absurddd~

Camus kepada Sisifus dan Puisi Lainnya

Aditya Yudistira

2 min read

sartre kepada camus, diintervensi confusius

oh mai gat, aku terguncang. tuduhan sartre kepada camus sangat kejam. sumpah serapahnya dialamatkan ke tubuh camus yang absurd. semoga jika mati nanti, ia tak menabrak pohon yang mengada dengan mobil yang berkesadaran bebas tak bertanggung jawab. oh ya, omong-omong confusius pernah berpesan melalui surel dari warnet bermuka tabung, sambil mendengar dear god kepunyaan a7x, dengan tambahan instrumen gemericik billing lumba-lumba bahwa, “jangan sering-sering ngecek medsos, nanti matanya juling seperti sartre.” begitulah nasehat orang dulu, kepada abad berumur dua puluh satu.

(Tabing, 2023)

 –

camus kepada sisifus

“seperti gendam, rindu harus dibayar kasbon.” mungkin begitulah reaksi lidah camus yang tak bertulang-tualang, sehabis dirundung sartre. ia melancarkan dendamnya kepada sisifus. aku sesungguhnya prihatin dan khawatir kepadanya. ia selalu mendorong batu secara redundan tak pernah usai, kalau gatal ia tak pernah menggaruk punggungnya yang asin.

kudengar hidungnya amat bising-sengau seperti kereta di tanah abang menuju manggarai saat jam pulang kerja. betisnya bengkak sebelah, mirip anggaran belanja negara yang selalu dikuntit dan diklarifikasi menteri bermata keuangantuk. hufffttt. aku berdoa, semoga para dewa tercerahkan untuk bersolidaritas padamu. seseorang lebih harus realistis membayangkan sisifus yang tak bahagia.

(Tabing, 2023)

aku kepada freud

oh, hei freud. apa kabarmu? semoga kamu pusing-pusing saja. sambil menghisap cerutumu dalam-dalam dan asapnya menjilati mukamu yang berantakan. jika kamu berkenan, aku ingin memberi saran. sebaiknya kamu jangan menjelaskan oedipus complex pada ibumu saat jam makan malam. sebab itu menurunkan gairah seksualnya di hadapan industri porno. coba kau jelaskan, ketika ibumu bertransformasi menjadi ibu kota, yang gemar memanipulasi tren, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya seperti ninja, matanya terpancar sinar merah. serupa latar diponegoro 58, jakarta.

(Tabing, 2023)

revolutio specus

oh, halo, augusto/ di manakah ruang ketiga itu? jangan salah paham padaku/ aku bukan orang baik seperti yang kau kira/ aku ingin merebut jokermu saat hari minggu: agar tubuh yang penuh peluh kembali ke hulu/ persis ketika semua bola mata, mengendap-endap dan jatuh ke punggungmu/ tapi kini, malam terlalu tinggi, aku tak ingin menggaruk biji lagi di atas panggungmu‒sungguh pedih//

oh, halo, umberto/ apa kau pernah terhimpit di antara sesak resonan, deras air mata, dan api yang keras? sebaiknya kau nyalakan pyro pada bulan-bulan rosso yang mabuk pil koplo/ merayakan kebebasan ultras, maka kuambil sebuah utas: agar bisa kau retas/ pada ruang-ruang yang gelap, lagi basah, dan licin di minggu pagi/ barangkali kau akan tertuju pada tanda-tanda samar revolusi//

(Tabing, 2023)

ia kepada stirner*

mengapa mereka menyebut warna itu sebagai putih? padahal, ia mencerap sensasi warna itu sebagai hitam. seperti hari-hari yang terbentang dari; kejinggaan mei, menembus pangkal oktober, sampai palung november. bagaimana ia menyebut rasa itu sebagai sakit? sedang ia menghayati hidup sebagai penderitaan yang tak berakhir. barangkali, seperti teori psikologi yang menanggalkan kacamatanya di dapur abad 19―secara sengaja, saat mengeja terbata-bata, hubungannya dengan marie dähnhardt dalam epos cinta; persatuan egois; kejanggalan romantis, dan birahi tautologis.

ia mencerap segala yang ada dan mungkin, menjelaskan dirinya sebagai kata-kata, bukanlah hantu. walau begitu, mereka masih nyaman dibelenggu waham penafsir. tetapi kau semakin dalam, semakin dalam menyelam ke diri sendiri, dan bermukim di tepi jurang ketiadaan tanpa arti apapun. kini, kau masih bertindak menyempal kehendak, sambil belajar pada waktu yang diretas renta, menjadi unik dalam ketiadaan kreatif. tanpa menggenggam tanggung jawab maupun pengorbanan, kepada segala objek yang tertangkap dan tidak membawa kenikmatan. sebab segala yang tertulis akan dirayakan dengan: keotentikan diri yang mencintai orang lain.

(Palimo, 2022)

 *****

*Terinspirasi dari buku Skye Cleary terjemahan Rifki Syarani Fachry (Max Stirner dan Cinta yang Egois)

Editor: Moch Aldy MA

Aditya Yudistira

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email