Ini kisah tentang Budi Darma sebagai seorang manusia. Ketika karya-karyanya tak akan habis untuk dibaca dan dimaknai ulang, di hari kepergiannya ini saya memilih untuk mengingat Pak Budi – demikian saya biasa memanggilnya – dari hal-hal kecil yang saya ingat tentangnya.
Pagi itu di pertengahan 2016, saya bersama Mbak Hetty Purnamasari, dosen Universitas Dr. Soetomo yang kini menjabat sebagai Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di universitas tersebut, menjemput Pak Budi ke rumahnya. Pak Budi yang sudah siap, menunggu kedatangan kami sambil membaca koran. Sepanjang perjalanan kami berbincang tentang sarapan bubur ayam, tentang studi doktoral Mbak Hetty yang dulu dibimbing Pak Budi, tentang kolom-kolom saya di Jawa Pos yang ternyata selalu dibaca oleh Pak Budi.
Setiba di Unitomo, kami langsung menuju ke ruangan tempat acara bedah buku akan dilaksanakan. Pak Budi Darma akan mengulas novel kelima saya, Kerumunan Terakhir. Pak Budi, seorang sastrawan besar dan guru besar sastra, mengupas novel saya dengan rinci, mengurai isinya tanpa sibuk berteori. Sebagai seseorang yang berkarier di kampus sedari muda hingga pensiun, Pak Budi begitu menjiwai – “relate” kalau kata anak sekarang – kisah bapak Matajaya dalam novel tersebut. Bapak Matajaya yang seorang profesor kampus ternama, ternyata tukang main wanita, punya selingkuhan di mana-mana. Begitu Pak Budi menceritakan ulang novel tersebut.
Dalam perjalanan kepengarangan saya yang baru seumur jagung ini, saya telah mengikuti cukup banyak bedah buku dengan banyak pembicara. Berbagai pengalaman itu cukup untuk membuat kekaguman saya pada Pak Budi hari itu tak bisa dibendung. Betapa rendah hatinya ia sebagai seorang legenda di dunia sastra, mau membedah buku dari orang yang bukan siapa-siapa dengan begitu serius dan seksama. Betapa besar jiwanya hingga sedikit pun tak merasa bahwa marwahnya sebagai seorang besar akan turun jika harus duduk setara dengan mereka yang masih pemula. Dan betapa profesionalnya ia sebagai seorang sarjana, seorang ilmuwan, untuk terus membuka mata terhadap karya-karya baru dan penulis baru.
Pertemuan di Surabaya itu sesungguhnya bukan pertemuan pertama saya dengan Pak Budi Darma. Sebelumnya kami berjumpa di Jakarta, saat ASEAN Literary Festival mengundangnya sebagai salah satu pembicara. Saya yang saat itu mengelola program festival, sengaja membuat sesi di mana Pak Budi satu panggung bersama penulis muda, Guntur Alam dan Pringadi Abdi Surya. Sama sekali tak ada keengganan bagi Pak Budi untuk berbagi meja dengan mereka yang bagi kebanyakan orang masih akan dianggap bukan siapa-siapa. Pak Budi justru menganggap itu sebagai sebuah panggung terhormat.
Pertemuan tatap muka terakhir saya dengan Pak Budi terjadi tak sengaja pada pertengahan 2018 di Universitas Negeri Malang. Saat itu saya sedang dalam rangkaian perjalanan untuk mempromosikan dua buku pertama seri Mata. Pak Budi datang dari Surabaya untuk menguji promosi doktor di UN. Prof Djoko Saryono dari UN mempersilakan kami untuk berbincang di ruangan. Pak Budi mengucapkan terima kasih karena saya bersedia menulis blurb untuk cetakan baru Olenka, padahal kenyatannya sayalah yang mendapat kehormatan besar karena bisa turut memberi blurb untuk karya besar tersebut.
Saya lalu bercerita tentang rencana studi doktoral saya di Singapura. Pak Budi kemudian menyebut sederet nama yang harus saya temui saya saat di Singapura nanti. Tentu ini tak mengherankan, sebab Pak Budi telah malang melintang di Singapura sejak puluhan tahun lalu sebagai pengajar sastra Indonesia di National Institute of Education (NIE). Semua ahli sastra di Singapura pasti pernah turut merasakan diajar Pak Budi, termasuk supervisor PhD saya di National University of Singapore saat ini, Azhar Ibrahim. Usai perjumpaan di Malang tersebut, Pak Budi menyempatkan diri menulis email ke saya dengan ditembuskan ke beberapa orang yang dikenalnya di Singapura.
Beberapa minggu setelah pertemuan di Malang, Pak Budi membuat akun Facebook dan mengunggah gambar buku baru saya di rak toko buku. Ternyata Pak Budi baru saja ke sebuah toko buku di Surabaya. Kami beberapa kali bersapa lewat Facebook, hingga kemudian pandemi datang, dan kami pun berkesempatan bersua lewat zoom dalam sebuah acara yang diselenggarakan Kantor Bahasa Jambi. Acara tersebut bertajuk Budaya Populer dan Sastra Indonesia. Saya dan Pak Manneke Budiman didapuk jadi pembicara. Betapa kagetnya saya ketika melihat wajah Pak Budi Darma turut muncul di layar.
Ketika presentasi saya jelas-jelas menampilkan karya Pak Budi sebagai apa yang saya sebut sebagai bagian dari “sastra perlawanan”, Pak Budi menanggapi pemaparan saya dengan mengulas buku-buku lain yang saya sebut dan sama sekali tak mau membicarakan bukunya sendiri. Budi Darma adalah orang yang betul-betul sudah selesai dengan dirinya sendiri, tak butuh pengakuan dan pemujaan.
Terakhir kali kami berada dalam satu layar adalah pada malam penganugerahan Cerpen Pilihan Kompas, 28 Juni 2021 di mana karya kami sama-sama masuk dalam daftar pilihan tersebut. Tepat sebulan kemudian, 28 Juli, saya menerima kabar dari Mbak Hetty bahwa Pak Budi dan keluarganya terkena Covid. Saat itu saya langsung merinding, membayangkan perjuangan Pak Budi melawan Covid di usianya yang sudah 84 tahun. Saya menulis pesan di media sosial dan Whatsapp group meminta teman-teman agar mendoakan Pak Budi dengan harapan agar doa bisa membawa keajaiban.
Pagi ini, kabar kematian itu datang tepat saat saya sedang mengisi acara untuk Badan Bahasa yang salah satunya mengulas karya Budi Darma.
Saya kehilangan sosok guru, sosok teladan, seseorang yang sering membuat saya merasa malu pada diri sendiri. Selamat jalan, Pak Budi.
Singapura, 21 Agustus 2021