Kasus pencetakan uang palsu yang melibatkan staf UIN Alauddin Makassar menyodorkan kenyataan yang tak terbantahkan: kampus, institusi yang seharusnya menjadi benteng kebenaran dan pengembangan moralitas, bisa saja terperosok ke dalam kekelaman kejahatan terorganisir.
Kejahatan ini lebih dari sekadar sebuah insiden; ia menggerogoti berbagai lapisan masyarakat, dari dunia pendidikan hingga struktur ekonomi yang lebih besar. Ketika seorang kepala perpustakaan, yang seharusnya menjadi penjaga pengetahuan, justru berperan dalam kejahatan ini, dengan menyediakan ruang dan fasilitas untuk mencetak uang palsu, kita dihadapkan pada sebuah ironi yang mencengangkan. Sebuah ironi yang memaksa kita untuk mempertanyakan kembali apa itu integritas, kejujuran, dan nilai-nilai yang seharusnya menjadi pilar utama bagi setiap lembaga pendidikan tinggi?
Institusi Pendidikan dan Jaringan Kriminal
Modus operandi sindikat kejahatan yang terungkap baru-baru ini benar-benar mengguncang masyarakat dan membuka mata kita akan kedalaman jaringan kriminal yang merambah ke dalam institusi pendidikan. Ternyata, Kepala Perpustakaan UIN Alauddin Makassar, berinisial AI, memegang peran sentral dalam operasi ilegal yang sangat terstruktur ini. Ia bukan sekadar pemimpin sebuah perpustakaan—yang seharusnya menjadi wadah pengembangan ilmu pengetahuan—tetapi juga otak di balik serangkaian kegiatan kriminal yang menghancurkan integritas dan nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi di lingkungan pendidikan.
AI diketahui membuka fasilitas di perpustakaan kampus—sebuah tempat yang seharusnya digunakan untuk mendalami dan menyebarkan pengetahuan—untuk kegiatan ilegal yang mencakup pencetakan uang palsu, termasuk mata uang asing dari negara-negara seperti Korea Selatan dan Vietnam. Tak hanya itu, ia juga terlibat dalam pencetakan surat berharga negara dan sertifikat deposit Bank Indonesia.
Perpustakaan, yang mestinya menjadi tempat yang aman dan kondusif bagi pencarian ilmu, malah digunakan sebagai sarana untuk meraih keuntungan pribadi dan kelompok melalui cara-cara licik yang sangat terorganisir. Kejadian ini mencerminkan betapa rapuhnya pengawasan dalam institusi pendidikan. Ini tentu sangat merugikan dan bertentangan dengan nilai-nilai moral serta etika yang seharusnya dijunjung tinggi dalam dunia akademik.
Selain AI, sindikat ini juga melibatkan sejumlah individu lainnya, seperti MS dan ASS, yang memiliki peran penting dalam kasus pencetakan uang palsu ini. Meskipun ASS belum resmi ditetapkan sebagai tersangka, keterlibatannya dalam jaringan ini mengungkapkan bahwa kejahatan terorganisir ini tak hanya melibatkan individu dari dunia kampus, melainkan juga aktor eksternal, termasuk politisi dan pengusaha. Fakta bahwa ASS sempat berencana maju dalam Pilkada Sulsel 2024 menambah dimensi baru yang kompleks dalam kasus ini, memperlihatkan bagaimana dunia pendidikan bisa terjebak dalam jaring kejahatan yang jauh lebih besar, yang melibatkan berbagai sektor kehidupan.
Hilangnya Kepercayaan terhadap Kampus
Kerusakan reputasi yang ditimbulkan oleh peristiwa ini tak bisa dipandang sebelah mata. UIN Alauddin Makassar, sebagai lembaga pendidikan tinggi, seharusnya menjadi benteng utama dalam membangun moralitas dan intelektualitas generasi muda. Namun, dengan terungkapnya kasus ini, kepercayaan publik terhadap kampus tersebut—dan mungkin terhadap sistem pendidikan tinggi secara keseluruhan—terancam hancur. Bahkan setelah kasus uang palsu itu terkuak, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UIN Alauddin merasa perlu mendesak rektor untuk mundur, dengan tuduhan adanya pihak lain yang terlibat dalam kampus. Hal ini menggambarkan seberapa dalam dampak yang ditimbulkan oleh insiden tersebut terhadap persepsi mahasiswa dan masyarakat luas mengenai integritas kampus ini.
