Just another cloud in the endless skies. Writer, poet, music fan, otaku.

Superhero, Fandom, dan Kelahiran Fasisme

Maulana Idris

5 min read

Pada wawancaranya kepada The Guardian tahun 2022 silam, penulis komik legendaris Alan Moore berkata, “… Saya merasa bahwa ada implikasi yang serius dan mengkhawatirkan bagi masa depan bila jutaan orang dewasa mengantre untuk menonton film-film Batman. Karena jenis infantilisasi seperti ini – hasrat untuk (kembali) ke masa-masa dan realita yang lebih sederhana – seringkali menjadi awal dari fasisme.” Dia juga menunjuk bahwa saat Donald Trump pertama kali menang Pemilu AS, kebanyakan film yang populer saat itu adalah film superhero.

Moore bukan nama sembarangan dalam industri komik. Tulisan-tulisannya seperti V for Vendetta, Watchmen, dan The Killing Joke telah diakui sebagai karya terbaik dalam sejarah komik. Dia dipandang sebagai salah satu figur yang mengangkat gengsi komik dan membuatnya medium yang lebih dewasa bagi khalayak luas.

Sekilas pernyataan Moore memang terkesan absurd—apa hubungannya popularitas media superhero dengan kebangkitan fasisme? Bukankah superhero hakikatnya pembela keadilan dan penumpas kejahatan? Namun, ucapan Moore dapat lebih masuk akal bila kita merujuk pada tulisan Umberto Eco yang berjudul Ur-Fascism.

***

Umberto Eco (1932–2016) merupakan seorang penulis, filsuf, dan ahli semiotika asal Italia, terkenal oleh novelnya antara lain The Name of the Rose. Eco mempublikasikan esainya yang berjudul Ur-Fascism di tahun 1995. Disitu Eco menulis tentang pengalamannya lahir dan tumbuh dalam era diktator Benito Mussolini untuk mengidentifikasi fasisme yang diuraikannya ke dalam 14 poin berikut:

  1. Cult of tradition—penyembahan terhadap tradisi dan sejarah,
  2. Menolak modernitas
  3. Action for action’s sake—kecenderungan terhadap aksi semata dan penolakan terhadap refleksi dan introspeksi,
  4. Menolak kritik,
  5. Rasa takut atas perbedaan,
  6. Appeal to middle-class sebagai kelompok yang rentan secara ekonomis dan politik, serta berada di bawah tekanan untuk tidak jatuh ke lower-class,
  7. Obsesi akan adanya konspirasi terhadap in-group dan kecenderungan untuk menyalahkan out-group,
  8. Musuh secara bersamaan terlalu kuat tapi juga terlalu lemah,
  9. Tidak pernah ada kedamaian; selalu berada dalam perang terhadap musuh,
  10. Pola pikir elitis dan hierarkis dari yang kuat terhadap yang lemah, di mana yang lemah dibenci,
  11. Semua orang diedukasi untuk menjadi pahlawan,
  12. Machismo,
  13. Populisme selektif di mana satu atau sekelompok orang mengatasnamakan rakyat, tapi rakyat itu sendiri tak berhak menyuarakan hak dan pendapat mereka,
  14. Newspeak, gaya berbicara dengan kosakata dan sintaksis yang terbatas sebagai cara untuk menurunkan cara pikir kritis.

Eco mengamati bahwa pola berpikir fasisme tampak seperti tak terorganisir dan kontradiktif, tapi hal tersebut bukanlah tak direncanakan. Bagi Eco, fasisme merupakan “permainan yang muncul dalam banyak wujud,” dan kemunculan beberapa butir tersebut dapat menjadi pertanda munculnya fasisme.

Lalu apa hubungannya dengan superhero?

Bangkitnya pemerintahan otoriter sering digambarkan dengan aktivitas militer di jalanan, pengekangan kebebasan pendapat, penumpasan pers independen, dan koersi untuk memaksa warga sipil mengikuti aturan. Tapi distopia tidak selalu muncul seperti Nineteen Eighty-Four. Kadang, mereka berwujud seperti Brave New World atau The Hunger Games, di mana warga sipil dijejalkan oleh media eskapisme hingga emosi mereka kebas, di mana kaum tertindas direndahkan martabatnya hingga penderitaan mereka bisa dibuat hiburan bagi kelas menengah ke atas.

