Setidaknya dalam kurun waktu dua setengah tahun belakangan ini terlihat jelas permasalahan yang amat kental di dalam membangun negeri ini yaitu ikhwal pembuatan produk hukum. Terkesan seperti seorang kreditur yang tak mampu lagi membayar piutang dan pihak bank melalui debt collector-nya menguber si peminjam sampai titik darah penghabisan. Metafora itu layak disematkan pada situasi hari-hari ini di mana legislatif dan eksekutif disimbolkan sebagai kreditur yang terengah-engah berlari padahal si pengejarnya tidak ada. Artinya ada sesuatu di belakang itu semua.
Spektrum spasial politik hukum yang terejawantahkan dalam penyusunan produk hukum yang ugal-ugalan termanifestasikan dalam revisi Undang-Undang (UU), antara lain UU KPK, UU Minerba, UU MK, dan lahirnya produk hukum baru yaitu UU CK (omnibus law) dan UU IKN yang semuanya dinobatkan sebagai UU super kilat. Semua UU itu seolah menjadi cause celebre karena dirasa tidak lazim dan tidak layak sebagai suatu kebijakan hukum (legal policy). Predikat UU super kilat itu tercermin dari waktu pembuatan yang super kilat, ruang partisipasi yang tertutup, sifat transparansi yang tidak terlihat dan pada akhirnya menghasilkan suatu hukum yang tidak merepresentasikan mayoritas.
Baca juga:
Proses legislasi yang ugal-ugalan itu terlihat dari UU KPK yang hanya 12 hari direvisi dan disahkan, UU Minerba yang digugat beberapa kali baik prosedur maupun substansi yang baru satu tahun diberlakukan, UU MK direvisi hanya dalam jangka waktu tiga (3) hari. Sedangkan pembentukan UU CK dengan metode baru (omnibus) hanya disahkan dalam jangka waktu 8 bulan, dan terakhir UU IKN yang dibentuk dengan durasi waktu hanya 42 hari. Seolah-olah seperti negeri dagelan saja negara ini dijalankan. Lima UU itu dibuat secara de facto yang tidak beriringan dengan konteks de jure-nya karena berkelindannya benturan kepentingan (conflict of interest).
Negeri ini dijalankan seperti pertunjukan jenaka saja karena yang terlihat di ruang publik hanya lawakan-lawakan dari para aktor politik. Tidak ada semacam political will dari perwakilan yang berada di tampuk kekuasaan yang disebabkan oleh undertable transaction yang hanya memikirkan kepentingan jangka pendek. Akibatnya lahirlah 5 undang-undang itu.
Esensi dari teori legislasi adalah mengumpulkan aspirasi sebanyak-banyaknya atau fungsionalitas yang penuh dalam buku general theori of law and state (kelsen, 2018), yang memang dimaksudkan untuk menyerap seluruh suara-suara warga negara dengan segala daya upaya agar hasil suatu produk hukum yang dibuat setidaknya memenuhi rasa keadilan bagi mayoritas.
Teori itu memang mengandaikan proses pembentukan yang panjang dan penuh dengan rigiditas bahkan seperti referendum karena melibatkan satu persatu masyarakat dan bahkan satu suara itupun akan diperjuangkan penuh dalam pembahasan bersama eksekutif agar tidak ada suara masyarakat yang tertinggal. Teori itu ideal dan sangat ketat di dalam pelaksanaannya apabila direalisasikan. Tetapi teori itu tidak berlaku sama sekali di negeri yang isinya hanya dagelan (lawakan). Tentu teori pragmatisme lebih menguntungkan di negeri dagelan karena aktor politik akan lebih banyak mendapatkan ‘sumbangan’ dari orang-orang yang mempunyai kepentingan pula dari suatu kebijakan hukum yang dibuat.
Konstitusi/Undang-Undang Dasar 1945 memberikan hak kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengajukan interpelasi, angket, menyatakan pendapat, hak untuk mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta imunitas ketika berhadapan dengan penguasa (Pasal 20A Ayat 2 dan 3 UUD 1945). Sudah tentu dari rumusan pasal itu DPR merupakan penyambung lidah rakyat dan oleh sebabnya DPR harus menggunakan kelengkapan hak itu untuk berkonfrontasi vis a vis secara elegan dengan pihak penguasa karena mereka memiliki hak istimewa dan konstitusional sebagai perwakilan rakyat untuk memperjuangkan hak-hak seluruh konstituennya. Dengan segala macam wewenang yang diberikan rakyat kepada DPR, seyogyanya DPR patuh dan tunduk terhadap tugas itu karena itulah yang ditugaskan rakyat kepada DPR sebagai representasinya di dalam proses bernegara.
Tidak ada lembaga yang seperti malaikat terkecuali DPR karena mereka adalah sebenar-benarnya representasi dari daulat rakyat. Tapi itu semua hanya secara teks hukum yang tertulis (de jure) bukan realitasnya (de facto).
Kembali lagi ke negeri jenaka bahwa sebetulnya gejolak yang terjadi hanyalah sebuah permainan bahkan sekadar anekdot. Atau permainan lucu-lucuan yang diparodikan sedemikian rupa sehingga para penonton sangat terpukau dan terperengah dengan permainan itu. Dalam konteks legislasi pun nihil suara konsituen yang diperjuangkan dan yang ada hanyalah kepanjangan tangan dari partai politik. Sehingga apa yang mereka parodikan dalam ‘’sidang terhormat/istimewa’’ itu sebatas formalitas untuk meligitimasi ketentuan formal di dalam aturan hukum.
Inferensi awal yang bisa ditarik yakni kepentingan publik versus kepentingan pragmatis. Begitu banyaknya produk hukum yang ditolak keras oleh masyarakat adalah bentuk belum idealnya insitusi parlemen di Indonesia. Penolakan masyarakat hadir dalam bentuk petisi, demonstrasi, survei lembaga publik, tagar tranding di media sosial dan berbagai macam bentuk protes lainnya. Yang pasti dengan sebegitu masifnya penolakan itu pada akhirnya bermuara pada tingkat kepercayaan publik terhadap institusi parlemen yang semakin berkurang.
Sifat kegugal-ugalan legislasi itu adalah akibat dari apa yang dikatakan sebagai primus interpares, yakni postur patronase elite politik atau kekuasaan yang begitu ekstensif. Dalam arti ada satu kelompok elite yang mendikte semua arah kebijakan negara (public policy) yang juga sudah banyak dijadikan semacam hipotesis oleh para pengkritik bahwa patron pengelolaan negara ini dikuasi oleh segelintir kelompok kepentingan. Itu sangat berbahaya sekali bagi keberlanjutan ke depan. Oleh karenanya sidang pembahasan UU oleh eksekutif maupun legislatif hanyalah prosedur formal belaka untuk melanggengkan suatu kepentingan yang sering kali tidak memiliki relevansi terhadap kebutuhan riil masyarakat.