia setengah melupakan Bibi yang ikut mencebokinya sejak bayi.

Karim tumbuh ikut bapaknya. Rambutnya ikal seperti kemoceng; matanya lebar seperti sumur; dan suka tidur bertelungkup. Lain dengan kakaknya yang doyan mengoceh sejak tiga bulan, Karim ogah-ogahan bersuara selain berteriak dan merengek hingga usianya tiga tahun. Di lengan kanannya ada tanda lahir pas di lipatan siku, dan tiap hari bocah itu takjub sendiri memperhatikan bekas hitam yang besarnya satu jempol itu.

Nanang dan Tata hampir saja punya tiga anak seandainya tak keguguran. Kurang sebulan dari perkiraan hari lahir anak ketiganya, malam-malam Tata mengeluh perutnya nyeri. Sebelum dibawa ke dokter, sakitnya mereda dan hilang sama sekali. Ia lalu melanjutkan tidur. Besok sorenya, nyeri semalam datang lagi, kali ini ditambah darah pekat yang mengucur dari selangkangan. Badannya seketika lemas. Nanang segera menelepon Bibi, memintanya menjaga Pinar dan Karim di rumah, lalu bergegas ke rumah sakit membonceng istrinya berdarah-darah di jok belakang.

Kata dokter, tali pusar anak mereka putus dalam rahim, dan nyawanya sudah padam sejak pagi. Bisa jadi karena janin terlalu aktif bergerak, atau ibunya habis jatuh. Nanang tak ingin tahu yang mana kebenarannya. Ia merasa tak perlu tahu. Ketika melihat istrinya berada dalam satu ruangan bersama tiga ibu yang habis melahirkan dan menimang anak mereka, Nanang hanya ingin cepat-cepat istrinya dikeluarkan dari sana. Ia komplen ke petugas rumah sakit karena merasa sang istri punya asuransi BPJS kelas 1.

“Di sini tercatat kelas 3 Pak, maaf,” ucap petugas.

Mendengar itu, amarah Nanang beralih ke kantornya yang sesumbar. Semua pekerja seharusnya dapat asuransi kelas 1. “ASU!” umpatnya dalam hati, sambil mengutuki kedunguannya yang tak teliti mengecek potongan gajinya tiap bulan.

“Pokoknya saya mau istri saya dipindahin secepatnya. Kamar sendiri.” Kali ini suaranya terdengar lantang, sebelum ditelan kembali setelah mendengar biaya pindahnya seharga lebih dari satu kali gajinya. Ketegasannya sirna sudah dan jengkelnya berlipat ganda. Ia melirik ke arah ruangan istrinya terbaring dengan perasaan bersalah. Tata tidur di sana selama dua hari yang terasa selamanya.

Setelah kematian anak ketiga mereka, pasangan itu tak lagi ingin menambah anak yang akan membuat rumah mereka menyesak. Beruntung Pinar tak banyak bertanya ke mana adiknya pergi. Ia sepertinya merasa cukup punya satu adik, dan jelas belum mengerti kalau manusia bisa mati seperti nyamuk yang biasa merubungi kakinya. Sementara itu, tak ada yang berubah untuk Karim. Ia masih yang paling muda dan masih tak banyak bicara. Hanya saja ketertarikannya dengan tanda lahir di lengan kanannya tak seantusias dulu. Sepertinya ia sadar hal-hal yang bergerak dan menghilang lebih menarik ketimbang yang diam dan menetap. Maka ia lebih suka diajak jalan-jalan bapaknya keluar rumah, melihat serangga-serangga beterbangan dan awan berarak pulang. Ia lebih girang lagi setiap diajak pulang kampung ke rumah nenek. Sementara bagi Nanang, perjalanan pulang ke rumah masa kecilnya tak hanya selalu menyenangkan dan menghangatkan, tetapi juga menyesakkan.

Sang ibu yang sudah menjanda sejak Nanang masih kuliah kini hanya tinggal berdua dengan adik bungsunya, Septi. Waktu ditinggal mati bapaknya, Nanang hanya diam sepanjang hari menggantikan air matanya yang terpendam. Ia ingat diminta sang bapak jangan menangisi kematiannya. Sepanjang hidup Nanang, ia bukan anak yang penurut. Disuruh sekolah yang rajin malah kabur-kaburan; disuruh ingat Allah malah mabuk-mabukan; disuruh kuliah malah kerja serabutan; disuruh kerja malah kuliah. Maka meski hanya sekali, ia ingin mematuhi perintah bapaknya.

