Menjadi korban kekerasan seksual saja sudah cukup berat untuk melanjutkan hidup. Membayangkan hari esok dengan bayang-bayang memori kelam. Bangun di pagi hari tanpa merasa utuh lagi. Jangankan tidur, ketika memejamkan mata pun, rasa takut itu akan membuatnya terjaga.
Beberapa dari mereka ada yang cukup berani dan terbantu untuk melanjutkan hidup, bahkan menempuh jalur hukum untuk mencari keadilan. Dengan harapan dapat menghukum pelaku agar menjadi jera.
Tetapi, ketika upaya itu ditempuh, orang-orang yang mereka anggap akan melindungi dan membantu mereka, justru dilaporkan oleh terduga pelaku atas dasar pencemaran nama baik. Menambah catatan hitam dalam memori korban dan membuat mereka semakin terpuruk.
Inilah yang terjadi pada para korban kekerasan seksual yang didampingi oleh Meila Nurul Fajriah, seorang advokat dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Ia dilaporkan atas dasar pencemaran nama baik oleh terduga pelaku kekerasan seksual dan telah ditetapkan status tersangkanya berdasarkan Surat Ketetapan Tersangka yang dikeluarkan Polda D.I. Yogyakarta pada 24 Juni 2024.
Pelaporan Meila
Meila merupakan salah satu advokat dari LBH Yogyakarta yang hingga kini, masih memberikan pendampingan kepada para korban dalam kasus kekerasan seksual UII Yogyakarta. Sebagai pendamping korban, Meila bertanggung jawab untuk mendukung dan mengadvokasikan kepentingan penyintas kekerasan seksual. Peran mereka sangat esensial untuk mendukung korban secara mental dan moral untuk pulih dan mencari keadilan. Namun, Meila justru dilaporkan oleh terduga pelaku kekerasan seksual.
Penetapan tersangka yang terjadi kepada Meila secara hukum saja sebenarnya tidak tepat. Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang ITE yang digunakan untuk menjerat Meila, tidak dapat diberlakukan dalam hal orang tersebut menyampaikan fakta, terutama berkaitan dengan kepentingan umum.
Tentu saja, Meila selaku kuasa hukum para korban hanya melakukan pekerjaan dan tanggung jawabnya sebagai seorang advokat yang dilindungi oleh Undang-Undang Bantuan Hukum. Bahkan seharusnya peristiwa ini tidak perlu terjadi, karena seorang kuasa hukum seharusnya mendapatkan perlindungan hukum (imunitas) selama mendampingi korban dan bukannya dituntut atas dalih pencemaran nama baik.
Perlindungan hukum terhadap pendamping korban diperkuat dengan Pasal 28 jo. Pasal 29 Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang mengatur bahwa pendamping korban tidak dapat dituntut secara hukum atas pelayanannya baik secara pidana maupun perdata, kecuali jika pendampingan atau pelayanannya diberikan tidak dengan itikad baik. Justru, terlihat jelas bahwa penetapan tersangka terhadap Meila yang sebenarnya memperlihatkan adanya itikad buruk terhadap pendamping korban.
Menyikapi situasi yang dialami Meila, berbagai lembaga dan komunitas menggaungkan solidaritas untuk menghentikan penyidikan terhadap Meila, baik dari kalangan advokat maupun akademisi. Akhirnya per tanggal 6 Agustus 2024, Polda Yogyakarta mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan (SP3) atas kasus Meila.
Walau status tersangka Meila sudah dicabut, peristiwa ini tetap saja meninggalkan goresan kepada korban, kuasa hukum lainnya, bahkan masyarakat luas.
Domino Effect
Serangan yang terjadi kepada Meila, sejatinya dapat menimbulkan domino effect kepada korban, advokat, hingga masyarakat luas.
Dari sisi korban, peristiwa ini dapat menghambat proses pemulihan dan penyelesaian hukum yang sedang dijalankan. Kuasa hukum mereka justru dibungkam ketika sedang membela hak-hak mereka, bahkan menggunakan cara-cara legal untuk mengkriminalisasinya.
Tindakan pelaporan ini juga merupakan bagian dari SLAPP (strategic lawsuit against public participation). SLAPP sendiri sudah cukup dikenal oleh masyarakat dan advokat. Hal ini dikarenakan sudah banyaknya peristiwa serupa yang dialami oleh pembela HAM, sebut saja Haris-Fatia dan Daniel Fritz.
Jika kita lihat sekilas, memang kuasa hukum korban yang dikriminalisasi dalam peristiwa ini, tetapi para korban juga yang merasa semakin terpuruk dan takut untuk meneruskan pemulihan apalagi menempuh upaya hukum dalam rangka mencari keadilan. Bahkan, mungkin ada korban yang merasa bersalah karena seseorang yang seharusnya membantu mereka, justru dilaporkan oleh terduga pelaku dan ditetapkan sebagai tersangka.
Selain korban, upaya kriminalisasi kuasa hukum juga mengancam independensi seorang advokat selaku penegak hukum yang harus dijamin imunitasnya. Serangan ini pun tidak hanya mengancam advokat, tetapi juga lembaga bantuan hukum itu sendiri. Bahkan, peristiwa ini juga menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan terhadap sesama advokat karena mereka mungkin saja mengalami hal yang serupa. Lantas menjadi pertanyaan bagi kita semua apabila advokat saja takut untuk membantu korban karena bayang-bayang pemidanaan, kemana para korban harus mencari bantuan?
Barangkali ada yang berpikir untuk mencari bantuan kepada masyarakat luas melalui media sosial dengan jalur viralisasi, ditambah hari-hari ini aparat penegak hukum kita menunjukkan kecenderungan “no viral no justice”. Tetapi, ancaman kriminalisasi itu masih tetap ada dan nyata, bahkan bagi masyarakat atau pembela HAM yang ingin membantu korban. Lagi-lagi, kepada siapa lagi korban kekerasan seksual harus berlindung?
Solidaritas sebagai Modal
Ketika pertama kali mendengar kasus ini, pikiran saya langsung tertuju kepada para korban kekerasan seksual. Saya tidak bisa membayangkan perasaan dan hari-hari yang harus dilalui oleh korban dalam bayang-bayang kelam.
Tetapi, saya melihat bahwa ternyata masih banyak orang yang cukup peduli untuk membantu Meila dan para korban. Berbagai gerakan solidaritas ditempuh agar peristiwa ini segera disudahi. Ada pula lembaga yang sampai menyerahkan pandangan hukum dan rekomendasi kepada Polda Yogyakarta atas kasus ini sebagai bentuk solidaritas untuk Meila, yakni Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial FH UGM.
Bahkan ketika berita penghentian penyidikan Meila diumumkan, berbagai pihak merayakannya sebagai kemenangan. Tidak hanya untuk Meila, tetapi juga untuk korban serta pihak-pihak lain yang menghadapi kasus serupa.
Saya menyadari bahwa solidaritas dan kemanusiaan-lah yang dapat mendorong kita untuk memberi uluran tangan bagi korban kekerasan seksual, keluarga, serta pendampingnya. Tanpa keduanya, tidak mudah bagi masyarakat untuk peka dan berani berpihak maupun bertindak untuk korban.
Masih ada Meila lain yang barangkali mengalami peristiwa serupa, bahkan upaya kriminalisasi itu terjadi pada korban kekerasan seksual sendiri. Mereka masih membutuhkan solidaritas dan dukungan dari kita untuk membela hak mereka dan mencari keadilan. Maka itu, gerakan solidaritas dan kemanusiaan harus terus digaungkan dalam melawan kekerasan seksual.