Saya pernah menulis mengenai perkawinan sastra dan matematika dalam esai Matematika sebagai Sastra: Teori Terbaru dalam Kajian Sastra yang terbit di Aretesite tahun lalu. Esai itu saya tulis atas hasil pembacaan terhadap publikasi Suwardi Endraswara yang berjudul Teori Sastra Terbaru Perspektif Transdisipliner (2022).
Ketimbang berkutat dengan teori dari Abrams ataupun para strukturalis lain, teori yang diperkenalkan Endraswara dalam publikasinya tersebut melibatkan kacamata disiplin ilmu lain untuk mengkaji sastra, mulai dari matematika sastra, fisiologi sastra, fisika sastra, hingga imunologi sastra. Saya tidak akan membahas keseluruhan teori yang Endraswara kawin silangkan. Saya hanya akan mempermasalahkan salah satunya, yakni matematika sastra.
Esai terdahulu saya membahas mengenai bagaimana matematika terlihat indah ketika berhubungan dengan sastra melalui simbol-simbolnya. Ketika menulis itu, saya merasa begitu optimis, bahkan mengamini bahwa matematika sastra dapat dan layak disebut sebagai suatu teori dalam sebuah diskursus sastra. Akan tetapi, setelah melakukan telaah ulang terhadap publikasi tersebut, yang saya yakini sebelumnya runtuh begitu saja.
Matematika sastra dalam definisi yang sangat sederhana adalah karya sastra yang menggunakan simbol-simbol matematika sebagai medium penyampaian pesannya. Tawaran Endraswara tentang matematika sastra sebenarnya mengutip JoAnne Growney, seorang pengajar yang kebetulan menggunakan karya sastra sebagai media pembelajaran guna membuat pembelajaran matematika lebih menarik.
Matematika sastra nyatanya masih terlampau jauh untuk dapat menyandang titel sebagai teori. Dalam publikasinya, Endraswara menuliskan, “Menurut wawasan matematika sastra, ada puisi yang bertujuan untuk kecerdasan pembaca.” Dengan kata lain, Endraswara sendiri mengamini bahwa memang ada sebuah puisi yang tujuannya untuk kecerdasan pembacanya, tetapi apakah hal tersebut lantas langsung menghubungkan sastra dengan matematika?
Kecerdasan di situ bisa saja merujuk pada hal lain, misalnya sebuah puisi yang dimusikalisasikan agar peserta didik lebih memahami struktur sebuah teks. Itu pun masih terlampau jauh untuk menjadi sebuah teori kajian sastra. Pada akhirnya, istilah yang pas untuk melabeli hubungan antara sastra dan matematika itu tak lebih dari media pembelajaran.
Ketimbang membangun fondasi bagi sebuah teori baru, publikasi Endraswara itu lebih banyak memperkenalkan kepada khalayak bahwa sastra juga mampu menjadi sebuah media pembelajaran. Sastra tidak hanya dapat dinikmati untuk kesenangan saja, tetapi bisa juga berguna dalam kegiatan pembelajaran di kelas ilmu-ilmu lain.
Baca juga:
Mengapa saya berubah pikiran bahwa matematika sastra masih terlampau jauh dari sebuah teori? Sekitar tahun 2021-2022, sebuah media memperlakukan kontributornya secara buruk hingga memantik kegaduhan tentang sastra pascakontemporer. Saya lantas menyandingkan gaduh sastra pascakontemporer tersebut dengan matematika sastra atas dasar kesamaan ide, pengetahuan, dan praktiknya.
Secara ide, memang betul sudah terbentuk sebuah terma baru untuk mengkaji karya sastra yang menggunakan simbol-simbol matematika. Namun, apakah hal tersebut sudah cukup untuk menjadikannya sebuah teori? Selanjutnya, secara pengetahuan, apakah ada fondasi untuk matematika sastra ini sehingga dapat dikatakan sebagai sebuah teori yang berdiri sendiri? Kemudian, apakah sudah ada pengkajian sastra yang menggunakan teori matematika sastra ini?
Saya tersadar, teori matematika sastra ini hanya akan menjadi badut layaknya sastra pascakontemporer. Jangan hanya karena sebuah karya sastra menggunakan simbol matematika lantas ia tidak dapat dibedah menggunakan teori-teori yang sudah mapan dalam sastra, misalnya semiotika.
Ibaratnya, matematika sastra adalah bayi dalam kandungan yang belum cukup umur, tetapi sudah dipaksa lahir oleh orang tua dan bidan yang menanganinya. Oleh karena itu, banyak terjadi kekeliruan ketika ia dipakai untuk mengkaji karya sastra. Endraswara terlalu dini melahirkan matematika sastra ini, setelah publikasinya itu pun tidak ada lagi publikasi lain yang membahas soal teori matematika sastra ini—kecuali tulisan serampanganku itu.
Editor: Emma Amelia