Ketika Terusan Suez dibuka pada 1869, rute perjalanan Eropa dan Asia via laut menjadi lebih singkat dan mudah. Setahun kemudian, Pemerintahan Hindia Belanda memasuki masa liberalisme. Masa ini ditandai dengan terbukanya keran penanaman modal bagi kaum pengusaha Belanda atau pemodal swasta Eropa ke berbagai usaha di Hindia Belanda, terutama di sektor industri perkebunan di Pulau Jawa.
Kedua peristiwa tersebut melahirkan gelombang imigrasi orang-orang Eropa ke Hindia Belanda. Terlebih, Pemerintah Hindia Belanda dalam kebijakan liberalnya juga banyak mendatangkan orang-orang Belanda untuk menempati posisi aparatur pemerintahan hingga pengawas perkebunan.
Selain reunifikasi orang-orang Belanda dengan sanak keluarganya di Hindia Belanda, para pegawai pemerintahan yang sebagian laki-laki itu juga mengalami kegundahan. Kegundahan tersebut menjadi sebab utama lahirnya interaksi sosial yang meluas hingga membentuk suatu kebudayaan yang dikenal sebagai kebudayaan Indis. Kebudayaan inilah yang menjadi gambaran besar isi buku Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942 gubahan Fadly Rahman.
Baca juga:
Berselancar dalam Arus Waktu
Perhatian mengenai riset ilmiah seputar sejarah makanan di Indonesia sangat kurang. Fadly ingin memperlihatkan bahwa kekayaan sumber sejarah makanan di Indonesia masih tersedia dan belum cukup terekspos.
Riset dalam buku yang pertama kali diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2011 ini cukup banyak menyematkan sumber-sumber primer. Buku ini mengeksplorasi dan menggali lebih lanjut karya tugas akhir Fadly ketika menyelesaikan pendidikannya di Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran. Ia tak henti menggali karya-karya sastra kolonial, majalah rumah tangga kolonial, fotografi kolonial, hingga buku-buku resep masakan kolonial yang mampu membangun dan menampilkan kembali imajinasi suatu zaman tentang hidangan makanan yang dicampur dengan penyajian gaya Eropa di Hindia Belanda.
Untuk mengurai sejarah makanan di Indonesia, Fadly menggunakan kerangka pemikiran yang melihat bahwa kebiasaan makan merupakan perubahan wacana dari makanan itu sendiri. Ia menganggap bahwa perubahan tersebut muncul sebagai akibat dari pergeseran dalam melihat makanan sebagai persoalan kepraktisan menjadi wujud persoalan estetika.
Artinya, makanan menjadi suatu tampilan kompetensi sosial atau cita rasa yang dianggap tinggi. Namun, menurut saya, ini menunjukkan kekakuan dalam melihat suatu peristiwa sejarah dan cenderung mengesampingkan aspek lain yang cukup penting seperti implikasi politik dalam gaya hidup.
Hidangan Nasi dan Etika Eropa
Fadly menjelaskan kebudayaan Indis sebagai percampuran antara budaya bumiputra dan Belanda yang melahirkan wujud baru dalam gaya hidup, meliputi kebiasaan makan, seni bangunan, cara berpakaian, hingga bahasa. Keberadaan budaya Indis bersifat saling tergantung, membutuhkan, dan menghidupi antara budaya satu dengan lainnya. Artinya, percampuran itu membuat pengaruh lingkungan yang melahirkan akulturasi pada dua sisi.
Penceritaan kolonialisme Belanda dalam buku ini tidak terlalu berfokus pada kehidupan sehari-hari masyarakatnya dalam aspek politik. Ketimbang itu, buku ini merambah pada aspek sosial-budaya sebagai laku kehidupan sehari-hari, khususnya kehidupan laki-laki Eropa di Hindia Belanda pada medio abad ke-19. Kehidupan laki-laki Eropa di Hindia Belanda digambarkan sebagai fenomena membujang.
Namun, setelah keadaan finansial membaik, mereka mulai memikirkan keberlangsungan hidup mereka secara biologis. Alhasil, mereka yang masih membujang maupun beristri di negara asalnya mengawini perempuan bumiputra dari kalangan kuli, petani, hingga priayi. Perempuan bumiputra yang dikawini laki-laki Eropa pada masa itu disebut nyai. Para nyai dibiasakan untuk menjalani kehidupan sehari-hari dengan suasana Eropa. Dengan kata lain, para nyai diajarkan bahasa asing, membaca buku asing, hingga beretika hidup ala Eropa. Sebaliknya, laki-laki Eropa juga dipengaruhi oleh perempuan bumiputra dalam asupan makanan yang tak lepas dari nasi.
Kebiasaan memakan nasi dari generasi ke generasi menjadi budaya tersendiri dalam ruang lingkup kehidupan orang-orang Belanda. Hal ini disebabkan oleh ketersediaan bahan-bahan makanan Eropa yang minim dan harganya relatif mahal. Kehidupan rumah tangga antara nyai dan laki-laki Eropa inilah yang membentuk interaksi kultural yang dikenal sebagai kebudayaan Indis.
Orang Belanda seolah menjadi lain ketika di negeri Hindia Belanda. Mereka beradaptasi dengan lingkungan tradisional bumiputra, walakin mereka tetap seorang Eropa yang berpikir dan bertindak menurut ukuran Eropa.
Selera makan orang Belanda tentunya berbeda dengan selera makan orang Jawa yang cenderung menyukai rasa manis dan gurih. Buku ini juga dengan apik menyuguhkan catatan perjalanan para pelancong seperti Kinloch, pelancong Inggris yang mencatat kisah perjalanannya ke Pulau Jawa dalam Rambles in Java and the Straits in 1852.
