mahasiswa biasa

Bukan Lupa Kain, Bukan Lupa Kebaya

Nurfikri Muharram

2 min read

Adat istiadat dianggap harus dilestarikan karena memiliki sejarah dan filosofi tersendiri dalam sebuah kelompok masyarakat. Akan tetapi, apakah semua adat memang harus dilestarikan meskipun nyatanya melanggar nilai-nilai kemanusiaan?

Novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam karya Dian Purnomo bercerita tentang Magi Diela, seorang perempuan Sumba, yang diculik dan diperkosa atas nama adat yappa mawine. Yappa mawine secara harfiah berarti culik perempuan. Masyarakat juga biasa menyebutnya dengan piti rambang yang berarti kawin tangkap.

Sehari-harinya, Magi bekerja sebagai honorer di Dinas Pertanian Waikabubak. Salah satu tugasnya adalah memberikan penyuluhan pertanian dari desa ke desa. Senin itu, dia berencana memberikan penyuluhan ke desa Hupu Mada. Saat perjalanan menuju desa, dia diculik oleh gerombolan pria yang belakangan diketahuinya dipimpin oleh Leba Ali.

Leba Ali membawa Magi ke kediamannya di Kampung Patakaju. Magi dipaksa untuk meminum sebuah cairan yang kemudian membuatnya tertidur. Dalam tidurnya itu, Magi diperkosa. Harga diri Magi dan mimpi besarnya untuk membangun Sumba direnggut saat itu juga.

Baca juga:

Pertolongan

Kasus Magi menjadi viral di berbagai media sosial. Beberapa wartawan dan sebuah LSM dari Kupang, Gema Perempuan, menghubungi Magi untuk mengetahui kebenaran peristiwa yang menimpanya. Gema Perempuan pula yang kemudian membantu Magi kabur dari rumahnya agar terhindar dari perjodohan. Mereka menyarankan Magi untuk ke rumah Mama Mina di Elopada.

Di rumah aman itu, Magi tidak sendiri sebagai korban. Ada dua orang lainnya, yaitu seorang perempuan yang menjadi korban perdagangan manusia dan Anjelin, siswi kelas 10 SMA, yang diperkosa berulang kali oleh gurunya. Anjelin bahkan diusir dari rumah karena dianggap perempuan penggoda.

Setelah beberapa bulan di rumah aman, Magi diajak untuk bekerja di Soe dan tinggal di rumah Om Vincen, rekan dari Bu Agustin yang selama ini banyak membantu kasus Magi.

Selama di Soe, Magi aktif melakukan penyuluhan pada para petani. Hal yang memang menjadi kapasitasnya selama ini. Selain itu, Magi juga aktif menulis di koran dan majalah online. Awalnya, Magi hanya menulis soal pertanian, tetapi perlahan Magi mulai berani menulis tentang hak-hak perempuan yang banyak dilanggar karena mengatasnamakan adat, termasuk kawin tangkap.

Pernah suatu hari, Bu Agustin berkunjung ke rumah orang tua Magi untuk memberi tahu kabar dari anak mereka. Bu Agustin disambut dengan amarah ayah Magi yang berkata bahwa Magi lupa kain lupa kebaya yang berarti sudah melupakan adat dan budayanya. Magi dinilai sudah mencoreng nama keluarga karena kabur dari perjodohan adat. Bu Agustin tidak setuju dengan pendapat ayah Magi.

“Ada adat yang masih bisa dipelihara, ada juga yang sebaiknya tidak kita lanjutkan. … Sa punya bapa juga berasal dari Sumba. Dia orang Wewewa. Saya punya bapa ajarkan untuk junjung tinggi harga diri, bukan dengan pesta dan hewan tetapi dengan menghormati orang lain.” – Halaman. 161

Perlawanan

Meskipun kecewa dan marah terhadap keluarganya yang seperti diam saja menghadapi kuasa Leba Ali, Magi tetap merindukan mereka, terutama orang tuanya. Magi akhirnya pulang kembali ke Waikabubak apalagi setelah Manu, adik bungsunya, diancam tidak dikuliahkan oleh ayahnya. Ayahnya tidak ingin menyekolahkan Manu lebih tinggi karena takut Manu akan menjadi pembangkang seperti Magi.

Awalnya, kehidupan Magi berlangsung baik setelah pulang ke kampung halamannya. Sayangnya, kehidupan indah Magi hanya berlangsung selama setahun. Saat ayahnya jatuh sakit, dia berjanji untuk menikahi Leba Ali agar ayahnya mau berobat di rumah sakit yang lebih besar. Lagi-lagi, Magi harus mengorbankan dirinya demi adat dan ayahnya.

Hari yang sangat dihindari oleh Magi akhirnya datang. Perayaan pernikahannya dengan Leba Ali ramai dihadiri orang-orang, baik di kampungnya maupun di kampung dari Leba Ali. Prosesi pernikahan digelar pertama di kampung pengantin perempuan sekaligus pelepasannya kepada pengantin pria.

Magi dibawa ke Kampung Patakaju untuk kedua kalinya dengan rasa takut yang sama. Namun, yang membedakan kedatangan pertamanya dengan kali ini adalah Magi tidak datang tanpa rencana dan perlawanan. Magi tidak ingin tunduk begitu saja pada Leba Ali. Dia ingin menjerumuskan Leba Ali ke neraka yang paling dalam.

Setiap kali ingin ditiduri oleh Leba Ali, Magi selalu beralasan sedang datang bulan. Alasan tersebut dipertahankannya sampai hari ketujuh. Di hari ketujuh, rumah Leba Ali dikosongkan sesuai dengan permintaan Magi.

Di atas ranjang, Magi memancing emosi Leba Ali dengan mengatakan bahwa dirinya telah ditiduri oleh banyak laki-laki dan bahwa penis Leba Ali terlalu kecil untuknya. Leba Ali memukul semua bagian tubuh Magi yang bisa tangannya raih. Tidak hanya itu, dia juga memperkosa Magi lagi dan lagi.

Saat Leba Ali sudah lelah dan hanyut dalam tidurnya, Magi kabur dari rumah dengan kondisi sakit di seluruh tubuh. Lalu, Magi menelepon Dangu dan mendatangi kantor polisi. Semuanya sudah direncanakan oleh Magi sejak awal. Dia menunggu Leba Ali lengah dengan resiko tubuhnya kembali mengalami pemerkosaan yang lebih parah.

Leba Ali dijatuhi hukuman tujuh tahun empat bulan kurungan penjara dengan denda ratusan juta. Kekuatan uang dan kekuasaan yang dimilikinya berhasil ditaklukkan oleh Magi. Magi berhasil pulih dari trauma berkepanjangan, tetapi ayahnya selalu dihantui perasaan bersalah semenjak kejadian itu. Dia menyesali kebodohannya yang menjual anaknya atas nama adat. Berapa orang lagi yang harus menjadi korban atas nama adat?

“Dua kali sa lolos dari maut. Tapi leluhur terus kasih sa pung air mata jatuh. Sampai kapan sa dan perempuan lain di sa pung tanah ini akan terus menangis?” – Halaman. 312

Nurfikri Muharram
Nurfikri Muharram mahasiswa biasa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email