Mendengar istilah teori evolusi, hal apa yang pertama kali terlintas dalam pikiran Anda? Mungkin tidak sedikit yang mengernyitkan dahi dan berdecak karennya. “Ck! Teori sesat!”
Baiklah, masing-masing kita berhak memiliki ragam pandangan terhadap teori ini. Memang sulit dibantah bahwa sejak kemunculannya pada 22 November 1859, teori yang dicetuskan oleh Charles Darwin dalam bukunya yang berjudul On the Origin of Species by Means of Natural Selection ini memang memanen pro dan kontra, baik dari para ahli biologi hingga masyarakat luas. Perdebatan berlangsung sampai hari ini. Kebanyakan mencibir teori ini penuh benci.
Kesalahpahaman Pertama
Pada dasarnya, sikap tak terima atas teori evolusi dikarenakan tafsir atas ungkapan atau narasi Darwin mengenai asal usul manusia. Diasumsikan bahwa Darwin mengatakan manusia berasal dari kera. Jelas, asumsi semacam itu banyak ditentang, termasuk oleh umat Islam. Komentarnya seperti: “Masa, saya yang sempurna ini dulunya itu adalah kera? Dalam agama saya, kami mahluk yang diciptakan paling mulia di alam semesta.”
Padahal, setelah ditelusuri, Darwin sendiri tidak pernah menyebut manusia itu berasal dari kera. Dalam bukunya, Darwin mengungkapkan bahwa hewan dan tumbuhan berasal dari suatu spesies yang sama. Spesies tersebut mengalami perubahan fisik seiring berjalannya waktu karena seleksi alam (natural selection). Hal ini berlangsung secara terus-menerus hingga terbentuk spesies modern seperti sekarang yang membentuk pohon keluarga yang terus berkembang. Kemampuan untuk bertahan hidup dan bekembang biak, menurut Darwin, didukung oleh kemampuan mahluk hidup untuk beradaptasi dan berkompetisi.
Dapat disimpulkan bahwa fokus kajian Darwin adalah “bagaimana kehidupan itu berubah”, bukan “bagaimana kehidupan itu berasal.” Ia tidak pernah mengemukakan bahwa manusia berasal dari kera. Kesimpulan ini menyanggah kesalahpahaman terhadap teori evolusi.
Lalu, jika Darwin memang tidak menyebutkan bahwa manusia berasal dari kera, dan semua mahluk hidup berasal dari sumber yang sama, haruskah kita menerima dan mengimani teori evolusi meski menuai kontroversi? Bagaimana pandangan agama terhadap teori evolusi?
Harus digarisbawahi, Darwin menciptakan teori evolusi setelah ia menghabiskan waktu puluhan tahun memelajari kehidupan. Fokus teori Darwin bukan penciptaan manusia saja, namun penciptaan semua mahluk hidup. Teori evolusi merupakan sebagian kecil ilmu untuk memahami Tuhan dan ciptaannya. Mengimani dan tidak mengimani teori ini bukanlah poin terpenting; biarlah itu menjadi preferensi pribadi. Namun hasil pengamatan bahwa semua mahluk berasal dari “satu sumber” sah-sah saja bila diterjemahkan menjadi “semua makhluk berasal dari satu kuasa”, yakni kuasa Tuhan. Artinya, teori ini tidak sepenuhnya dapat disalahkan dan diabaikan sumbangsihnya, terutama dalam memberi kita filsafat tentang hubungan manusia dan alam.
Kesalahpahaman Kedua
Kesalahpahaman terhadap teori evolusi menggiring umat Islam menjegal dan membisukan teori ini. Asumsi atas teori evolusi yang sudah keliru itu dibentrokkan dengan al-Qur’an. Kitab suci umat Islam itu memang telah menjelaskan secara jelas bagaimana manusia, bumi, dan mahluk lain diciptakan. Dikatakan bahwa manusia diciptakan dengan mulia dan diutus untuk menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi ini; bahwa Allah menciptakan alam semesta untuk memenuhi kebutuhan manusia; bahwa karena kesempurnaannya itu, dunia berhak dimiliki (tamlik) oleh manusia.
“Dialah yang menciptakan segala yang ada di bumi untukmu” (al-Baqarah 29). Sayyid Quthb mengatakan bahwa substansi ayat ini menjelaskan bagaimana Allah menciptakan seluruh yang ada di bumi ini untuk dikelola manusia demi kelangsungan hidupnya. Dengan demikian, keberadaan manusia di bumi memiliki peran sangat besar dalam memanfaatkan sumber daya alam.
Pandangan yang sama dikemukakan oleh al-Wahidi bahwa tujuan pokok diciptakan langit dan bumi adalah untuk mendatangkan manfaat bagi kehidupan duniawi manusia dan kehidupan agamanya. Lebih jauh dikatakan, manusia diberikan wewenang pengelolaan. “Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rejeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah kami dibangkitkan.” (al-Mulk 29).
Kesimpulannya, manusia dinobatkan sebagai mahluk yang paling sempurna, memiliki hak untuk memimpin, menguasai dan mengelola bumi dan seisinya. Namun, kegelisahan saya bukanlah pada bagaimana ayat ini dapat membantah teori evolusi (yang sesungguhnya dipahami secara keliru itu), melainkan pada bagaimana ayat-ayat ini disalahpahami dan dijadikan dalil untuk membenarkan keserakahan, kesewenangan, dan arogansi manusia, yakni bahwa manusia diperbolehkan mengeksploitasi mahluk lain yang sejatinya setara dengan manusia.
Jalan Tengah
Bagaimana sebaiknya kita menyikapi teori evolusi dan narasi Islam tentang asal usul makhluk hidup dan kemuliaan manusia? Baik teori evolusi maupun narasi Islam dapat dipegang jika kita bisa menerjemahkannya secara benar ke dalam sikap-sikap keseharian kita.
Teori evolusi dapat memberikan pemahaman tentang hubungan manusia dan alam yang bersifat seimbang/selaras. Sebab, pada intinya teori evolusi mengajarkan bahwa semua makhluk hidup bersaudara dan berkedudukan setara. Islam pun tidak hanya menjelaskan ‘keistimewaan’ manusia; Islam sangat menekankan berbagai kewajiban manusia, seperti kewajiban untuk menghormati alam (al-Anbiya 107, al Baqarah: 30), sebagai bentuk dari solidaritas kosmik empati pada alam semesta. Inilah jalan tengah.
Persoalannya tinggal satu. Teori evolusi menjelaskan adanya natural selection: mahluk yang lemah dan tidak berdaya akan tereliminasi. Sedangkan Islam menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna dan memiliki hak atas bumi dan seisinya. Persamaan keduanya adalah peluang untuk membenarkan superioritas manusia atas alam semesta. Keduanya menyalahi sense of ecology sekaligus ajaran Tuhan. Menurutmu bagaimana?
Hukum alam memang memperlihatkan bahwa yang lemah bakal kalah dan lama kelamaan punah. Ketika manusia adalah ciptaan yang istimewa maka manusia harus melindungi ciptaan yang lemah agar tidak punah karena semua dicipta pasti memberi manfaat. Ketika manfaat itu hilang, bisa saja kemudian duani jadi tidak seimbang, atau bisa digantikan manfaatnya oleh lainnya.
Begitu juga dengan penyakit yang terus berevolusi. Itu membuktikan bahwa teori evolusi itu benar. Manusia seharusnya cukup pandai agar evolusi tidak berlanjut ke arah negatif sehingga bumi akan hancur.