Penyematan Mahkamah Konstitusi (MK) selaku penjaga konstitusi dan demokrasi merupakan semangat menjadikan hukum sebagai panglima. Berdasarkan premis tersebut, sudah semestinya perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan pada perintah konstitusi. Prinsip itu adalah bagian dari perwujudan tata laksana negara yang beradab, berkeadilan, dan demokratis.
Pembicaraan mengenai demokrasi tidak akan pernah lepas dari pemaknaan konstitusi sebagai nilai (constitutional value) dan kaidah (constitutional of law). Konstitusi, dalam arti penegakan nilai, memosisikan hukum layaknya hukum yang hidup (living law). Konstitusi dijadikan sebagai ide penuntun, bukan ide pengatur. Konsep itu diperkenalkan dengan maksud agar konstitusi tidak diartikan secara sempit, sebab di dalamnya mengandung nilai intrinsik dari demokrasi itu sendiri, seperti kebebasan, kesetaraan, penghargaan terhadap HAM, dan prinsip negara hukum.
Baca juga:
Hal ini berbeda dengan pandangan yang menganggap konstitusi serupa teks hukum, sekadar apa yang tertulis di dalamnya. Kacamata ini memaknai konstitusi hanya sebatas normativitas, penafsiran hukum dilekatkan pada kata per kata, yang pada akhirnya meletakkan konstitusi sebagai ide pengatur. Dalam pandangan ini, acap kali konstitusi didefinisikan secara tekstual tanpa mempertimbangkan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, sehingga muncul respons negatif bahwa hukum selalu tertinggal dari perkembangan masyarakat.
Memosisikan Mahkamah Konstitusi
Dalam konteks hari ini, perselisihan hasil Pilpres 2024 menjadi contoh nyata seperti apa konstitusi hendak dibawa dan diartikan. Pada kasus perselisihan hasil pilpres, lembaga yang berwenang menafsirkan konstitusi adalah Mahkamah Konstitusi (MK). Seperti uraian sebelumnya, sebagai penjaga konstitusi dan demokrasi, MK punya kewajiban menyudahi sengkarut tersebut lewat putusannya.
Saya akan memberikan dua perspektif tentang cara MK menilai kasus tersebut berdasarkan dua pandangan konstitusi yang telah diuraikan di atas. Pertama, konstitusi sebagai ide penuntun. Pandangan ini mengarahkan agar MK, di dalam menilai sebuah kasus, tidak cukup bekerja berdasarkan fakta dan bukti yang hanya tersaji di ruang persidangan. Bilamana itu terjadi, hakim konstitusi bisa dianggap hanya berpatokan pada prinsip hukum pidana yang mengatakan bahwa bukti adalah peralatan utama seorang hakim dalam menilai dan memutus sebuah perkara.
Perselisihan hasil pilpres tidak cukup dimaknai sebatas menyidangkan perkara di peradilan umum (pidana atau perdata). Lebih dari itu, implikasi perkara perselisihan pilpres akan berdampak signifikan terhadap perjalanan sebuah negara. Perselisihan perkara perdata maupun pidana hanya menyangkut persoalan satu atau sekelompok orang berhadapan dengan satu atau sekelompok orang lainnya. Hal tersebut bukan berarti menyederhanakan antara satu lingkup peradilan dengan peradilan lain, apalagi berniat mengecilkannya, tidak sama sekali.
Baca juga:
Putusan mengenai perselisihan hasil pemilihan presiden dan wakil presiden berdampak sangat panjang, menyeluruh, menyangkut hajat hidup orang banyak, dan yang tidak kalah penting adalah menjadi penentu arah bangsa ke depan. Kompleksitas perkara itu sejalan dengan ongkos biaya dan tenaga yang telah dikeluarkan untuk menggelar pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Oleh karena itu, hakim konstitusi tidak boleh menutup mata ihwal kompleksitas permasalahan.