Terlepas dari segelintir pengecualian, media superhero cenderung simplistik dan banal, menampilkan sosok pahlawan individu dengan kekuatan yang membuat mereka di atas manusia pada umumnya. Sering juga kekuatan tersebut didapat tanpa disengaja. Masalah yang mereka hadapi langsung tuntas setelah menghajar siapapun villain yang mereka hadapi. Sederhana dan, ya, infantil.

Baca juga:

Bukan hanya film superhero juga cenderung simplistik seperti ini. Sebagian besar media hiburan sekarang juga cenderung menghindari segala macam unsur politik maupun komentar sosial dalam cerita mereka demi memberikan konten yang dapat dikonsumsi oleh semua orang. Hal ini terjadi juga untuk memaksimalkan laba, karena konten yang apolitik dan simplistik memiliki resiko yang rendah untuk menyinggung kelompok tertentu.

Tak ada yang salah perihal media yang simplistik. Yang jadi masalah adalah ketika mereka mendominasi budaya populer. Poin Moore tentang infantilisasi publik menjadi penting karena fasisme itu sendiri merupakan ideologi infantil di mana pemimpin adalah jagoan penuntas masalah dan pembangkit kejayaan masa lalu bangsa. Di mana dunia adalah kanvas hitam putih yang diisi oleh “kita” yang benar dan “mereka” yang salah. Siapa “mereka”? Siapa yang bisa dikambinghitamkan bila gejolak sosial terjadi: kaum minoritas, kaum pendatang, kaum “belok.” Yang penting bukan “kita”, para moral majority yang tak pernah salah selama kita mengikuti aturan. Yang salah selalu “mereka.”

***

Fasisme terlahir di dunia barat sebagai reaksi dari Perang Dunia I dan pandemi flu Spanyol yang merenggut jutaan korban jiwa. Tokoh-tokoh politik berkedok populis mengambil kesempatan untuk merebut kekuasaan dengan menjanjikan ilusi solusi-solusi cepat untuk krisis ekonomi dan sosial. Tapi diluar ilusinya, fasisme tidak menawarkan solusi melalui reformasi struktural dan fundamental.

Walau demikian, di situasi yang penuh ketidakpastian, ilusi tersebut dapat terasa menggiurkan. Kita sudah melihat ini sendiri selama empat tahun terakhir, di mana dalam masa pandemi, orang-orang lebih memilih untuk menutup mata dan telinga mereka dan bersikap bahwa segalanya baik-baik saja.

Fasisme bagi banyak golongan berarti status quo dan ekonomi yang stabil, tapi bagi kaum elit dan hartawan menengah keatas berarti konsolidasi kekuatan dan kebebasan dari tanggung jawab sosial. Mempertahankan semua ini dilalui tak hanya dari kekerasan politik, tapi juga dengan memupuk sikap anti-intelektualisme dan apatis politik dalam publik. Hal ini juga yang membuat fasisme memiliki relasi kuat dengan kapitalisme; selama publik masih bisa diailhkan dengan konsumerisme dan hiburan, maka status quo akan tetap dijaga.

Salah satu aspek utama lainnya dari fasisme adalah nostalgia – kerinduan akan masa lalu yang lebih baik. Hal ini sering diwujudkan dalam cult of tradition seperti yang diuraikan Eco, dimana orang-orang dibuat rindu akan kejayaan kuno yang tak pernah mereka alami. Dalam politik juga sering digunakan sebagai slogan populis, seperti “Make America Great Again”, atau “Buat Indonesia Jadi Macan Asia Lagi.”

Aspek nostalgia ini yang diulas Moore dalam tulisannya untuk The Guardian, dua tahun setelah wawancara awalnya. Moore membahas fandom – sebutan untuk komunitas berisikan penggemar terhadap media tertentu – yang kini sebagian besar berisikan orang dewasa mencerminkan baginya populasi yang menderita nostalgia dan tak mau meninggalkan hobi masa kecilnya.

