Pembaca sastra, tinggal di Denpasar, Bali

Bagaimana Sastrawan Membaca Kota?

Isnan Waluyo

4 min read

Lebih dari setengah populasi dunia tinggal di lingkungan perkotaan. Minat terhadap representasi budaya—khususnya sastra—dari pengalaman kota jadi terus berkembang. Korpus tentang kota dalam sastra tak pernah hilang jejaknya. Artinya, artikulasi kota dalam sastra terus mengalami pembacaan ulang, seperti tabiat kota itu sendiri: terus tumbuh dan terus berkembang.

Charles Baudelaire di Prancis abad ke-19, misalnya, lewat puisi Evening Twilight menggambarkan kehidupan urban sebagai kondisi yang “gelap” dengan deretan pelacur, para bajingan, dan orang-orang kesepian. Alih-alih menyediakan kedamaian, kota bak tempat manusia berubah menjadi serigala.

Sastrawan setelah Charles Baudelaire yang hidup di abad 20 seperti Albert Camus memaknai kehidupan urban dengan lebih subtil. Dalam La Paste (2004), geliat kehidupan perkotaan galib digambarkan dengan bagaimana mereka makan, bercinta, dan mati. Ketiga tanda itu bergerak bersama dan sekaligus, membentuk aliran rutinitas yang terus-menerus sampai ajal menjemput—persis yang dikatakan Endiq Anang dalam pengantar esainya berjudul Membedah Kaki Kelima Nirwan (Membongkar Ideologi Nirwan Dewanto dalam Buli-Buli Lima Kaki) (2013).

Baik Baudelaire maupun Camus memiliki pemaknaan yang berbeda tentang kota, meskipun sama-sama melihat kehidupan urban dalam perspektif yang negatif. Namun, sebelum jauh mendedah bagaimana sastrawan membaca kota lewat karya sastranya, perlu kiranya mendudukkan dulu apa itu label “sastra kota” atau akrab kita sebut sebagai “sastra urban”. Untuk menguraikan pengertian itu, saya kutip puisi Chairil Anwar yang berjudul Aku Berkisar Antara Mereka.

Aku berkisar antara mereka sejak terpaksa

Bertukar rupa di pinggir jalan, aku pakai mata mereka

pergi ikut mengunjungi gelanggang bersenda:

kenyataan-kenyataan yang didapatnya.

(bioskop Capitol putar film Amerika,

lagu-lagu baru irama mereka berdansa)

Kami pulang tidak kena apa-apa

Sungguhpun Ajal macam rupa jadi tetangga

Terkumpul di halte, kami tunggu trem dari kota

Yang bergerak di malam hari sebagai gigi masa.

Kami, timpang dan pincang, negatip dalam janji juga

Sandarkan tulang belulang pada lampu jalan saja,

Sedang tahun gempita terus berkata.

Hujan menimpa. Kami tunggu trem dari kota.

Ah hati mati dalam malam ada doa

Bagi yang baca tulisan tanganku dalam cinta mereka

Semoga segala sypilis dan segala kusta

(Sedikit lagi bertambah derita bom atom pula)

Ini buktikan tanda kedaulatan kami bersama

Terimalah duniaku antara yang menyaksikan bisa

Kualami kelam malam dan mereka dalam diriku pula.

 

1949

Meminjam analisis Arif Bagus Prasetyo dalam esainya berjudul Memindai Jakarta Bersama Chairil, puisi Aku Berkisar Antara Mereka adalah yang paling eksplisit merefleksikan visi Chairil Anwar tentang ruang kota, khususnya Jakarta yang menjadi basis kreatif sekaligus tempat tinggal sang penyair sampai tutup usia pada dekade 1940-an. Chairil menegaskan kekerabatan antara puisi, kota, dan modernisme. Ia merasa perlu menyatakan “kami tunggu trem dari kota” sampai dua kali dalam puisinya. Seolah tak ada lagi yang diharapkan dari kota kecuali trem, seakan trem dan kota adalah identik. Tanda-tanda operasional lain seperti Capitol, berdansa, halte, kota, trem, film Amerika, sifilis, dan bom atom jugalah ikon-ikon dunia modern yang erat berasosiasi dengan kota.

Kota yang dapat kita lihat dalam puisi Chairil adalah sebuah teks yang kompleks. Dalam konteks lahirnya sebuah karya sastra, kota menawarkan berbagai kemungkinan makna. Artinya, Chairil membaca kota tidak hanya sebagai sebuah basis latar penceritaan. Kota dan kehidupan urban di dalamnya diidentifikasi melalui sastra lewat imaji, gagasan, bahasa, bait, plot, maupun bunyi.

Pada akhirnya, apa yang disebut sebagai sastra urban tidak hanya sebuah kondisi penciptaan latar kota, tetapi lebih merupakan sikap dan keadaan pikiran sastrawan pada kota yang diekspresikan. Cukup aman untuk menyatakan bahwa puisi Chairil tersebut merupakan sastra urban, bukan karena lirik-liriknya yang gamblang menyebut “kota”, melainkan gagasan, representasi, pilihan kata, bahkan identitas kota yang ada dalam puisinya, dalam dirinya.