Kompleksitas itu tidak bisa disempitkan dengan sekadar mendengar dan melihat fakta serta bukti di persidangan yang hanya berlangsung selama 7 kali. Apakah masuk akal, pembuktian suatu persoalan besar dengan berbagai kompleksitasnya hanya dilakukan melalui persidangan cepat selama 7 kali di Mahkamah Konstitusi? Menurut saya, itu adalah hal yang mustahil, apalagi melihat persoalan pilpres tidak hanya soal angka-angka, melainkan intervensi kekuasaan melalui berbagai macam instrumen negara.
Itu sebabnya dalam kasus perselisihan pilpres, MK tidak bisa menggunakan kacamata kuda dan berpaling pada konteks yang lebih rumit, spesifik, dan menyangkut campur tangan kekuasaan. Pada saat MK menyidangkan perselisihan ini dengan cara biasa, persoalan yang sebetulnya luar biasa tidak akan terbongkar. Persoalan luar biasa harus diselesaikan dengan cara yang luar biasa pula. Pada saat itulah, roh konstitusi bekerja. Roh itu tidak tertulis, tetapi terbaca secara implisit dalam preambule UUD 1945. Roh itu dinamakan konstitusi yang hidup sebagai ide penuntun hakim konstitusi.
Pandangan kedua, konstitusi sebagai ide pengatur (regulative idea). Cara pandang ini berkebalikan dengan sebelumnya, yang mendasarkan konstitusi secara tertulis. Cara berpikir seperti ini bertumpu pada hukum formil, seperti hukum acara persidangan dan hukum materil perihal apa saja yang diatur dan yang tidak diatur dalam hukum tertulis.
Saya berpandangan konstitusi sebagai ide pengatur justru sering kali membelenggu hakim konstitusi dengan aturan yang rigid, terbatas, dan tekstual. Hal tersebut tidak memungkinkan hakim berpikir di luar apa yang dituliskan. Pertanyaannya, apakah hukum tertulis selalu bisa mengakomodir fenomena aktual dalam masyarakat? Apalagi mengingat sinisme bahwa hukum selalu tertinggal oleh masyarakat. Konstitusi tak hidup dalam ruang hampa. Konstitusi justru lahir dan berkembang mengikuti kebutuhan masyarakat.
Baca juga:
Jika dikaitkan dalam konteks perselisihan pilpres, konstitusi yang dibaca secara tekstual tidak akan mampu menangkap seluruh kompleksitas yang ada. Misalnya, hukum tidak mengatur secara spesifik tentang perilaku cawe-cawe penguasa. Tidak mengatur juga perihal keikutsertaan anak presiden dalam kontestasi pilpres. Apalagi kaidah yang ketat mengenai konflik kepentingan. Semua itu datang dari tuntutan masyarakat yang sukar terjawab dalam teks hukum tertulis.
Demokrasi Substansial dan Demokrasi Prosedural
Sebagai ide penuntun, konstitusi mengakar dalam pendekatan demokrasi substansial. Sebagai ide pengatur, konstitusi melekat pada pendekatan demokrasi prosedural. Dalam konteks perselisihan hasil pemilu presiden, MK dibekali dua pendekatan tersebut: ingin mempersoalkan hitungan angka (prosedural) atau menggali prasangka intervensi politik kekuasaan jauh lebih mendalam.
Saya menilai MK harus mengambil alih diskursus publik mengenai penggunaan hak angket yang sempat mencuat. Masih dengan tema yang sama seperti tuntutan hak angket, persidangan MK dibuka untuk membuktikan apakah benar kekuasaan ikut campur dalam kontestasi pemilu yang lalu. Perbedaannya hanya pada ruang, hak angket sebagai ruang politik, sedangkan persidangan MK sebagai ruang hukum. Tujuan sama-sama ingin agar pemilu dilaksanakan secara jujur dan adil.
Melalui pemanggilan empat menteri pada agenda persidangan lalu, inisiatif itu sedikit banyak membuktikan bahwa MK tidak sekadar menjadi Mahkamah Kalkulator. Anggapan saya, keterangan empat menteri kabinet Jokowi tersebut bisa dikatakan sebagai pengganti dari kegagalan DPR untuk mengusut keterlibatan pemerintah dalam pemilu lewat jalur hak angket.
