Perempuan Perajin Logam di Desa Bejijong: Mengukir Peran Perempuan di Ruang Maskulin

Audea Septiana

2 min read

Sejak 1968, dentingan palu dan pijaran api telah menjadi saksi bisu perjalanan panjang industri kerajinan logam di Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Industri ini, mengalami perkembangan yang pesat khususnya di tahun 2000-an hingga sebelum COVID-19 menghantam Indonesia.  Namun, pesatnya perkembangan industri ini, tidak terlepas dari dinamika sosial yang meminggirkan perempuan. 

Profesi ini identik dengan “maskulinitas” sebab profesi ini dianggap bahaya berat, kotor, dan kasar. Menurut Bourdieu, tatanan maskulin menjelma dalam tubuh melalui larangan-larangan termasuk pola pembagian kerja secara individu maupun kolektif. Oleh karena itu, masyarakat beranggapan seolah ini wilayah terlarang bagi perempuan. Perempuan yang nekat memasuki wilayah ini ditempa habis-habisan dengan diskriminasi, serta ketidak adilan sosial, kultural, dan emosional.

Di bawah bayang-bayang ketertindasan itu, ada sebuah fenomena yang jarang terungkap ke permukaan; perjuangan dan kerja keras perempuan perajin logam di Desa Bejijong yang bertahan di ruang maskulin. 

Baca juga:

Perlawanan Perempuan dalam Industri Kerajinan Logam

Proses pembuatan kerajinan logam terdiri dari pembuatan matras, penyempurnaan cetakan, pembalutan serta penjemuran, pembakaran, peleburan logam, pengecoran, dan finishing. Di dalam proses tersebut perempuan melakukan perlawanan senyap dan terbuka untuk tetap eksis. 

Perempuan mulai melakukan penolakan atas pandangan maskulin dalam industri tersebut.  Mereka berupaya menunjukkan kemampuan dalam menguasai teknis produksi serta menciptakan inovasi baru yang berbeda dengan hasil kerajinan perajin dan pengusaha laki-laki. Dalam mewujudkan kesetaraan kemampuan teknis produksi, para perajin perempuan merealisasikannya melalui pembelajaran mandiri.

Perempuan pengrajin logam bertahan bekerja dalam jangka waktu yang panjang, demi upaya merintis usaha dari skala kecil. Upaya tersebut tetap dijalankan sekalipun belum mampu memberikan hasil produksi yang variatif dan dalam jumlah besar seperti perajin dan pengusaha laki-laki. 

Di ranah industri kerajinan logam, perempuan belum mampu melakukan resistensi secara terbuka. Mereka belum mampu mengambil andil yang besar dalam proses produksi, maupun memberikan inovasi baru dalam teknik produksi. Berbeda dengan perajin laki-laki di Bejijong yang sudah menunjukkan inovasi baru melalui pengecoran basah untuk barang-barang kecil, perajin perempuan masih bergantung kepada laki-laki. Misalnya menggunakan tenaga laki-laki dalam proses penggerindaan, pengelasan, pengecoran, dan finishing. Perempuan, juga tidak berada pada jajaran struktural paguyuban kerajinan logam sehingga tidak mampu andil dalam membuat keputusan strategis.

Diskriminasi juga kerap dialami para perempuan perajin logam, di antaranya stereotip gender, pelecehan verbal dan komentar seksis, pengasingan secara sosial, dan labelling. Kondisi ini melahirkan perjuangan ganda: perempuan harus menyangkal ekspektasi tradisional sembari membangun reputasi di ruang maskulin.

Hambatan Perempuan dalam Melakukan Perlawanan

Melawan stigma di ruang maskulin bukan perkara mudah sebab masyarakat yang patriarkis melihat keterlibatan perempuan sebagai bentuk ancaman identitas dan pemberontakan kemapanan norma sosial.

Perempuan dihadapkan dengan hambatan struktural. Diskriminasi gender menghalangi perempuan untuk maju. Ketimpangan kesempatan kerja, upah rendah, pengabaian pendapat, perebutan alat kerja, dan eksploitasi tenaga dalam lembur, dsb  masih menjadi kenyataan pahit yang ditelan perempuan.

Hambatan ini diperkuat oleh tuntutan peran ganda, tanggung jawab domestik dan profesional. Akibatnya, energi dan waktu perempuan, otomatis lebih terbatas. Hal ini yang menyebabkan mereka sukar bersaing dan setara dengan laki-laki. Imbasnya perempuan di Desa Bejojong tidak memiliki peran sentral di paguyuban kerajinan Sabar Handayani, Bejijong.

Baca juga:

Kesulitan yang lebih esensial adalah minimnya dukungan dari sistem pendidikan dan pelatihan yang memperkokoh keterampilan teknis perempuan. Wawancara dengan empat karyawan dan dua pemilik unit usaha menunjukkan bahwa lima di antara mereka tidak pernah mendapatkan undangan pelatihan. Imbasnya akses pengetahuan perempuan terbatas.

Pemilik unit usaha perempuan juga mengalami hambatan dalam proses merekrut karyawan, akses masuk ke pasar, dan kepercayaan mendapat pinjaman modal. Hal ini berbanding terbalik dengan yang dialami laki-laki. Modal budaya yang dimiliki laki-laki menjadi keuntungan dalam menjalankan usaha kerajinan logam.

Transformasi Budaya, Mengukir Peran Baru Bagi Perempuan  

Di industri kerajinan logam Bejijong, perempuan tetap teguh melakukan perlawanan meskipun mendapati banyak hambatan. Bagi mereka, setiap langkah untuk maju adalah bagian dari perjuangan kolektif yang menghapus stigma dan meruntuhkan dominasi maskulin. Perlawanan ini, bukan hanya semata sebagai pembuktian individu, tetapi juga didorong kesadaran bahwa mereka sedang membuka jalan bagi generasi mendatang agar memiliki peluang yang setara dan adil.

Mereka menyadari bahwa setiap hambatan yang dilawan bukan hanya tantangan pribadi, melainkan simbol dari batasan sosial yang harus dipatahkan untuk menciptakan ruang yang inklusif. Maka dari itu, diperlukan solidaritas dan semangat untuk melampaui norma tradisional. Perlawanan tersebut bisa menjadi manifestasi dari ketahanan kolektif yang memberikan pengakuan pada perempuan dan perubahan sistematik yang lebih besar.

Meminjam konsep habitus dari Pierre Bourdieu, merujuk pada pola pikir dan tindakan terbentuk melalui lingkungan sosial, kehadiran perempuan sebagai perajin logam di Bejijong berhasil menembus pola-pola tradisional. Transformasi tersebut, bukan sebatas adaptasi, melainkan sebagai penciptaan ruang baru bagi perempuan. Habitus maskulin di industri logam perlahan mulai berubah manakala perempuan terus melahirkan karya-karya baru. Karya yang tidak hanya fungsional, tapi juga memiliki nilai seni yang tinggi  dan membuka peluang ekonomi.

Tindakan ini mampu mengubah cara pandang di tempat kerja, sekaligus memperluas peran perempuan dalam masyarakat. Transformasi tersebut menjadi cerminan bahwa perjuangan perempuan di ruang maskulin dalam menghadapi berbagai kesulitan adalah usaha untuk mengukir masa depan yang lebih inklusif dan setara.

 

Editor: Prihandini N

Audea Septiana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email