Di balik sorotan penghargaan Nobel Sastra yang diterima Joseph Castleman (Jonathan Pryce), terdapat kisah pahit tentang Joan Castleman (Glenn Close), perempuan yang terpinggirkan dan harus bersembunyi di balik pencapaian suaminya.
Film The Wife bukan sekadar drama rumah tangga; ia adalah kritik tajam terhadap bagaimana institusi pernikahan sering kali menghapus identitas perempuan, menjadikan mereka sekadar istri yang mengabdi sepenuhnya kepada suami. Dalam perjalanannya, Joan tidak hanya kehilangan namanya, tetapi juga suaranya, kreativitasnya, dan haknya untuk diakui sebagai individu yang utuh.
Identitas yang Tergerus dalam Pernikahan
Kisah ini bermula dari panggilan telepon di pagi buta yang mengabarkan bahwa Joseph Castleman—atau Joe, sebagaimana istrinya memanggilnya—dianugerahi Nobel Sastra tahun 1992. Mereka menyambut kabar itu dengan sukacita, melompat di atas kasur seolah-olah kemenangan ini adalah milik mereka berdua. Namun, di balik kegembiraan itu, sebuah kenyataan tetap tak berubah: hanya ada satu nama yang disebut.
Stockholm menyambut mereka dengan cahaya gemerlap dan tepuk tangan meriah. Joe berjalan di antara pujian yang mengalir deras, sementara Joan berada di sisinya—sekadar bayangan yang membawakan mantel dan syal suaminya. Di ruangan yang penuh kekaguman, ia berdiri sedikit di belakang, menyaksikan sorotan yang hanya tertuju pada satu orang.
Para tamu menyalami Joe dengan hormat, menyebut namanya dengan kekaguman yang hampir khusyuk. Kemudian, seolah teringat sesuatu yang terlewat, seorang pria memperkenalkan Joan dengan singkat, tanpa pengakuan berarti. “Ini istri Joe Castleman,” katanya. Sebuah jeda kecil muncul, nyaris tak terasa, sebelum pembicaraan kembali beralih ke sang maestro—pemilik kata, pencipta keajaiban di atas kertas. Joan tetap diam, menyerap semuanya, menjadi saksi atas kenyataan yang telah lama ia pahami, namun tetap terasa pahit setiap kali terulang.
Baca juga:
Kisah Joan bukan sekadar fiksi. Ia adalah gema dari pengalaman banyak perempuan yang sepanjang sejarah telah melebur dalam bayang-bayang laki-laki yang mereka dukung dan cintai. Identitas mereka perlahan terhapus, bukan oleh paksaan yang mencolok, melainkan oleh kebiasaan-kebiasaan kecil yang telah lama diterima sebagai sesuatu yang lumrah. Dunia tidak pernah mempertanyakan mengapa perempuan selalu menjadi pelengkap, bukan pusat. Bahkan dalam nama, jejak mereka dihapus.
Julie Coryell, dalam Women: A Journal of Liberation (1971), mengajukan pertanyaan, “What’s in a Name?” dan menjawabnya dengan tegas: plenty. Ia menyoroti bagaimana sistem patriarki telah lama menempatkan perempuan sebagai bagian dari kepemilikan laki-laki. Seorang gadis yang belum menikah disebut Miss, sebuah label sosial yang menandakan statusnya sebagai individu yang belum “diambil”. Setelah menikah, ia menjadi Mrs., bukan lagi dirinya sendiri, melainkan perpanjangan dari nama suaminya. Sementara itu, laki-laki tetap disebut Mr., tak tersentuh oleh perubahan status, seolah-olah pernikahan hanya mengubah perempuan, bukan mereka.
Namun, nama hanyalah awal dari penghapusan yang lebih dalam. Penghilangan ini bukan sekadar persoalan gelar atau panggilan, tetapi cara dunia mengonstruksi perempuan dalam peran yang telah ditentukan sejak lama—bukan sebagai individu yang utuh, melainkan sebagai pelengkap bagi laki-laki.
Penghapusan ini tidak berhenti pada nama. Leo Kanowitz, dalam Women and the Law: The Unfinished Revolution (1969), menyatakan bahwa hilangnya nama belakang seorang perempuan adalah metafora dari hilangnya sebagian dirinya. Ini adalah bentuk penghapusan yang tak kasat mata, namun perlahan mengikis identitas perempuan hingga mereka tak lagi berdiri sebagai individu, melainkan sekadar bayangan laki-laki. Bahkan dalam hukum, otoritas atas identitas keluarga tetap berada di tangan laki-laki—ayah, suami, atau siapa pun yang dianggap lebih layak memegang kendali dalam struktur sosial yang bias gender.