Ketika melihat jasad sang bapak terbungkus kafan, baru sekali itu Nanang merasa kematian begitu dekat. Dan setelah melihat jasad itu terkubur dalam tanah, baik kematian maupun orang mati tak lagi membuatnya ngeri. Kini, pulang ke rumah selalu mengingatkan Nanang bahwa bapaknya telah tiada dan ibunya perlahan menyusut menua. Perempuan itu sudah hidup lama dan tiap beranjak tidur selalu berpikir itu hari terakhirnya. Berkali-kali tebakannya meleset; berkali-kali ia bersyukur; dan berkali-kali ia kembali bersiap seperti pengantin baru menyambut malam pertama.

Tiap Nanang menghitung umur ibunya, ia turut menghitung tahun-tahun yang ia lewati tanpa berada di sisinya. Sewaktu masih sekolah menengah dulu, ia kerap berandai-andai bagaimana rasanya menjadi orang dewasa. Bayangannya sesederhana bisa beli makan dengan uang sendiri. Tak ia sangka setelah dewasa hari-harinya dilewati dengan menebak-nebak siapa yang akan lebih dulu pergi. Ketika melihat dua anaknya pulas di samping istrinya, ia setidaknya ingin hidup sampai menyaksikan keduanya menikah. Dan ketika melihat ibunya tiap pulang kampung, ia berharap perempuan itu hidup setidaknya sampai ia merasa cukup dewasa untuk melepasnya pergi.

Suatu hari di bulan September, Nanang hanya pulang kampung berdua dengan Pinar. Awalnya ia ingin pergi seorang diri setelah adiknya menelepon kalau ibu mereka diserempet motor saat berjualan es lilin. Nanang muntab mendengar ibunya ditinggal begitu saja dan hanya diberi sangu 50 ribu rupiah. Ia pamit ke istrinya bakal pergi paling lama tiga hari, tetapi Pinar merengek minta ikut.

“Udah ajak aja Mas, terakhir ketemu mbahnya kan tahun lalu. Lebaran kemarin juga gak pulang.” Nanang luluh bukan karena bujukan istrinya, tapi wajah anaknya yang merajuk sambil sesenggukan. Jadilah bapak beranak itu pulang naik kereta. Pinar berjanji tak akan rewel setelah ditakuti bapaknya bakal ditinggal di tengah jalan.

Ibu Nanang tak tahu anaknya bakal pulang. Begitu melihat anak keduanya berdiri di depan pintu memanggilnya, ia langsung masuk ke kamar Septi dan memarahi anak bungsunya itu. “Wis dibilangin jangan cerita-cerita ke Masmu!” Septi minta ampun. Di ruang makan, gantian ia disidang anaknya sendiri. Kapan kejadiannya? Di mana? Siapa yang nabrak? Pakai motor apa? Diberondong rentetan pertanyaan begitu, ia hanya bernapas berat sambil berkomentar singkat. “Masmu pengacara, kok adiknya malah jadi jaksa.” Septi hanya mengintip dari celah pintu dan baru memberanikan diri keluar saat kebelet pipis.

Keributan pagi-pagi itu dihentikan langkah Pinar yang mendekati neneknya dan segera menangkap kedua kakinya. “Ayunan, ayunan,” ucap Pinar. Sang nenek segera mengangkat kakinya sekuat tenaga dan menghabiskan seluruh napasnya untuk menanggung beban Pinar. Sepasang tungkai itu hanya berayun sekali dan buru-buru dihentikan Nanang sebelum tulang kering ibunya patah. Melihat cucunya heboh mengajak bermain, perempuan tua itu mendapat alasan untuk mengabaikan kekhawatiran anaknya yang berlebihan. “Sini sini main sama Uti.” Nanang menyerah dan emosinya pelan-pelan mereda melihat anaknya bergelayutan di leher ibunya.

