Kala Jokowi Memunggungi Lautan di Tengah Krisis Iklim

Firdaus Cahyadi

2 min read

Pada pidato kenegaraan pertamanya di MPR/DPR pada 2014 silam, Pak Jokowi pernah mengatakan, “kita telah lama memunggungi samudra, laut, selat, dan teluk. Maka, mulai hari ini, kita kembalikan kejayaan nenek moyang sebagai pelaut pemberani. Menghadapi badai dan gelombang di atas kapal bernama Republik Indonesia.”

Tepuk tangan pun bergema. Bagaimana tidak, sejak Orde Baru berkuasa, orientasi pembangunan di Indonesia memang lebih banyak ke daratan. Para pengambil kebijakan pada saat itu lupa atau sengaja melupakan bahwa Indonesia adalah negeri sejuta lautan. Lautan di Indonesia bukan pemisah antarpulau, melainkan penghubung. Setelah Gus Dur menjadi presiden, barulah sektor kelautan kembali mendapatkan perhatian.

Sayangnya, Presiden Jokowi kini seperti melupakan pidatonya sendiri. Bagaimana tidak, setelah dilarang selama 20 tahun, ekspor pasir laut kembali dibuka dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Kini, Jokowi sendiri yang sedang memunggungi lautan.

Eksploitasi Lautan

Pembukaan ekspor pasir akan meningkatkan eksploitasi terhadap dasar lautan. Ini tentu akan membawa konsekuensi bagi perubahan geomorfologi dari wilayah yang dieksploitasi. Perubahan geomorfologi laut itu berdampak pada perubahan pola arus laut dan gelombang. Artinya, wilayah pesisir semakin rentan terkena abrasi.

Baca juga:

Tanpa aktivitas penambangan pasir laut saja, saat ini wilayah pesisir terancam terkena abrasi akibat krisis iklim. Selain itu, penurunan muka tanah juga terjadi akibat pembangunan serta eksploitasi air tanah di daratan. Krisis iklim membuat hampir semua wilayah pesisir di dunia semakin rentan tenggelam.

Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), atau Panel Antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim tahun 2021 silam, di kawasan Asia Tenggara kenaikan permukaan air laut akan lebih cepat terjadi dibandingkan daerah lain.

Menurut catatan Prof. Edvin Aldrian, pakar iklim dan meteorologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), hilangnya wilayah pesisir dan kemunduran garis pantai di Asia Tenggara telah diamati dari tahun 1984-2015. Hilangnya wilayah pesisir itu menunjukkan peningkatan. Hal itu diperparah Tingkat Total Ekstrem Air (Extreme Total Water Level/ETWL) lebih tinggi di daerah dataran rendah dan erosi pantai mulai terjadi di sepanjang pantai berpasir.

Hal yang sama diperkuat oleh hasil kajian Bappenas (2021) terkait dengan Coastal Vulnerability Index (CVI). Kajian tersebut mengklasifikasikan tingkat kerentanan berdasarkan parameter fisik dan oseanografi. Hasil kajian tersebut menunjukkan panjang garis pantai terdampak dengan kategori CVI tertinggi (indeks 5) sepanjang 1819 km. Adapun Pulau Sulawesi memiliki indeks kerentanan tertinggi dengan 904.51 km.

Kawasan Pesisir Terancam Tenggelam

Krisis iklim telah menyebabkan kawasan pesisir terancam tenggelam. Kawasan ekosistem pesisir akan semakin rentan rusak akibat gelombang pasang. Jika itu terjadi, ekonomi di kawasan itu akan kolaps. Nelayan dan masyarakat pesisir akan jatuh ke dalam jurang kemiskinan. Eksploitasi pasir laut untuk diekspor akan menambah dan mempercepat tenggelamnya wilayah pesisir di Indonesia.

Penelitian di internal pemerintah sudah mengemukakan kerentanan wilayah pesisir. Penelitian itu tidak boleh hanya menjadi tumpukan kertas yang tak bermakna. Penelitian ini harus menjadi pijakan bagi pengambilan kebijakan.

Publik juga tidak boleh tinggal diam. Para pendukung Presiden Jokowi juga harus mengingatkannya bahwa kebijakan pemerintah tentang izin ekspor pasir laut akan memperburuk kerusakan wilayah pesisir dan kehidupan masyarakatnya. Para pendukung Presiden Jokowi tidak boleh membiarkan presiden pilihannya terjerumus oleh kepentingan para para pemilik modal di lingkaran kekuasaan.

Baca juga:

Publik harus mengingatkan Presiden Jokowi terhadap pidato pertamanya pada tahun 2014 yang akan menghentikan kebiasaan memunggungi lautan. Kebijakan yang memperbolehkan ekspor pasir adalah contoh nyata kebijakan yang memunggungi lautan.

Belum terlambat bagi Presiden Jokowi untuk menghindari kerusakan alam di kawasan pesisir. Ia perlu segera mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Presiden Jokowi tidak perlu malu untuk mengoreksi peraturan yang salah dan berpotensi merugikan lingkungan hidup dan masyarakat pesisir.

Upaya untuk menghentikan kebiasaan memunggungi lautan harus dimulai dari istana kepresidenan sendiri. Presiden harus memeriksa orang-orang di lingkarannya yang memiliki kepentingan bisnis tanpa mengindahkan dampak lingkungan hidup di tengah krisis iklim. Bagaimanapun, keselamatan rakyat, termasuk rakyat di sekitar pesisir harus lebih diutamakan daripada keberlanjutan akumulasi laba dari segelintir elite ekonomi dan politik yang saat ini kebetulan sedang berada di sekitar istana kepresidenan.

Presiden Jokowi, di akhir masa jabatannya, tentu tidak ingin meninggalkan jejak ekologi yang akan berdampak buruk bagi masyarakat di kawasan pesisir. Di akhir masa jabatanya, Presiden harus lebih mendengar suara rakyatnya daripada elite ekonomi dan politik di sekitarnya yang akan mengeruk keuntungan dengan ekspor pasir laut.

 

Editor: Prihandini N

Firdaus Cahyadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email