Moore mengutuk sikap fandom modern yang toksik, lancang, lebih suka mencela daripada membangun, dan misoginis. Dia menyayangkan bahwa kultur yang toksik ini juga telah berpengaruh terhadap dunia di luar fandom, termasuk politik, di mana “nilai jual-lah, bukan substansi, yang menjadi pokok (utama).” Sekali lagi pendapat Moore dibenarkan; artikelnya diterbitkan pada 26 Oktober 2024, hanya sepuluh hari sebelum Donald Trump kembali memenangkan Pemilu AS. Pengaruh fandom dan media nostalgia terhadap masalah nyata dalam politik ini juga menjadi contoh di mana media hiburan yang berlebih dapat menormalisasikan fasisme di dunia nyata.

***

Berbagai masalah yang dialami dunia sekarang, mulai dari ketimpangan sosial, pandemi, genosida, hingga perubahan iklim mematikan, sumbernya dapat ditelusuri dari kaum elit dan hartawan, bukan rakyat miskin atau kaum minoritas. Mereka yang memiliki kuasa besar dan enggan melepaskannya bahkan di saat dunia tak lagi membutuhkan mereka.

Bila fasisme menawarkan ilusi dari solusi mudah, maka apakah solusi dari anti-fasisme yang sesungguhnya sulit? Benar. Nyatanya memang tidak mudah bagi individu, atau bahkan sebuah kelompok, untuk menghadapi atau bahkan hanya memahami isu-isu besar itu. Tapi harapan terbaik bagi kita semua adalah tetap dengan berorganisasi dan membentuk solidaritas antar kaum tertindas bersama-sama.

Karena kecenderungan seseorang untuk terjerumus kedalam fasisme seringkali bermula dari perasaan terasing dari lingkungannya. Dalam keterasingan ini, mereka akan mencari komunitas di mana dia bisa merasa diterima. Satu hal mengenai fasisme adalah dia dapat menyatukan semua kalangan yang memiliki kesamaan sederhana: kebenciaan terhadap kelompok tertentu. Seksisme, rasisme, dan homofobia—semua diterima. Elit tak begitu peduli siapa Anda selama kebencian Anda dapat memfasilitasi kuasa mereka.

Moore juga tak lupa menyebut aspek positif fandom dalam tulisannya: sebagai wadah bagi individu dengan minat serupa untuk berbagi antusiasme mereka dan saling memberi dukungan dalam masa-masa sulit. “Antusiasme yang subur dan produktif dapat memperkaya kehidupan dan masyarakat,” tulis Moore. Ketika energi yang disalurkan bersifat positif, komunitas-komunitas seperti ini bisa menjadi faktor penting dalam mencegah terjadinya radikalisasi negatif.

Baca juga:

Media hiburan seperti animasi, komik, dan video game dengan fandom luas pun sudah lama digunakan sebagai wadah untuk menyampaikan cerita-cerita dari golongan minoritas seperti kaum LGBT atau meningkatkan kesadaran terhadap ketidakadilan sosial yang ada di sekitar kita. Tentu, menyimak cerita-cerita yang progresif masih merupakan tahap permulaan dalam tindak perubahan sosial-politik yang nyata, tapi memupuk rasa empati dan mengedukasi orang tanpa menggurui juga adalah langkah awal yang penting.

Eco menyebut bahwa pemerintah fasis ditakdirkan untuk tumbang karena ketidakmampuan fasis untuk mengevaluasi secara objektif kekuatan musuh mereka, karena musuh fasis harus lebih kuat tapi juga lebih lemah dari mereka dalam waktu bersamaan. Tapi bukan berarti kita dapat lengah dalam menghadapi fasis, karena sejarah juga menunjukkan kalau fasisme tidak akan jatuh tanpa membawa sebanyak mungkin musuhnya bersamanya.

Pada akhirnya, tak ada yang salah dari sesekali lari ke dunia di mana superhero eksis untuk menumpas semua masalah. Yang penting adalah untuk tidak terlena di sana selamanya dan lupa akan dunia yang sebenarnya. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Maulana Idris
Maulana Idris Just another cloud in the endless skies. Writer, poet, music fan, otaku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email