Tidak Selalu Tentang Teori

Angga Pratama

2 min read

Hampir keseluruhan aspek kehidupan manusia selalu dibayangi dengan teori-teori yang menjelimet. Kita pun suka asik ber-fafifuwasweswos untuk membahas relevansi suatu teori dengan fenomena yang terjadi di masyarakat.

Tak jarang, kesukaan kita berteori sering berujung pada simplifikasi pemahaman terhadap sesuatu akibat analisis yang tidak mencerminkan kejadian aktual di lapangan. Kurangnya nalar kritis atau kesadaran seseorang mengenai ketertindasan yang mereka alami, misalnya, akan membuat seseorang mereduksi beberapa faktor menjadi faktor tunggal.

Kita bisa lihat contohnya pada cara orang memahami fenomena kurangnya minat membaca atau literasi yang tidak komprehensif. Keadaan tersebut tidak sepenuhnya soal kurangnya minat membaca saja, ada banyak faktor lain yang membentuk buruknya minat baca tersebut.

Baca juga:

Tidak ada faktor tunggal yang menyebabkan suatu fenomena sosial karena dalam struktur masyarakat akan selalu mengandung berbagai variabel. Jika kita saklek mengamini faktor tunggal dalam analisis dan identifikasi permasalahan yang kita lakukan, kita akan jatuh ke dalam bottleneck fallacy—yang tentu akan berbuah pengambilan kesimpulan yang buruk.

Bottleneck Fallacy

Ketika kita mencoba untuk membuat kesimpulan yang relatif mudah dan tidak berbelit-belit, kita berasumsi bahwa kesimpulan yang cenderung sederhana dengan satu faktor tunggal adalah hal yang sangat baik. Akan tetapi, kita melupakan bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat membutuhkan analisis dari berbagai perspektif dan kesimpulan yang dihasilkan tidak dapat direduksi ke dalam suatu permasalahan tunggal. Saat inilah kita masuk dalam kesesatan berpikir bottleneck fallacy.

Secara harfiah, bottleneck fallacy merupakan kondisi ketika seseorang melakukan identifikasi faktor “tunggal” yang menjadi penyebab dari suatu masalah atau keterbatasan. Akibatnya, faktor lain yang substansial menjadi terlupakan. Alhasil, analisis suatu penyebab kita lakukan dengan dasar-dasar atau sumber yang tidak kuat demi mendukung suatu hipotesis.

Contoh bottleneck fallacy misalnya pengambilan kesimpulan bahwa kurangnya kemampuan kritis masyarakat atau ketidakmampuan masyarakat untuk memilih informasi yang benar disebabkan oleh minat membaca yang rendah. Ini bisa jadi salah, tetapi kadung disetujui oleh banyak orang. Padahal, ada faktor lain yang menyebabkan masyarakat menjadi tidak kritis. Misalnya, capital cultural, kondisi finansial, motif politik, dan akses terhadap teknologi—di samping rendahnya minat membaca seseorang.

Dengan demikian, kita perlu hati-hati. Fenomena sosial tidak selalu bisa kita reduksi ke dalam bentuk teori saja, tetapi juga harus disesuaikan dengan praxis yang relevan agar bisa dicarikan solusinya.

Realitas Mendahului Teori

Realitas mendahului teori adalah postulat yang dapat kita gunakan untuk menilai bahwa tidak semua aktivitas dapat relevan dengan teori-teori yang ada. Misalnya, willingness to pay atau WTP.

Beberapa ekonom lingkungan dan kesejahteraan biasanya mendefinisikan WTP sebagai kesediaan seseorang untuk membayar sesuatu—yang berharga sejauh hal tersebut tidak hanya dari perspektif subjektif, tetapi juga dari perspektif kolektif. Utilitas atau kebermanfaatan dan beberapa konsep normatif lainnya dianggap sebagai fungsi dari kepuasan preferensi yang diukur sesuai dengan jumlah maksimal individu yang bersedia melakukan pembayaran untuk memuaskan diri mereka.

Kita dapat melihat bahwa ada unsur kesediaan seseorang untuk melakukan pembayaran yang bertujuan untuk mendapatkan kepuasan subjektif dengan merujuk pada standar kolektif kepuasan. Alhasil, WTP pada masyarakat marjinal akan sangat berbeda dari masyarakat non marjinal.

Kita tidak dapat mendapatkan ukuran yang pasti dalam pengukuran WTP masyarakat marjinal. Sebab, kepuasan yang mereka impikan tidak kunjung terpenuhi karena adanya ketidakcukupan ekonomi atau finansial yang membayangi mereka. Kita dapat mengukur WTP dalam masyarakat non marjinal dan mendapat hasil yang lebih relevan.

WTP masyarakat marjinal tidak secara optimal mencapai puncak kepuasan subjektif atau kolektif. Barang-barang primer yang diinginkan oleh masyarakat marjinal tidak selalu bisa didapatkan. Akibatnya, tingkat kepuasan tersebut harus tertahan pada barang-barang substitusi yang menekan hasrat atau keinginan dari masyarakat marjinal.

Dengan demikian, teori WTP tidak terlalu berdampak dalam mengukur tingkat kepuasan masyarakat marjinal. Bila dipaksakan, penggunaan teori WTP akan menghasilkan bias yang justru menutup analisis kritis yang lebih sesuai untuk mewujudkan praksis. Untuk melihat bagaimana kepuasan masyarakat secara lebih dekat atau menarik analisa secara induktif, kita harus melihat realitas yang ada di masyarakat—yang beberapa di antaranya memerlukan pendekatan-pendekatan yang lebih khusus agar tidak menimbulkan kekeliruan analisis.

Baca juga:

Keseimbangan Praksis dan Teori

Lantas, apakah kita harus meninggalkan teori untuk menjadi lebih baik dalam praksis? Atau, sebaliknya, meninggalkan praksis untuk menjadi lebih baik dalam teori? Tentu tidak. 

Meminjam teori Derrida tentang dekonstruksi, kita dapat menelusuri bahwa terdapat keterhubungan yang berkesalingan (interrelation) antara praksis dan teori sehingga keduanya akan saling bergantung. Dalam hal ini, dapat kita lihat bahwa praksis dan teori dapat menunjukkan suatu paradoks atau kontradiksi yang akan menghasilkan perspektif baru yang lebih dinamis.

Di situ, dekonstruksi hanya berfungsi sebagai “armed neutrality” antara praxis dan teori karena pada dasarnya pengungkapan paradoks atau kontradiksi tidak dibayangi oleh agenda tertentu yang secara khusus diwacanakan oleh dekonstruksi. Tepatnya, dekonstruksi lebih cenderung pada penciptaan perspektif baru yang lebih relevan terhadap fenomena sosial di masyarakat.

 

Editor: Emma Amelia

Angga Pratama

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email