Walaupun banyak pihak merasa tidak puas karena tidak diikutsertakan dalam tanya jawab, setidaknya upaya pemanggilan itu menunjukkan keraguan publik pada independensi MK terhadap kekuasaan perlahan-lahan pulih kembali. Fenomena tersebut tidak pernah ada sebelumnya, sejak MK ditugaskan untuk menyelesaikan perselisihan pemilu presiden. Terobosan semacam itu sangat dinantikan publik, bahwa ada hal yang tidak dapat disentuh lewat prosedur hukum formal.
Demokrasi substansial kerap terhalang oleh demokrasi prosedural. Ketika prosedur hukum membelenggu hakim konstitusi untuk bertindak melampaui hukum, hakim konstitusi mesti ingat bahwa konstitusi memberi peralatan yang disebut dengan judicial activism. Keaktifan yudisial itu bertautan dengan “keyakinan” seorang hakim sebagai wakil Tuhan dalam memutus sebuah perkara yang tidak hanya didasarkan pada alat bukti semata.
Keyakinan hakim itu diperkuat pula dalam salah satu norma dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan bahwa seorang hakim wajib menggali nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Ketentuan tersebut menguatkan prinsip judicial activism.
Baca juga:
Permasalahan pemilu seperti intervensi pemerintah dalam penyalahgunaan penyaluran bansos, pengendalian kekuasaan kehakiman untuk melegalkan salah satu pasangan calon presiden, dan politik cawe-cawe Presiden Jokowi, harus dibaca sebagai potret brutalitas pemilu pasca-reformasi. Semangat reformasi untuk menciptakan pemilu jujur dan adil harus tercederai karena keberpihakan penguasa. Sebagai anak kandung reformasi, MK harus meluruskan centang perenang proses bernegara yang telah terjadi. Kewajiban itu terletak di punggung MK selaku penjaga konstitusi dan demokrasi. Dan untuk saat ini, tidak ada lembaga lain yang mampu menjalankan tugas itu selain MK.
Sembari menunggu putusan MK yang akan dibacakan pada 22 April 2024, alangkah baiknya kita mendudukkan Pemilu 2024 sebagai bahan refleksi bahwa di hadapan kekuasaan, seseorang dapat berubah secara drastis tanpa memedulikan apa dan siapa dirinya. Seperti ujaran Lord Acton, kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut berpotensi absolut pula korupsinya. Dalam konteks ini, presiden sebagai pemimpin tertinggi yang mempunyai segudang kekuasaan, pada akhirnya tak kuasa terhadap godaan laku absolutisme tersebut.
Keberpihakan yang sangat terlihat menguntungkan salah satu pasangan calon presiden membuat kontestasi Pemilu 2024 berjalan secara sentrifugal, menjauhi keadilan dan kejujuran pemilu. Apa daya, masyarakat tidak bisa berbuat banyak menghadapi kesewenang-wenangan itu selain menitipkan suaranya lewat kelompok masyarakat sipil, dengan mengirimkan surat kepada hakim konstitusi yang kemudian dikenal dengan sahabat pengadilan.
Pesan itu berisi tentang pentingnya sikap kenegarawanan hakim konstitusi untuk menyikapi persoalan serius yang sedang dihadapinya. Pesan itu bertujuan untuk mengembalikan makna primer konstitusi dalam membingkai perjalanan bangsa, khususnya penyelenggaraan pemilu agar melintas sesuai dengan rel yang telah disediakan.
Mari kita tunggu, apakah MK mampu menjawab kegelisahan publik terhadap praktik penyelewengan kekuasaan dalam pemilu lalu, atau MK malah tetap memosisikan diri sebagai Mahkamah Kalkulator.
Editor: Prihandini N
apabila bukti dan aturan tidak selalu dijadikan patokan? lalu bagaimana kita menilai? apakah harus melahirkan manusia yang diangkat dari rahim ibu terbaik, rumah sakit terbaik, susu terbaik, gizi terbaik, pendidikan terbaik, teman terbaik dan kehidupan terbaik sehingga menjadi manusia sempurna yang bisa menilai dengan sangat bijaksana dan diterima banyak manusia?