mahasiswa biasa

Uang Panai’: Tradisi atau Adu Gengsi?

Nurfikri Muharram

2 min read

Pernikahan adalah sesuatu yang sakral karena tidak hanya menyatukan sepasang manusia saja namun juga menyatukan dua keluarga besar yang berbeda. Prosesi pernikahan diikuti dengan ketentuan-ketentuan yang sifatnya ada yang wajib dan ada pula yang sebenarnya tidak terlalu penting namun dijadikan syarat sebelum melangsungkan pernikahan. Salah satunya adalah uang panai’ yang sudah menjadi tradisi di masyarakat suku Bugis-Makassar.

Dalam prosesi pernikahan, masyarakat suku Bugis-Makassar membedakan antara mahar (sompa) dan uang panai’. Mahar adalah syarat sahnya pernikahan yang sesuai dengan hukum Islam. Mahar tidak mematok nominal dan sebaiknya memudahkan mempelai pria seperti yang diriwayatkan oleh Uqbah ibn ‘Amr.

“Dari Uqbah ra bahwa sesungguhnya Rasulullah saw bersabda; Sebaik-baik pernikahan adalah yang memudahkan (mahar) (HR. Abu Dawud)”

Sementara uang panai’ bisa didefinisikan sebagai harta yang harus diserahkan oleh keluarga calon mempelai pria kepada keluarga calon mempelai wanita. Dengan kata lain, uang panai’ bukan didasarkan pada hukum agama namun didasari tradisi turun temurun masyarakat suku Bugis-Makassar. Besaran uang panai’ bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta bahkan sampai miliaran rupiah tergantung dari tingkat pendidikan, status ekonomi, dan garis keturunan dari calon mempelai wanita.

Konstruksi Sosial

Uang panai’ secara langsung sudah terkonstruksi sebagai realita sosial pada suku Bugis Makassar. Berger dan Luckmann (1990) beranggapan bahwa untuk memahami realitas sosial secara menyeluruh, realitas harus dilihat sebagai sesuatu yang berdialektika. Dialektika tersebut terjadi dalam tiga tahapan yaitu; eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.

Berger dan Luckmann (1990) mengartikan eksternalisasi sebagai upaya pencurahan diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Uang panai’ hadir karena keinginan masyarakat melindungi wanita suku Bugis-Makassar dari pria Belanda. Sumber lain mengatakan bahwa uang panai’ dulunya hanya berlaku pada sesama kaum bangsawan saja untuk mempertahankan derajat sosial mereka. Kegiatan ini dilakukan secara terus menerus dalam rangka mempertahankan eksistensi komunitasnya.

Segala bentuk eksternalisasi yang telah dilakukan secara terus menerus kemudian diistilahkan sebagai proses habituasi. Menurut Berger dan Luckmann (1990), semua kegiatan manusia bisa mengalami proses habituasi yang juga menjadi awal dari proses pelembagaan.

Kemudian, tahap selanjutnya adalah objektivasi. Objektivasi adalah produk manusia yang sudah terpisah dari manusianya dan punya kenyataannya sendiri. Produk tersebut berbalik mengarahkan dan membentuk manusia. Uang panai’ yang sebelumnya hasil dari eksternalisasi berbalik membentuk identitas baru suku Bugis-Makassar.

Baca juga: 

Ketika proses habituasi berlangsung, individu yang terlibat dalam interaksi sosial kemudian melakukan tipifikasi pada tindakan dan peranan masing-masing. Tipifikasi adalah proses menciptakan konstruksi sosial didasarkan pada asumsi-asumsi yang berlaku di masyarakat. Menurut Dharma (2018), ada dua syarat agar tipifikasi dapat terlembagakan, yakni; pertama, tipifikasi harus diwariskan dari generasi ke generasi lainnya; kedua, tipifikasi telah mampu menjadi patokan berperilaku.

Uang panai’ secara langsung maupun tidak telah diwariskan dari generasi ke generasi pada masyarakat suku Bugis-Makassar. Posisi uang panai’ sendiri sudah setara bahkan terkadang dianggap lebih tinggi dibandingkan dengan mahar yang merupakan syarat sah berlangsungnya pernikahan bagi umat Islam. Uang panai’ juga kerap kali dijadikan patokan dalam mengukur dan membentuk kelas-kelas sosial di masyarakat.

Setelah kenyataan subjektif (eksternalisasi) menjadi kenyataan objektif  (objektivasi), kenyataan objektif kemudian diserap kembali oleh individu masuk ke dalam dirinya dengan menafsir kenyataan tersebut secara subjektif. Proses ini kemudian disebut sebagai tahap internalisasi.

Pada tahap internalisasi, manusia menjadi produk dari masyarakat (Man is a social product). Uang panai’ yang telah menjadi produk dari realitas sosial membuat individu mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari suku Bugis-Makassar dengan ikut menerapkan uang panai’ dalam prosesi pernikahan.

Tradisi atau Adu Gengsi Semata?

Meskipun masih dipertahankan, uang panai’ telah mengalami pergeseran makna yang signifikan di masyarakat. Uang panai’ yang dulunya bertujuan untuk melindungi wanita Bugis sekarang hanya menjadi adu gengsi di masyarakat. Mereka bangga jika anak perempuannya dihargai dengan nominal yang setinggi-tingginya. Perempuan seolah dianggap sebagai barang yang bisa ditebus siapa saja yang memiliki uang. Pernikahan yang tadinya adalah hal yang sakral menjadi perlombaan untuk saling pamer harta dan kekayaan.

Baca juga: 

Membangun mahligai rumah tangga memang memerlukan uang karena kita tidak bisa hidup hanya dengan cinta saja. Namun, memasang nominal besar pada uang panai’ bukanlah sesuatu yang baik pula. Uang panai’ sering kali dihabiskan untuk resepsi pernikahan besar-besaran yang lagi-lagi hanya untuk menaikkan gengsi keluarga. Padahal, uang panai’ bisa saja disimpan oleh kedua mempelai untuk dijadikan tabungan dan aset masa depan mengingat esensi pernikahan bukanlah terletak pada resepsi yang mewah yang hanya berlangsung satu atau dua hari saja.

Uang panai’ juga sering menjadi penghambat antara sepasang manusia yang saling mencintai. Ada kalanya kedua calon mempelai tidak mempersoalkan nominal uang panai’ asalkan pernikahan bisa berlangsung secara khidmat. Hanya saja, pihak keluarga lah yang tidak ingin menurunkan egonya dan tetap memasang nominal yang memberatkan pihak pria.

Pada akhirnya, uang panai’ kebanyakan hanya soal gengsi sosial keluarga, mungkin minoritas saja yang menganggap bahwa uang panai’ adalah soal tradisi. Alasan tradisi pun sebenarnya masih bisa diperdebatkan mengingat sejarah awal diberlakukannya uang panai’ hanya sebagai proteksi dan menyasar kaum bangsawan Bugis-Makassar saja.

Nurfikri Muharram
Nurfikri Muharram mahasiswa biasa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email