Aku Berkisar Antara Mereka juga menunjukkan kecenderungan yang khas tentang bagaimana Chairil membaca kota. Ia menjelajahi kota dengan psikologi keterasingan, lewat imaji-imaji diksi yang dibuat saling beroposisi: bersenda, berdansa, gempita dengan mati, derita, kelam. Mirip dengan tesis Bauman yang menyatakan bahwa kota terus menghadirkan keterasingan permanen bagi para penghuninya, meskipun ingar-bingar selalu menyertainya.

Dengan cara yang sama, semua studi tentang kota—termasuk studi tentang kota dalam sastra—akan erat berkaitan dengan ke-“kota”-an dari apa yang hidup dan bergerak di dalamnya. Kota lantas diletakkan sebagai objek material-referensial untuk menghadirkan makna dalam karya sastra.

Kecenderungan lain tentang bagaimana kota direpresentasikan dalam sastra hadir dalam puisi Catatan-Catatan Jakarta (1961) milik Goenawan Mohamad (GM). Berbeda dengan Chairil yang melibatkan dirinya untuk memahami kota, GM berada sedikit lebih berjarak.

I

Jendela-jendela pun sunyi

Menangkap kelam kali

Yang kering, yang terasing

Jauh dalam kerak musim

 

Dan bersitahanlah kota: ruang-ruang tua

Bertalu-talu beribu gema

Langkahan hidup yang gigih

Di bumi letih

GM memakai diksi-diksi seperti jendela-jendela, menangkap, bertalu-talu, gema, tua, yang kering, yang gigih sebagai tanda bahwa dirinya adalah si pengamat, bukan yang terlibat. Jarak memang sengaja dibangun. Dengan kata lain, kota bagi GM adalah ruang yang ia lihat dan dengar secara luas.

Melalui pengindraan yang jauh, justru GM akan lebih luas melihat geliat kota dengan segala kompleksitasnya. Baca bagaimana GM mengibaratkan kota layaknya seorang gauk tua bengal yang perlu untuk diingatkan, dituntun, dan diberikan nasihat dari bait puisi berikut: Dan bersitahanlah kota: ruang-ruang tua. Layaknya gauk tua, kota harus terus bersolek -talu dan gema atas dan demi nama modernitas. Kemudian, pungkasan bagian I puisinya, “Langkahan hidup yang gigih”, “Di bumi letih” seolah menunjukkan bahwa kota akan selalu hidup dalam paradoks antara yang gigih dan letih.

Baca juga:

Meskipun ruang, waktu, dan gaya imaji antara Charles Baudelaire, Albert Camus, Chairil Anwar dan Goenawan Mohamad berbeda, kencerungan pembacaan mereka nyaris bertumpu pada fenomena yang sama, yaitu kota dengan kehidupan kalkulatif. Dalam esainya yang berjudul The Metropolis and Mental Life (1903), Georg Simmel menyebut pemikiran kalkulatif sebagai pemikiran yang khas masyarakat urban. Intensifikasi kehidupan kota memungkinkan individu bereaksi dengan kepalanya dan bukan dengan hatinya. Yang kalkulatif inilah yang disebut Lefebvre dalam bukunya, The Production of Space (1991), mengintervensi terbentuknya ruang kota yang tidak alamiah. Artinya, ruang kota dibuat berdasarkan aspek kepentingan ekonomi, politik, dan budaya.

Pengaruh dari aspek-aspek itu akhirnya membentuk dua ruang yang beroposisi secara radikal. Kekuasaan seringkali mengkonsepsikan ruang melalui pertimbangan-pertimbangan yang abstrak, seperti ukuran, luas, lokasi, dan, yang paling penting, keuntungan yang didapatkan dari proses objektifikasi ruang kota.

Di sisi lain, individu-individu yang ada dalam masyarakat menggunakan ruang yang ada di lingkungannya sebagai tempat untuk tinggal, hidup, dan beraktivitas secara konkret. Mereka menggunakan wilayah perkotaan dengan bebas dan tanpa tendensi apa pun dalam kehidupan sehari-hari (everyday life). Dalam wilayah inilah Lefebvre menyebut ruang kota sebagai ruang sosial (social space).

Pengaruh dari aspek-aspek itu akhirnya membentuk dua ruang yang beroposisi secara radikal. Kedua ruang yang dimaksud adalah ruang abstrak (abstract space) dan ruang sosial (social space). Watak manusia kota yang berdiri di garis tegang antara modernitas dan irasionalitas lantas memungkinkan ruang abstrak yang dimaksud Lefebvre terbentuk.

Kehadiran karya sastra urban pada akhirnya semacam menginterupsi tatanan kehidupan kota yang gerah, yang modern dan irasional itu: yang abstrak sekaligus yang direpresentasikan. Berbagai bentuk representasi kota yang hadir dalam bahasa, metafor, lirik, bunyi pada karya sastra urban milik Charles Baudelaire, Albert Camus, Chairil Anwar dan Goenawan Mohamad sebenarnya berupaya untuk mengembalikan ruang kota sebagai social space

Dalam konteks karya sastra mereka, pandangan akan konstruksi kota hadir sebagai sebuah konstruksi tidak tunggal. Interpretasi-interpretasi pengarang tentang kota yang majemuk tersebut adalah upaya menggugat keberadaan ruang yang direpresentasikan kekuasaan sebagai ruang abstrak. Dengan adanya karya sastra urban, negosiasi antara ruang abstrak dan ruang sosial terus berdenyut.

 

Editor: Emma Amelia

Isnan Waluyo
Isnan Waluyo Pembaca sastra, tinggal di Denpasar, Bali

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email