Saat itulah perasaan yang asing menyergap Nanang. Melihat ibunya menggendong Pinar membuat matanya melihat lebih jelas kerutan-kerutan di wajah sang ibu; kulitnya yang mengkerut seperti plastik dijilat panas api; tulang di persendiannya yang seakan mau meloncat keluar; hingga rambutnya yang sempurna putih dan kian berjarak. Ada perasaan bahagia ketika Nanang menyaksikan putrinya tumbuh semakin cantik, tetapi rasa itu bercampur dengan kesedihan mendalam menyaksikan ibunya menua. Nanang lalu sekilas teringat pelajaran bahasa semasa sekolah dan membatin, mungkin pemandangan inilah yang dinamakan oksimoron. Seperti batu nisan berdamping kembang kamboja. Tanpa sepengetahuan mereka berdua, Nanang keluar rumah, menyeka air matanya yang mendadak jatuh makin jauh.

Setelah menginap semalam, Nanang pamit seusai azan Magrib berkumandang dari langgar belakang rumah. Niatnya menghajar penabrak ibunya pupus. Nanang pulang dengan dua kantong tempe yang sudah diiris-iris tipis ibunya untuk dibuat mendoan. Ketika Tata melihat suaminya di depan pintu, ia seperti melihat seorang pengembara yang tak pulang bertahun-tahun lamanya. Pria yang dinikahinya sejak delapan tahun silam itu langsung tertidur pulas di kasurnya setelah mengganti baju, dan ia baru bangun esok harinya menjelang berangkat kerja. Lalu hari-hari datang dan pergi seperti biasanya. Pagi menunggu malam, malam menunggu pagi. Hingga pada suatu hari di bulan Januari, waktu berhenti sejenak bagi Nanang.

Sepulang kerja, ia menonton beberapa penumpang kereta ribut berebut keluar-masuk di stasiun transit. Badannya terdesak hingga punggungnya bersandar pada pintu yang tertutup. Seorang bapak-bapak memaksa pemuda yang ketiduran memberikan kursinya ke seorang perempuan yang menggandeng anak. Kereta berangkat tanpa memedulikan orang-orang yang ketinggalan di peron.

Nanang memperhatikan segala kegaduhan di gerbong dari balik earphone dan suara nyaring Anthony Kiedis menyanyikan album Snow sambil disela iklan Spotify. Setelah melewati enam stasiun, sudah dua kali panggilan masuk dari adiknya tak terjawab. “Nanti Mas telepon, masih di kereta,” tulis Nanang.

Sampai stasiun tujuan, ia segera menelepon balik adiknya sambil menyesap kopi kaleng di jalan menuju parkiran motor. Septi menangis dari seberang. Butuh hampir semenit untuk Nanang mendapat jawabannya. “Mas, Ibu meninggal.” Nanang mempercepat langkahnya sampai ke rumah setelah mendapat kabar itu. Di atas motornya, lagu RHCP masih terus meraung-raung tapi liriknya berceceran sepanjang jalan.

Mendengar suara motor ayahnya diparkir di depan rumah, Pinar segera berlari kegirangan menyambutnya seperti anak burung dibawakan makan. Kaki Nanang dipeluk erat dan tangan Pinar menggapai-gapai ke atas minta digendong. Nanang ingat waktu putrinya itu baru empat bulan, ada panggilan dari istrinya selagi ia menunggu kereta malam tiba. Tata menangis-nangis karena Pinar terjerembab dari kasur saat ditinggal sebentar ke kamar mandi. Muka istrinya masih sembab setibanya di rumah. Ia lalu membayangkan seberapa sering ibunya menangisinya dulu. Perempuan yang paling mengkhawatirkan hidupnya itu kini telah tiada.

Ketika ia masuk kamar sambil menggendong Pinar di dadanya, gantian Karim memeluk kakinya. Anak bungsunya yang irit bicara dan belum pernah berkata-kata dengan jelas itu memanggilnya dua kali. “Papa, Papa.” Kedua tangannya menggapai-gapai ke atas dan air mata ayahnya turun tanpa kata-kata. Sementara Tata hanya menunggu suaminya menuntaskan tangisnya yang sudah lama dipendam. Delapan tahun berbagi nasib, ia segera tahu jiwa lelaki itu sedang berguncang hebat setelah mata mereka bertemu pandang. Suatu hari di bulan Januari, waktu berhenti di rumah Nanang hingga air matanya tak mengalir lagi.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Inas Pramoda
Inas Pramoda Pengamat twitter, bisa ditemui di Jakarta dan sekitarnya seperti azan magrib.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email