Kinloch melihat bahwa kebiasaan makan dan makanan yang dikonsumsi orang Belanda, tidaklah bermutu; mereka memakan makanan yang tidak baik untuk kesehatan dan menjijikan. Makanan tersebut didominasi oleh bahan-bahan makanan yang berasam dan mentega yang beraroma bau. Artinya, sebelum kelahiran budaya Indis dalam aspek makanan, kebiasaan makan orang Belanda tidak terlalu mementingkan nilai artistik dan tidak menggugah selera. Sebaliknya, penggunaan aneka rempah dalam hidangan makan orang Jawa menunjukkan seni mengolah makanan yang dapat menggugah selera makan.
Makanan penggugah selera itulah yang dinamakan sebagai rijsttafel, diterjemahkan secara bebas menjadi “hidangan nasi di atas meja”. Kemunculan istilah rijsttafel ini lazim ditemukan pada tahun 1870. Fadly mencatat, orang-orang bumiputra umumnya hanya menggunakan jari tangan dan duduk bersila ketika makan. Orang-orang Belanda menggunakan peranti seperti sendok, garpu, dan pisau untuk menyantap hidangan nasi, sayur, dan lauk-pauk di atas meja, persis seperti cara mereka menikmati hidangan Eropa.
Pada awal kemunculan rijsttafel, hidangan yang umum dikonsumsi saat itu adalah nasi dengan tambahan sayur lodeh, kuah-kuahan, sayur-sayuran, daging, ikan laut dan tawar, udang, telur, serta sambal. Saat itu, rijsttafel hanya disantap sesekali, yaitu pada waktu makan siang sebagai makanan pembuka. Makanan Eropa seperti biefstuk (olahan daging yang dimakan bersama kentang, kacang polong, dan wortel) dan hutspot (bubur kentang yang dicampur dengan wortel, bawang bombai, dan berbagai jenis sayuran lain) dihidangkan secara terpisah dan baru dinikmati setelah makan nasi. Dominasi hidangan bumiputra dalam kebiasaan makan sehari-hari membuat pandangan orang Belanda terhadap rijsttafel begitu lain.
Sejak reunifikasi sanak keluarga orang-orang Belanda pasca dibukanya Terusan Suez, rijsttafel menjadi istilah tersendiri untuk menyebut hidangan nasi dan makanan bumiputra. Seiring dengan itu, muncul pula pandangan ideal dalam proses penyajian rijsttafel yang menunjukkan kemewahan sebagai citra status sosial. Makan nasi bagi orang Belanda adalah simbol kemewahan yang ditampilkan dalam banyaknya hidangan dan aspek penyajian sebagai miniatur kekuasaan kolonial.
Kemewahan tersebut memiliki kemiripan dengan tradisi dan kebiasaan makan di lingkungan keraton Jawa. Ketika Duta VOC berkunjung ke Keraton Mataram di abad ke-17, ia heran ketika raja menjamu para tamunya dengan jenis masakan dari daging, ayam, ikan, hingga sayuran yang diolah dengan cara dibakar, digoreng, hingga dikukus. Padahal, limpahan hidangan tersebut merupakan tradisi tahunan keraton ketika para Bupati dari tiap daerah wilayah kerajaan membawa upeti bagi raja disertai para pengikutnya, termasuk juru masak.
Ketimpangan Budaya
Orang-orang bumiputra dikelompokkan sebagai “pekerja rendahan”, seperti jongos (pesuruh), baboe (pelayan di rumah), dan juru masak. Tidak heran, dalam memakan rijsttafel, orang-orang Belanda mengerahkan para pelayan bumiputra dengan jumlah yang besar pada acara jamuan makan. Ini untuk menunjukkan superioritas atas koloninya. Keadaan inilah yang mencerminkan ketimpangan budaya antara yang ideal (Eropa) versus tambahan (Jawa). Seperti budaya Indis lainnya, rijsttfael jugalah bentuk diskriminasi budaya yang lazim diterapkan para kolonialis di wilayah jajahannya.
Hal tersebut diperlihatkan oleh Fadly dalam proses pengenalan pertama orang-orang Belanda kepada rijsttafel pada perjalanan mereka ke Hindia Belanda melalui jalur laut. Kapal-kapal mewah seperti S.S. (Stream Ship) Rotterdam dan Oranje, menyuguhkan layanan makan yang dihidangkan oleh tiga puluh hingga empat puluh jongos yang berderet memanjang. Beberapa jongos membawa nasi ketika masih mengepul panas dalam wadah perak, diikuti oleh jongos lainnya yang membawa piring besar berisi lauk-pauk dan aneka hidangan sayur.
Di abad ke-20, ketika hotel-hotel “kelas satu” bermunculan di Batavia seperti Hotel des Indes, menu rijsttafel menjadi daya tarik tersendiri bagi turis-turis Eropa. Di ruang makan hotel, penyajian rijsttafel disajikan oleh banyak tenaga pelayan. Banyak dan ragam jumlah hidangan di sana melebihi penyajian di lingkungan rumah tangga.
Makan-makan di Omong-Omong:
Hingga kini, rijsttafel menjadi semacam deklarasi lidah yang baru bagi orang-orang Belanda. Muncul restoran dengan menu hidangan Indis di Belanda seperti restoran De Byenkorf di Rotterdam. Orang-orang Belanda yang pulang ke negeri asalnya mengenang rijsttafel dalam lagu Geef Mij Maar Nasi Goreng.
Buku Rijsttafel mengajak pembacanya berselancar dalam arus waktu untuk menikmati imajinasi hidangan makanan era kolonial di Hindia Belanda. Beberapa resep makanan rijsttafel yang dilampirkan dalam buku ini bisa dijadikan inspirasi menu untuk Anda cicipi.
Editor: Emma Amelia