Namun, reaksi kampus sendiri hanya mencerminkan langkah-langkah formal yang minim: kedua oknum yang terlibat dipecat dengan cara yang memalukan. Tak ada langkah konkret yang diambil untuk mengatasi masalah ini dengan sungguh-sungguh. Ketidaktahuan dan ketidaktransparanan dalam menangani kasus ini memperlihatkan betapa rapuhnya manajemen kampus dalam menghadapi krisis besar seperti ini. Sebagai institusi pendidikan tinggi, seharusnya ada prosedur yang jelas dan terbuka dalam menangani skandal semacam ini, tak hanya untuk menjaga integritas akademik, tetapi juga untuk memulihkan kepercayaan publik yang telah tercabik-cabik.
Dari sudut pandang saya, kasus ini merupakan pengkhianatan terhadap nilai sejati pendidikan itu sendiri. Kejadian ini adalah contoh nyata dari bagaimana keserakahan dan ambisi kekuasaan bisa mengalahkan prinsip-prinsip moral yang seharusnya dijunjung tinggi oleh individu dan lembaga. Dalam dunia pendidikan, yang seharusnya menjadi tempat untuk mencari kebenaran dan mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan, peristiwa ini mengungkap kenyataan pahit bahwa pengetahuan bisa disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.
Perpustakaan, yang seharusnya menjadi simbol pengetahuan dan kebenaran, malah terjerumus menjadi pusat kegiatan kriminal. Ini adalah ironi yang memilukan, karena tempat yang seharusnya memancarkan cahaya pengetahuan kini telah berubah menjadi sarang kegelapan yang mengotori integritas moral dan akademik.
Pendidikan, yang seharusnya mengajarkan kebenaran, kejujuran, dan nilai-nilai moral lainnya, kini disalahgunakan untuk tujuan yang jauh dari kebaikan. Ini adalah bukti bahwa pengetahuan tanpa moralitas bukanlah kekuatan yang membangun, melainkan senjata yang merusak dan menghancurkan, menciptakan ketidakadilan dan merampas harapan akan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Reformasi Pendidikan Tinggi
Kasus ini harus menjadi seruan yang tak bisa diabaikan untuk reformasi di dunia pendidikan tinggi Indonesia. Perguruan tinggi harus bertindak lebih tegas dan transparan dalam menanggapi skandal semacam ini. Pihak kampus wajib melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh fasilitas dan sumber daya yang ada, memastikan tidak ada ruang bagi penyalahgunaan. Lebih dari itu, sistem pengawasan dan manajemen internal harus diperbaiki secara drastis, agar kejadian serupa tak terulang di masa depan. Ini bukan sekadar soal perbaikan administratif, tetapi tentang memulihkan kepercayaan dan menjaga integritas lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi pelopor kejujuran dan keadilan.
Reformasi ini harus dimulai dari dalam, dengan menanamkan nilai-nilai etika dan moral pada setiap lapisan pendidikan. Mahasiswa tak hanya harus dilatih untuk menguasai ilmu pengetahuan, tetapi juga untuk mengaplikasikan nilai-nilai moral dalam tindakan mereka sehari-hari. Pendidikan tak boleh terjebak hanya pada penguasaan materi, tetapi harus mencakup pembentukan karakter yang teguh dan integritas yang tak mudah digoyahkan.
Kampus, sebagai tempat pembelajaran, harus menjadi contoh utama dalam menerapkan prinsip-prinsip kejujuran, transparansi, dan keadilan, menegakkan nilai-nilai tersebut dengan konsisten, bukan hanya dalam teori, tetapi juga dalam praktik nyata. Jangan sampai muncul perkataan di masyarakat: “kampus bukannya mencetak mahasiswa unggul, malah mencetak uang palsu!”.
Pada akhirnya, kasus ini menjadi peringatan keras yang tak bisa diabaikan, bahwa dunia pendidikan harus selalu mengutamakan integritas dan moralitas dalam setiap gerakannya. Tanpa dua landasan tersebut, pengetahuan bukan lagi suatu kekuatan yang mulia, melainkan hanya alat untuk manipulasi, merusak dan menghancurkan.
Dari tragedi ini, kita harus merenungkan bahwa moralitas adalah kompas yang seharusnya memandu setiap langkah kita, baik di dalam dunia akademik maupun di luar. Jika kita lalai menjaga nilai-nilai ini, maka kita tak hanya akan kehilangan reputasi, tetapi juga arah dan tujuan sebagai masyarakat yang berkeadilan dan bermartabat.