Penghapusan ini sering kali berlangsung tanpa disadari, tetapi dampaknya nyata. Perempuan diajarkan untuk mendukung, bukan untuk bersuara. Joan menulis, tetapi hanya satu nama yang diabadikan. Ia menciptakan, tetapi kejayaan itu sepenuhnya menjadi milik laki-laki yang berdiri di sampingnya.
Ketika Karya Perempuan Tidak Diakui
Joan bukan sekadar istri yang setia menemani, bukan hanya pendamping di sisi suaminya yang dielu-elukan dunia sastra. Ia adalah bayangan yang menulis, tangan yang merangkai kata-kata, tetapi tak pernah mendapat tempat dalam sejarah. Bakatnya telah tampak sejak masa kuliah—ia menulis dengan ketajaman yang menggetarkan, tetapi dunia mengabaikannya. Seorang perempuan, di mata tatanan sastra yang patriarkis, tidak pernah memiliki suara yang cukup lantang untuk diakui sebagai pencipta.
Kisah Joan dan Joe bermula di kelas sastra, tempat Joe berdiri dengan percaya diri sebagai profesor di depan para mahasiswinya, berbicara tentang kepenulisan dengan gairah yang menggetarkan. Seorang penulis harus menulis seperti dia harus bernapas,” katanya. Joan, yang kala itu masih muda, terperangkap dalam daya pikat kata-kata itu. Ia mencintai dunia yang sama dengan Joe—dunia yang lahir dari kalimat-kalimat yang disusun dengan cermat, dunia yang menyihir dan menghidupkan. Namun, dunia itu tidak pernah benar-benar menjadi miliknya. Ketika Joan bertemu Elaine Mozell, penulis perempuan yang terasing dari gemerlap ketenaran, ia mulai memahami nasib yang menantinya.
“Publik tidak bisa menerima prosa yang berani dari seorang perempuan,” kata Elaine dengan tajam. “Jangan pernah berpikir bahwa kau bisa menarik perhatian mereka.”
“Siapa mereka?” tanya Joan.
“Para laki-laki. Mereka yang menulis resensi. Yang menjalankan penerbit. Yang menyunting majalah. Mereka yang menentukan siapa yang layak dianggap serius, siapa yang akan ditempatkan di atas pedestal sepanjang hidup mereka.”
Sejenak Joan terdiam, lalu ia berkata, “Seorang penulis harus menulis.”
Elaine tersenyum miris. “Seorang penulis harus dibaca, sayang.” ujarnya.
Di sanalah segalanya bermula. Joan menulis—tetapi bukan sebagai dirinya sendiri. Ia menulis dengan nama suaminya, Joe, dan melihat karya-karyanya melesat ke puncak kejayaan. Setiap kata yang ia susun, setiap kalimat yang ia pilih dengan hati-hati, semuanya bertransformasi menjadi mahakarya yang dielu-elukan. Tetapi hanya satu nama yang tertulis di sampul buku itu, satu nama yang disanjung dalam setiap penghargaan: Joe Castleman.
Baca juga:
Kebohongan, Pengorbanan, dan Perebutan Identitas
Bertahun-tahun berlalu, kebohongan yang selama ini tampak kokoh mulai menunjukkan retaknya. Di dalam rumah, ketegangan semakin terasa, terutama bagi putra mereka, David (Max Irons), yang mulai menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Suatu hari, dengan amarah yang tertahan, ia bertanya,
“Mengapa kau selalu menutup pintu di depanku, bersama Ibu di dalam, ketika aku masih kecil? Pintu yang selalu dibanting di mukaku, sementara Ibu tetap di dalamnya.”
Joe mencoba menyangkal. “Ibumu mengoreksinya.”
Tetapi jawaban itu tidak cukup bagi David. Ia menatap ayahnya dengan mata penuh kekecewaan, suara bergetar menahan emosi.
“Aku tidak mempercayaimu! Kau bertanya pada Ibu, ‘Siapa itu Sylvia Fry?’ Kau bahkan tidak kenal siapa karakter tokoh sialanmu sendiri! Sialan kau! Kau membuat Ibu menjadi budak!”
Sejenak, keheningan menggantung di udara. Joan membisu, tetapi sorot matanya mengungkap segalanya—tatapan perempuan yang selama puluhan tahun memendam luka, menyaksikan dirinya tersingkir dari mahakarya yang lahir dari tangannya sendiri.
Setiap penghargaan, setiap pujian yang diterima Joe, semakin menegaskan kehampaan yang dirasakan Joan. Semua ide, semua kisah yang dituangkan Joe di atas kertas, sejatinya adalah cerminan dari kehidupan Joan. Bahkan momen sepele—seperti pertengkaran Joe dengan salah satu pengasuh anak mereka dulu—berubah menjadi cerita yang diangkat ke dalam buku-buku yang kembali membawa nama Joe ke puncak kejayaan. Tetapi ketika Joan akhirnya menuntut pengakuan, Joe tetap bersikeras,
“Ini adalah kisahku, budayaku, keluargaku, ide-ideku!”
Dan saat itulah, benteng yang telah lama kokoh runtuh. Dengan penuh amarah, Joan meraih buku-buku yang hanya mencantumkan nama suaminya dan membantingnya ke lantai.
“Kata-kataku, rasa sakitku, jam-jamku sendiri di ruangan itu yang mengubah perilakumu yang mengerikan menjadi emas sastra!” teriak Joan.
Pernikahan mereka bukan sekadar hubungan suami-istri, melainkan alegori dari dunia yang menolak mengakui kecerdasan perempuan. Joan bukan satu-satunya perempuan yang harus bersembunyi di balik nama laki-laki agar suaranya didengar. Ia adalah representasi dari ribuan perempuan lain—yang menulis, mencipta, berpikir—tetapi tidak pernah diakui sebagai pemilik karya mereka. Maka, meskipun dunia mengenang Joe sebagai seorang jenius, kejeniusannya tak lebih dari pantulan cahaya yang ia curi dari perempuan yang seharusnya berada di tempatnya.
Penghapusan Identitas Perempuan
Lebih dari sekadar kisah pernikahan yang timpang, The Wife adalah pengingat bahwa ketidakadilan gender tidak selalu hadir dalam wujud kekerasan fisik atau diskriminasi yang kasat mata. Ada bentuk penindasan yang lebih halus, lebih sunyi, tetapi sama menggerogoti: penghapusan identitas, perampasan pengakuan, dan internalisasi norma yang membentuk perempuan sebagai bayangan laki-laki—bukan sebagai individu yang utuh dengan otonomi atas dirinya sendiri. Ambisi mereka bukan sekadar diredam, tetapi dikorbankan, bukan demi kebahagiaan mereka sendiri, melainkan demi menjaga ilusi keseimbangan rumah tangga.
Joan tidak hanya menyerahkan namanya; ia menyerahkan identitasnya. Karyanya dikagumi, dielu-elukan, dianggap sebagai mahakarya—tetapi bukan atas namanya sendiri. Ini bukan sekadar narasi imajiner. Ini adalah kenyataan yang dialami oleh banyak perempuan yang dipaksa hidup dalam bayang-bayang suami mereka—perempuan yang mencipta, tetapi tak pernah diakui sebagai pencipta. Dalam satu adegan yang menjadi puncak dari puluhan tahun kepahitan yang tertelan diam-diam, Joan akhirnya meledak.
“Aku tidak bisa menerima penghinaan memegang mantelmu, mengatur pil obatmu, dan mengambil remah-remah dari janggutmu, lalu didorong ke samping dengan semua istri lainnya untuk membicarakan perjalanan belanja sialan, sementara kau mengatakan kepada semua penjilat di pertemuan itu bahwa istrimu tidak menulis! Istrimu, yang baru saja memenangkan Nobel Prize!”
Saat kata-kata itu meluncur, tak ada lagi tempat bagi kebohongan. Tak ada lagi tempat bagi kepura-puraan. Selama bertahun-tahun, dunia mengenang Joe sebagai seorang maestro. Tetapi kejayaan yang ia banggakan, yang ia klaim sebagai miliknya, adalah kejayaan yang dibangun di atas kerja keras seorang perempuan yang namanya tak pernah disebut. Joan Castleman mengajarkan bahwa perempuan tidak hanya berhak atas kebebasan, tetapi juga atas pengakuan penuh—atas nama mereka, suara mereka, dan prestasi yang semestinya mereka miliki. Sebab, mahakarya sebesar apa pun akan kehilangan makna jika nama penciptanya disingkirkan dan dilupakan dalam diam.
Editor: Prihandini N